Struktur Sosial, Kepentingan Kelompok, dan Kelompok-kelompok yang Bertentangan
- On 15:04
Struktur Sosial,
Kepentingan Kelompok,
dan Kelompok-kelompok
yang Bertentangan
Tanti Candra
Pegiat Sanglah
Institute
Dahrendorf menemukan dua pandangan tentang masyarakat yang
saling bertentangan. Keduanya berusaha menjelaskan filsafat sosial, yaitu
mengenai bagaimana terciptanya kehidupan bermasyarakat dalam arti bagaimana
mereka berhubungan satu sama lain. Satu aliran menyatakan bahwa hubungan yang
terjadi dalam masyarakat karena adanya kesepakatan bersama atau konsensus. Sedangkan
aliran pemikiran lain, berpendapat bahwa ikatan atau tatanan yang terjadi di
dalam masyarakat karena adanya kekuasaan dan paksaan. Kedua aliran tersebut
adalah aliran utopia dan aliran rasional. Menurut aliran utopia, perbedaan kepentingan
di dalam masyarakat memang ada, tetapi bisa disubordinasikan ke dalam persetujuan
bersama terhadap nilai-nilai, sedangkan menurut aliran rasional persetujuan
bersama terhadap nilai-nilai memang ada tetapi lemah sifatnya dan tidak
efektif.
Melalui kedua aliran di atas, Dahrendorf memetakannya menjadi
dua metateori, yaitu teori integrasi yang membayangkan struktur masyarakat
sebagai sebuah sistem yang terintegrasi secara fungsional, di mana keseimbangan
dipertahankan melalui pola tertentu dan melalui proses yang berulang-ulang. Metateori
yang satunya lagi, yaitu teori penggunaan paksaan yang melihat struktur sosial sebagai
sebuah bentuk organisasi yang mempersatukan anggotanya melalui penggunaan
kekuasaan dan paksaan secara terus-menerus. Bagi Dahrendorf, kedua aliran metateori
tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam analisis permasalahan sosial di
dalam sosiologi.
Dalam analisis teori konsensus Parsons, Dahrendorf mendukung
pendapat D. Lockwood yang menyatakan bahwa konsep yang disusun Parsons sangat
dibebani oleh asumsi-asumsi dan kategori-kategori yang berhubungan dengan
peranan unsur-unsur normatif dalam perilaku sosial untuk menjamin stabilitas
sosial, dan Parsons cenderung mengabaikan kondisi-kondisi kepentingan yang
menciptakan pertentangan sosial ataupun ketidakstabilan. Dahrendorf mencoba
menyederhanakan gambaran mengenai kedua aliran metateori tersebut. Menurutnya, aliran
struktural fungsional mendasarkan teorinya ke dalam beberapa asumsi, yakni
stabilitas, integrasi, fungsi koordinasi, dan konsensus. Analisis sosial dengan pendekatan integrasi ini hanya
memungkinkan kita untuk memahami suatu realitas sosial, padahal yang dibutuhkan
oleh sosiologi adalah memahami semua realitas sosial yang terjadi. Selain teori
konsensus, Dahrendorf juga menyederhanakan teori penggunaan kekuasaan ke dalam
beberapa asumsi yang mendasarinya, sebagai berikut;
1. Setiap masyarakat, dalam setiap hal tunduk pada proses
perubahan, dan perubahan sosial terjadi dimana-mana.
2. Seluruh masyarakat dalam setiap hal memperlihatkan pertikaian
dan pertentangan, di mana pertentangan juga terdapat dimana-mana.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan kontribusi terhadap
perpecahan dan perubahannya.
4. Setiap masyarakat didasarkan atas penggunaan kekuasaan oleh
sejumlah anggota terhadap anggotanya yang lain.
Tampaknya, Dahrendorf lebih sepakat dengan teori penggunaan
paksaan yang ia contohkan dengan permasalahan pemogokan buruh Jerman Timur. Ia
beranggapan, dengan menggunakan teori tersebut akan lebih memuaskan untuk
menerangkan sebab dan akibat yang terjadi karena permasalahan Jerman Timur
tersebut. Kelompok pemberontak yang terlibat dalam pertentangan tersebut
dianggapnya sebagai agen perubahan melalui perpecahan. Tetapi sekali lagi, Dahrendorf
menegaskan bahwa salah satu dari metateori ini hanya bisa digunakan untuk
menganalisis suatu fenomena sosial yang berkaitan, tidak bersifat umum.
Kekuasaan dan Wewenang
Menurut pandangan teori penggunaan paksaan, tidak ada kerjasama
secara sukarela atau konsensus umum, tetapi pelaksanan paksaan-lah yang
menyebabkan organisasi sosial melekat satu sama lain. Hal Ini berarti, bahwa
dalam setiap organisasi sosial, sejumlah posisi tertentu dipercaya untuk
mengendalikan posisi yang lain untuk menjamin penggunaan kekuasaan secara
efektif. Dengan kata lain, berarti ada perbedaan pembagian antara kekuasaan dan
wewenang. Menurut Dahrendorf, perbedaan kekuasaan dan wewenang sebenarnya
terletak pada kenyataan bahwa kekuasaan pada dasarnya berhubungan dengan kepribadian
individual, sedangkan wewenang selalu berhubungan dengan posisi atau peranan
sosial seseorang. Guna menjelaskan lebih lanjut, Dahrendorf mengutip pernyataan
Max Weber yang mengatakan bahwa kekuasaan adalah hubungan faktual semata-mata,
sedangkan wewenang adalah hubungan dominasi pendudukan yang sah.
Dahrendorf kembali menghubungkan antara wewenang dengan
pertentangan kelompok. Menurutnya, pertentangan kelompok dari organisasi
masyarakat total dan perserikatan-perserikatan yang ada di dalamnya sebenarnya
bukanlah hasil dari hubungan kekuasaan yang terjadi begitu saja, melainkan yang
muncul dimana saja wewenang itu dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, Dahrendorf
merumuskan lima asumsi mengenai wewenang, yaitu;
1. Hubungan wewenang adalah selalu berbentuk hubungan antara
superordinat dan subordinat.
2. Dimana terdapat hubungan wewenang, di sana unsur superordinat
mengendalikan subordinat.
3. Kondisi yang demikian, secara relatif lebih diletakkan pada
posisi sosial daripada kepribadian individu.
4. Berdasarkan kenyataan, wewenang selalu mengharuskan
orang-orang untuk tunduk kepada pengendalian.
5. Wewenang adalah hubungan yang sah, ada sanksi yang berlaku di
dalamnya.
Dahrendorf menambahkan, terdapat dua hal yang harus
ditetapkan mengenai wewenang, yaitu bagi individu pemegang peranan, dominasi
dalam suatu perserikatan tertentu tidak berarti juga melakukan dominasi
terhadap perserikatan lain, dan sebaliknya ketundukan dalam suatu perserikatan
tertentu bukan berarti tunduk terhadap perserikatan lainnya. berdasarkan dua hal tersebut, dapat dikatakan
bahwa wewenang merupakan kekuasaan yang sah dan bersifat terbatas, maksudnya
adalah hanya berlaku pada suatu struktur sosial.
Kepentingan Nyata dan
Kepentingan Tersembunyi
Dalam suatu pertentangan kelompok yang dilihat dari sudut
pandang teori penggunaan kekuasaan, Dahrendorf memberikan asumsi dasar bahwa pertentangan
kelompok didasarkan pada dikotomi pembagian wewenang dalam perserikatan yang
dikoordinasi secara memaksa. Muncul proposisi baru, yaitu posisi yang memiliki
wewenang dalam perserikatan menyebabkan pertentangan antarorang yang
memegangnya. Pemegang posisi superodinat dan subordinat memiliki kepentingan
tertentu yang berlawanan. Kepentingan pemegang posisi dominan adalah kepentingan
yang berkuasa. Kepentingan ditentukan dan disyaratkan oleh posisi. Kepentingan
yang dilihat dari sudut pandang pemain peranan, disebut kepentingan peranan.
Kepentingan peranan adalah kepentingan yang tersembunyi, yaitu arah yang
terpendam dari perilakunya yang ditentukan baginya dan yang dilepaskan dari
arah kesadarannya selama memegang sebuah peranan. Selanjutnya, kepentingan
tersembunyi ini dapat berubah menjadi tujuan-tujuan yang disadari, maka
kepentingan tersebut menjadi kepentingan nyata menurut Dahrendorf. Kepentingan
nyata adalah program dari kelompok-kelompok yang terorganisasi.
Kelompok Semu dan
Kelompok Kepentingan
Kumpulan orang yang menempati posisi dan kepentingan yang
sama, dalam keadaan yang terbaik, adalah sebuah kelompok potensial. Dengan
mengikuti Morris Ginsberg, yang menyatakan bahwa kelompok adalah sekumpulan
orang yang berhubungan atau berkomunikasi secara teratur, dan memiliki sebuah struktur
yang dapat dikenal, tetapi anggotanya memiliki kepentingan tertentu atau cara
perilaku bersama yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan mereka menjadi kelompok
yang sesungguhnya, merupakan pengertian dari kelompok semu. Kelompok semu
merupakan kelompok dengan kapasistas yang besar. Kelompok semu membentuk
kelompok baru yang memiliki perilaku bersama adalah kelompok kepentingan. Kelompok
kepentingan merupakan agen yang sesungguhnya dari pertentangan kelompok. Kelompok
kepentingan biasanya memiliki struktur, bentuk organisasi, memiliki program
atau tujuan serta anggota.
Elit dan Kelas
Penguasa
Dalam menjelaskan elit dan kelas penguasa, Dahrendorf merujuk
pada teori tiga orang sosiolog yang karya-karyanya dianggap bisa mewakili. Ketiga
sosiolog tersebut adalah Pareto, Mosca, dan Aron. Mosca secara eksklusif
menunjukkan kelas politik yang segera berubah menjadi “kelas penguasa” dalam karya
Elementi di Scienza Politica. Pareto memperkenalkan
konsep tersebut dengan sebutan elit, tetapi ia membedakan elit menjadi dua,
yaitu; elit yang memerintah, dan elit yang tidak memerintah. Mengenai elit dan
kelas penguasa, Dahrendorf memfokuskan pembahasan ketiga sosiolog tersebut ke dalam
lima aspek utama, yaitu:
1. Dalam dominasi mengenai kelompok dominan, Aron menyebut
kelompok elit sebagai minoritas. Mosca juga mengatakan hal yang sama, bahwa
kelompok penguasa adalah kelompok yang jumlahnya sangat sedikit. Ide tentang
elit tampaknya secara otomatis menimbulkan ide tentang sejumlah kecil
orang-orang pilihan. Begitu juga, Marx yang melihat kaum borjuis atau penguasa
alat produksi secara keseluruhan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan
kaum proletar.
2. Pareto dan Mosca menandai kelompok dominan dengan sejumlah
kekayaan khusus yang mana pemiliknya dinyatakan penting dalam sebuah kelompok
untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi kekuasaannya. Mosca menjelaskan
lebih lanjut, menurutnya, minoritas atau para elit biasanya terdiri dari
individu-individu yang superior terhadap massa yang menguasai kekayaan
material, intelektual, dan juga kehormatan moral, semua itu disebut dengan
kekayaan nyata oleh Mosca. Kekayaan nyata tersebut diyakini membawa pengaruh
yang sangat besar di dalam masyarakat mereka, tetapi Dahrendorf nampaknya tidak
setuju dengan ide yang disampaikan oleh Mosca, karena ia yakin bahwa kekayaan
yang dimiliki oleh kaum elit sesungguhnya tidak berpengaruh banyak terhadap
anggota kelompoknya, tetapi hanya sebatas usaha dan kemampuan dalam
mempertahankan kepentingan bersama di dalam kelompoknya. Menaggapi hal tersebut,
sesungguhnya yang diharapkan terjadi adalah tipe elit yang disampaikan oleh
Mosca, tetapi kenyataannya, yang banyak kita temui sekarang adalah elit-elit
seperti halnya yang dikatakan oleh Dahrendorf. Apalagi pada sistem masyarakat
demokrasi liberal, siapa pun bisa menjadi elit asalkan mereka mampu meyakinkan konstituante,
sehingga belum tentu elit memiliki kekayaan seperti yang telah disampaikan di atas.
Oleh karena itu, hampir tidak ada elit yang mampu berpengaruh terhadap anggota
kelompoknya, yang terjadi justru para elit menjalankan kepentingan dengan mengatasnamakan
kepentingan bersama.
3. Mosca menarik kesimpulan bahwa kelompok dominan dalam
pertentangan kelompok selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang
ditundukkan. Tetapi lagi-lagi Dahrendorf menganggap bahwa aspek yang
disampaikan Mosca tersebut tidak dapat dipertahankan karena terlalu menggeneralisasi.
Ia mencontohkan dengan kelompok pada kehidupan masyarakat industri yang
menurutnya pengorganisasian terhadap kelompok penguasa lebih susah dilakukan,
karena sesungguhnya kepentingan masing-masing elit lebih besar.
4. Mosca dan Pareto memastikan kelas penguasa hanya terdiri dari
orang yang memegang posisi dominan di bidang politik saja di dalam masyarakat. Elit
yang dimaksud oleh Pareto adalah elit yang berkuasa di bidang politik saja. Aron
juga mensyaratkan bahwa kesatuan sebuah kelas penguasa di semua bidang
kehidupan di mana wewenang dilaksanakan. Secara tidak langsung, mereka
mengisyaratkan bahwa kelompok politik adalah penguasa di segala bidang kehidupan
manusia. Lagi-lagi, Dahrendorf menolak ide tersebut, ia masih pada pendiriannya
bahwa wewenang hanya pelaku pada suatu struktur dalam suatu organisasi, tidak
bersifat general seperti yang disampaikan oleh ketiga sosiolog di atas.
5. Mosca dengan tegas mengatakan bahwa orang bisa menerangkan
keseluruhan riwayat peradaban umat manusia dilihat dari segi pertentangan
antara upaya penguasa dalam memonopoli, dan untuk mewariskan kekuasaan politik,
serta upaya untuk mengubah hubungan-hubungan kekuasaan dari pihak yang bukan
pemegang kekuasaan. Pernyataan Mosca ini pun kembali di tolak oleh Dahrendorf, karena
dianggap sebagai perumusan ulang pemikiran Marx mengenai sejarah perjuangan
kelas.
Massa dan Kelompok Tertindas
Dahrendorf membuat penyataan umum bahwa pada dasarnya di
dalam masyarakat industri, kelas penguasa dan kelas yang ditundukkan mempunyai
kesempatan yang sama dalam membentuk organisasi. Ia juga mengatakan bahwa
kelompok pertentangan yang ditundukkan itu tidak perlu dibayangkan sebagai
massa yang secara esensial tak terorganisir dan tanpa kekuatan efektif. Ia meneruskan
ciri-ciri kelompok yang tertundukkan sebagai berikut;
1. Kelompok yang ditundukkan tidak harus terdiri dari mayoritas anggota
sebuah perserikatan.
2. Anggotanya tidak harus dihubungkan oleh kekayaan atau sebuah
kultur bersama selain daripada kepentingan yang mengikat mereka menjadi
kelompok-kelompok.
3. Adanya mereka selalu dalam hubungannya dengan perserikatan
tertentu. Jadi satu masyarakat tertentu, mungkin memperlihatkan adanya beberapa
kelompok bertentangan yang ditundukkan.
Kelompok ataukah Kelas
yang Bertentangan?
Dahrendorf secara tegas menyatakan bahwa yang terlibat di
dalam suatu pertentangan sosial adalah kelompok sosial, bukan kelas sosial. Ia
memiliki empat alasan mengapa konsep kelas tidak dapat digunakan untuk
menganalisis pertentangan di dalam masyarakat pos-Kapitalis;
1. Karena alasan historis, bahwa perubahan sosial yang terjadi
pada masyarakat di era Marx menimbulkan adanya dua kelas, yaitu kelas borjuis
dan proletar. Sedangkan pada masyarakat pos-Kapitalis, borjuis dan proletar
tidak lagi sebagai blok-blok yang mengorientasikan blok-blok serupa. Kemajuan
pelembagaan nilai-nilai dan persamaan hak yang dicapai telah menyingkirkan
berbagai perbedaan di antara kedua kelas tersebut. Pertentangan yang terjadi pada
masyarakat modern lebih bersifat umum dibandingkan dengan pertentangan kelas
menurut Marx yang sangat spesifik, sehingga penggunaan kelas menurut Dahrendorf
kurang tepat digunakan.
2. Pada masyarakat modern, secara umum ciri-ciri kelompok yang
bertentangan ditetapkan berdasarkan variabel yang cakupannya sangat luas. Banyak
kemungkinan yang terjadi di dalam pertentangan yang sedang berlangsung.
3. Marx menyebut kelas hanya bagi kesatuan-kesatuan, seperti
kelompok-kelompok yang telah mencapai tingkatan organisasi politik dan dengan
ikatan yang erat. Sedangkan, pertentangan yang terjadi di dalam masyarakat
modern bisa saja terjadi antar berbagai kelompok sosial.
4. Masih sering terjadi kekeliruan antara konsep kelas dengan stratum. Kegunaannya masih sering
dipertukarkan, walaupun jelas adanya perbedaan antara studi mengenai
pertentangan kelas dengan studi mengenai stratifikasi sosial. Oleh karena itu, Dahrendorf
beranggapan bahwa tidak bijaksana jika masih berupaya menggunakan konsep kelas
yang sudah kehilangan maknanya sejak lama.
*****
Tags:
Tanti Candra
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment