Semiologi Roland Barthes
|
[pic: institut-francais.org.uk] |
A.A Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah
Institute
Semiologi Roland
Barthes ditujukan untuk mengungkap berbagai mitos dalam masyarakat modern.
Istilah “mitos” sebagaimana dimaksudkan Barthes bukanlah seperti mitos-mitos
yang terdapat di era Yunani Kuno seperti Mitos Sisifus, Mitos Medusa, atau
Mitos Hercules. Menurutnya, masyarakat modern dikepung oleh mitos yang dalam
hal ini, di mana terdapat
“wacana” di situ akan selalu ditemui “mitos”. Wacana sendiri adalah suatu
sistem ide atau wicara yang terus-menerus dikomunikasikan (Barthes, 2009:
151-152).
Dalam usaha
mengungkap mitos, ditemui sistem semiologi lapisan pertama dan lapisan kedua dalam semiologi Barthes. Semiologi
lapisan pertama berisi “denotasi” yakni simbol, tanda atau unsur “konotasi”,
yakni ketika simbol, tanda, atau gambar yang sebagaimana adanya di lapisan
pertama menjadi “tidak lagi sebagaimana adanya”. Semiologi lapis kedua, memuat berbagai kepentingan,
ideologi, serta kode-kode tersembunyi. Bagi Barthes (dalam Sunardi, 2010: 103-104), apabila kita
berhasil mengungkap semiologi lapis kedua, maka kita akan berjumpa dengan
“mitos”.
|
[edge.ua.edu] |
Lebih jauh, dalam
proses penelisikan hingga menemui mitos di atas, Barthes memperkenalkan
elemen-elemen semiologi yang antara lain berisi; efek tiruan, pose (sikap),
obyek, fotogenia, estetisisme, serta sintaksis. Efek Tiruan dapat dimisalkan dengan berbagai alat untuk
“menyangatkan” sebuah foto, termasuk di dalamnya mengubah atau mengedit sebuah
obyek dalam foto. Pose atau sikap
yang dimaksudkan Barthes adalah gesture
(gestur), yakni suatu obyek yang sengaja dikomposisikan sedemikian rupa
sehingga menimbulkan kesan atau kesimpulan tertentu. Fotogenia adalah seni atau
teknik memotret sehingga foto yang dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dimaksudkan.
Terdapat beberapa hal yang terdapat dalam fotogenia sendiri, antara lain; lighting (pencahayaan), exposure (pengungkapan), printing (pencetakan), colour (warna), panning (pencucian), blurring
(pengaburan), moving effect (efek
gerak), dan freezing effect (efek
beku/diam) (Sunardi, 2002: 174).
Estetisisme atau estetika erat kaitannya
dengan pengomposisian gambar secara keseluruhan sehingga memberikan makna-makna
tertentu, yakni makna yang dimaksudkan pembuatnya, atau sesuai dengan
kepentingan pembuatnya. Adapun Sintaksis
adalah makna yang sengaja dimunculkan atau tidak dimunculkan melalui tanda
atau simbol tertentu. Sintaksis ini nantinya bisa membuat sebuah foto berbicara
tentang dirinya atau memiliki sesuatu untuk diceritakan kepada mereka yang
melihatnya. Dengan kata lain, foto pun bisa membahasakan atau menceritakan
dirinya sendiri (Sunardi, 2002: 174). Lebih lanjut, dalam elemen-elemen
semiologi di atas, Barthes juga memasukkan lima jenis “kode” yang dapat
digunakan sebagai pisau bedah setiap elemen semiologi, antara lain;
hermeunetik, proairetik, budaya, semik, dan simbolik (Barthes, 2007: 242; Ishak
& Sir, 2015: 87).
|
[thewolfereview.com] |
Hermeunetik dianggap Barthes sebagai
“suara kebenaran” (the voice of truth).
Proairetik adalah tindakan naratif dasar yang dianggap Barthes sebagai
“suara empirik” (kenyataan terindera). Budaya
yang dimaksudkan Barthes adalah usaha mengonstruksikan suatu aktivitas yang
berlangsung pada kurun waktu tertentu dan dianggapnya sebagai “suara ilmu” yang
berada di ranah teoritis. Semik merupakan
relasi penghubung yang juga menjadi penanda orang, tempat, obyek, atau penanda
itu sendiri. Sementara simbolik
menurut Barthes adalah sesuatu yang tidak stabil dan dapat ditentukan dari
banyak sudut pandang.
Simbol atau
“simbolik” dalam konteks ini, mengambang bebas dan bersifat sewenang-wenang.
Penanda dapat sewenang-wenang memberikan tanda pada suatu obyek, bahkan dengan
tanpa persetujuan obyek tersebut. Di sisi lain, ini menunjukkan
ketidakberdayaan obyek atas simbol (Ishak & Sir, 2015: 87). Setelah kelima jenis kode di atas diterapkan pada
elemen-elemen semiologi, maka hal selanjutnya yang ditemui adalah penampakan
denotasi (literer) dari suatu foto ataukah penampakan konotasi. Lebih jauh,
penampakan konotasi ini dibagi ke dalam empat jenis; (1) Analogon, (2)
Representasi paradoksal, (3) Realitas Paradoksal, (4) Paradoks, serta (5) Foto
Seni dan Lukisan (Sunardi, 2002: 160-166). Dapatlah dikatakan, pada tahapan ini
analisis telah mencapai (menemui) mitos.
*****
0 Comments:
Post a Comment