Dildo: Perebutan Kembali Ruang Publik Virtual dari Kooptasi Cebong dan Kampret
- On 21:53
Dildo: Perebutan Kembali Ruang Publik Virtual
dari Kooptasi Cebong dan Kampret
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Tulisan ini
berawal dari pertanyaan seorang netizen ihwal fenomena “dildo” (Nurhadi-Aldo)
yang diajukan pada saya via PM Facebook. Bagi saya, hadirnya dildo adalah upaya
perebutan kembali ruang publik virtual yang selama ini, atau tepatnya dalam beberapa bulan terakhir
ini, secara brutal dikooptasi oleh cebong
dan kampret. Dalam rentang yang tak
sebentar itu, netizen disuguhi tontonan politik yang menjemukan, membuat
jengkel, dan tak jarang pula membikin perut mual-mual.
Fanatisme buta
yang dipertontonkan secara terang-terangan memang selalu menimbulkan efek
semacam ini. Ekspektasi kedua belah pihak pada idolanya sudah pada taraf tak
masuk akal. Nyatanya, sejarah memang mengajarkan kita bahwa manusia tak pernah
belajar apa pun dari sejarah.
Mungkin kita
masih ingat, betapa dulu orang-orang menaruh harapan sangat besar pada SBY, dan
nyatanya ... (silakan isi sendiri). Harapan kala itu, berbalut framing kedekatan SBY pada negara superpower Amerika Serikat yang dinilai bakal
memberi banyak “cipratan” keuntungan bagi Indonesia. Kasus serupa adalah
ekspektasi luar biasa dari masyarakat negeri-negeri muslim terhadap naiknya
Obama yang dinilai bakal “menyegarkan” relasi masyarakat Barat dengan dunia
Islam. Nyatanya, tak banyak yang berubah.
Lebih jauh, ruang
publik adalah suatu tempat—atau ranah—dimana setiap warga dapat hadir sebagai
individu yang berdaulat, sebagai wujud oposisi terhadap segala konstruksi di
luar sipil; sebagai negasi atas negara, militer, dan (pe)modal. Ruang publik
juga memungkinkan hadirnya kolektivitas sipil, namun hal ini berbeda dari
kolektivitas yang ditunjukkan baik oleh cebong maupun kampret.
Dua bentuk
kolektivitas terakhir ini, tidak benar-betul merepresentasikan kritisisme murni
sebagai sipil, melainkan kritisisme emosional dari kolektivitas irasional yang
gagal mengkritisi dirinya masing-masing. Inilah mengapa, mereka lebih tepat
disebut sebagai “massa”—bukannya publik—sebagaimana karakter paling kentara
dari massa: emosional dan mudah terprovokasi. Dengan begitu, hadirnya dildo sesungguhnya
menunjukkan masih adanya “kewarasan” warganet, yakni pemahaman mereka bahwa
“politisi akan tetap membangun jembatan meskipun di situ tak ada sungai”.
Dalam perspektif
différance Jacques Derrida, hadirnya
dildo adalah pelebur oposisi biner antara paslon nol-satu dengan nol-dua, yang
sekaligus mendekonstruksi cebong dan kampret. Différance adalah suatu arus penciptaan (kreatif) yang mendivisi
setiap dualitas dan oposisi biner, namun sekaligus memungkinkan dualitas atau
oposisi itu dilampaui satu sama lain; saling memasuki, saling melanggar, dan
berlintasan satu sama lain.
Fungsi différance menstabilkan dualitas atau
oposisi itu dengan cara menambahkan apa yang belum pernah ada sebelumnya.
Dengan demikian, muncullah “konsep baru” atau “ruang baru” yang tak selalu bisa
dipahami lewat cara berpikir oposisi. Dalam konteks inilah dildo hadir untuk
mewaraskan kita semua.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment