Belajar Semiologi #2: Analisis Foto Selfie Endorse
A.A Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah Institute
Kode atau tanda dalam sebuah
foto memanglah bukan bentuk sastra baru. Namun, seni dan arsitektur dalam
sebuah foto, khususnya foto selfie,
merupakan bentuk gaya baru pada sebuah “sastra” yang hadir dalam ramuan
teknologi dan modernisme. Kehadiran tanda atau kode dalam sebuah foto selfie tersebut pun semata-mata hadir,
ibarat sebuah kebetulan namun begitu
melekat. Kode tersebut kemungkinan tidak diharapkan namun tetap hadir,
melahirkan makna ataupun dimensi sosial. Foto seni dan lukisan misalnya, di
mana Barthes menjelaskan pada dimensi tersebut telah hadir gaya baru dengan
sentuhan modernisme (Sunardi, 2002: 164; O’Donnell, 2003: 14). Foto selfie milik akun bli_div merupakan foto selfie
dalam kategori endorse yang kaya akan
‘kode’. Sosok laki-laki yang terlihat seolah mempromosikan suatu produk ini
dapat kita ketahui jika melihat bio pada instagram-nya,
namun bukan hal tersebut yang akan diperbincangkan lebih jauh pada tulisan ini.
Keberadaan kode adalah hal yang utama dalam tulisan ini, di mana foto selfie endorse milik akun bli_div merupakan media yang akan dibedah dengan
semiologi Roland Barthes.
Kode yang hadir dalam foto selfie endorse tersebut, antara lain; kalender, kertas yang dibingkai,
aneka buku, kotak berwarna merah, lembaran kertas, udeng berwarna hitam, baju kaos merah yang memuat tulisan puja
mandala, gambar lima karikatur atas keyakinan tertentu, beserta gambar tempat
suci atas kelima keyakinan, caption
‘kedamaian dalam keberagaman’ dituangkan dalam kaos premium di mana dalam
desain dapat dirasakan kedamaian, keceriaan, kebersamaan dalam keberagaman
agama.
Hadirnya banyak tanda
menunjukkan kemapanan ‘kode’ hadir dalam foto selfie bli_div. Hal tersebut senada dengan Saussure yang melihat
tanda seperti lembaran kertas, di satu sisi adalah penanda, dan sisi yang lain
menjadi petanda dan kertas itu sendiri adalah tanda; sedangkan Barthes kembali
menegaskan bahwa tanda memiliki valensi ganda dan dapat menyesatkan ataupun
‘menipu’ (Barthes, 2010: 5). Tanda dalam foto selfie endorse bli_div
akan dikupas lebih dalam melalui elemen-elemen semiologi, setelahnya akan
dibedah kembali dengan lima jenis kode semiologi Roland Barthes. Tahap terakhir
analisis foto selfie endorse ini adalah merekonstitusi
melalui dimensi sosial yang ada. Sosok laki-laki yang terpaut hadir dalam foto selfie ini akan ditiadakan, sebab yang
akan lebih dalam dibahas hanyalah ‘tanda’. Tanda akan dibahas dengan semiologi,
di mana semiologi memiliki imajinasi atas kemungkinan yang liar untuk memungut
makna yang tak dapat hadir sendiri (Berger, 2010: 8).
Efek tiruan, tahap
pertama dalam menguraikan foto selfie
endorse bli_div merupakan tahapan
awal untuk membicarakan kode. Elemen efek tiruan hadir menjawab sesuatu atas
banyaknya kemungkinan seperti penempatan efek dalam foto selfie tersebut. Keadaan gambar yang seolah jernih dan halus;
keberadaan halus tersebut dapat dicermati pada wajah objek dalam foto selfie. Dugaan atas hal tersebut terlepas
dari apa yang sebenarnya terjadi. Penempatan mode perhalus yang menjadi titik
pusat foto ataupun pemakaian mode percantik hadir berbaris menerka-nerka atas
apa yang terlihat pada foto selfie
tersebut. Kemungkinan menggunakan efek lain seperti bright ‘kecerahan’ pun tidak dapat dihindarkan bila melihat foto selfie yang seolah dengan cahaya sebagai
penopangnya. Kesan yang ditampilkan pun seolah sosok laki-laki ini hadir begitu
segar dan apa adanya, terlepas dari komposisi yang dipadukannya dalam ber-selfie.
Elemen semiologi kedua yang
akan diurai lebih dalam adalah pose,
di mana gaya yang hadir menjadi tidak stabil atas tanda yang hadir sebagai
penggandengnya. Pose sosok laki-laki yang hadir seperti menyandar pada sebuah
latar bercorak garis-garis dengan warna lembut ditegaskan akan hadirnya
bayangan. Hal tersebut seolah menempatkan bli_div pada keadaan nyaman dan
santai. Sebuah pose yang begitu menitikberatkan pada ketidaksengajaan, dan
hadir begitu sempurna dengan tanpa sentuhan ‘setingan’. Meskipun demikian, untuk mengenal penelaah elemen pose Roland
Barthes tetap diperlukan sinkronis atas semiotik di sekitarnya (Sunardi, 2002:
102). Pose pada foto bli_div berada di antara stabil dan tidak stabil, ekspresi
wajahnya yang datar menghadirkan tanya apakah dirinya dengan niat telah ber-selfie atau justru terpaksa ber-selfie. Pose dengan memiringkan wajah
sebagaimana pada analisis foto selfie masyarakat umum dan selebritis tidak ditemukan
dalam analisis foto endorse ini.
Keadaan seolah merujuk pada penekanan yang lain; yaitu promosi yang
dilakukannya. Promosi memanglah bentuk yang sedang dianalisis pada foto selfie ini, namun kehadiran tanda yang
menguatkan promosi tersebut jauh lebih penting untuk dicermati dan dianalisis;
sebab tanda tersebut kerap nakal mengundang mitos dalam perspektif semiotik
Barthes.
Sejajar dengan elemen pose,
posisi objek pun turut diungkap dalam memecahkan bagaimana hadirnya pose selfie tersebut. Objek di sini penulis posisikan sebagai teka-teki atas tiruan yang
dihadirkan. Kemungkinan yang hadir merujuk pada keberterimaan, pengetahuan, dan
ketaatan. Tiruan serupa karikatur yang disisipkan dalam baju kaos berwarna
merah yang dikenakan bli-div, yakni terdapat lima individu yang bergandengan
seolah hadir dengan satu tujuan dan hadir sebagai sebuah kelompok; disusul
dengan gambar yang mendukung atas bagaimana karikatur keyakinan tersebut
dihadirkan. Saling menggenggam tangan satu sama lain menyerukan keberterimaan
atas perbedaan yangkerap kali dipasangkan atas keyakinan satu dengan keyakinan
lainnya.
Pada bagian atas terlihat
beberapa lembaran kertas menyerupai sertifikat ‘penghargaan’ yang terbingkai,
tersembunyi di balik kalender. Penghargaan yang seolah menunjukkan kualitas
atas sebuah pengetahuan atau usaha, terlepas dari siapa yang sebenarnya
memiliki penghargaan tersebut.
Terlihat pula beberapa buku
disejajarkan pada rak yang menjadi tempat sandaran tangan bli_div. Beberapa
judul buku terlihat tidak begitu jelas, namun menempatkan bahwa begitu banyak
pengetahuan yang dimiliki bli_div, ataukah baru akan dimilikinya; ketidaktahuan
penulis akan keadaan yang sebenarnya, tentang apakah buku tersebut telah dibaca
semua atau hanya menjadi pajangan semata. Pajangan yang tidak lain mampu
menunjukkan citra seseorang atas pengetahuan yang dimilikinya atau tingkat intelektualitas
orang tersebut. Complete spanish,
berpikir positif, buku fotokopian yang terjilid cover, Mati Bahagia karya
Albert Camus, batin yang damai dan beberapa judul buku yang samar; seolah
ponsel yang digunakannya tidak mendukung kejernihan atas suatu kenyataan atau
memang demikianlah keterbatasan sebuah ‘elektronik’.
Fakta jelas ataukah sebatas
kontruksi kamera bukanlah sesuatu yang tidak berarti dalam analisis semiologi.
Masyarakat dalam budaya posmodern tidak serta-merta bebas dipasangkan pada
pandangan fondasionalisme yang tidak ilmiah, tidak pula dapat dengan mudah
menerima sesuatu yang memang telah hadir demikian; namun teori atau metode yang
tidak lain menjadi bagian atas pengetahuan dapat menjadi penggambaran atas
realitas ‘mirror of nature’ secara
objektif (Lubis, 2014: 19). Demikianlah klasifikasi atas penanda yang hadir
dalam sebuah sistem tanda; serupa dengan hadirnya tanda dalam analisis
semiologi Barthes.
Dalam hal ini, Barthes juga
menjelaskan banyak mengenai korelasi signifikasi
atas tanda, tanda yang tidak lain adalah suatu irisan dan selalu hadir atas
lebih dari satu realitas, ganda bahkan lebih dari itu. Kehadiran ‘tanda’ dapat
menarik pemahaman atas hal lain di luar tanda tersebut (Barthes, 2017: 68-69).
Benda berwarna hitam yang hadir bersekat di bawah barisan buku kembali
menyerukan keterikatan atas suatu keyakinan tertentu. Udeng berwarna hitam
dengan sedikit sentuhan warna perak memposisikan dirinya sebagai seseorang yang
mungkin hadir dalam kualitas atas keyakinan yang dimilikinya.
Fotogenia, elemen semiologi ketiga,
elemen semiologi yang erat kaitannya dengan bagaimana sebuah foto tersebut
terdokumentasi dan mewakili maksud atas suatu makna yang dimaksudkan. Fotogenia
yang terlihat seolah terbatas pada guratan cahaya yang terputus. Ia hadir untuk
menumpukkan diri pada bli_div dan baju kaos merah yang menjadi produk endorse-nya. Beberapa bagian secara
jelas terlihat lebih gelap menegaskan bahwa cahaya dihadirkan secara sepihak
untuk mempercantik makna yang mungkin dimaksudkan olehnya.
Estetisisme, elemen
semiologi keempat yang berkaitan dengan komposisi foto secara keseluruhan.
Gambaran atas sesuatu dapat dengan bebas ditebak hanya melalui pembacaan atas
kumpulan tanda yang hadir; ‘tanda-tanda’ menunjukkan karakteristik walau
cenderung hadir dengan aneka imajinasi (Berger, 2010: 152-153).
Foto selfie bli_div menempatkan seolah dirinya hadir pada suatu
keistimewaan yang begitu terselubung atas baju kaos yang dikenakannya.
Keistimewaan yang begitu langka hadir pada insan-insan yang lain; yaitu
keberterimaan atas perbedaan.
Sintaksis, elemen semiologi kelima
yang menyerukan suatu bahasa khas atas foto ‘gambar tidak bergerak’. Pemakaian caption ‘kedamaian dalam keberagaman’
dituangkan dalam kaos premium di mana dalam desain dapat dirasakan kedamaian,
keceriaan, kebersamaan dalam keberagaman agama. Produk By @aim.giftshop OYANA’
terasa jelas memuat suatu bujukan atas sesuatu. Sesuatu yang tidak lain adalah
agar timbul ketertarikan atau rasa penasaran bagi orang lain yang melihat foto selfie sekaligus membaca serta mengerti
atas penjelasan foto selfie yang
diunggah tersebut. Penjelasan atas kedamaian dalam keberagaman yang disisipkan
tersebut turut menegaskan bahwa kemungkinan seolah hadirnya keberterimaan
bukanlah sesuatu yang keliru dan mewakili realitas. Penegasan kembali dapat
dimengerti pada ‘dapat dirasakan kedamaian, keceriaan, kebersamaan dalam
keberagaman agama’; penjelasan atas keyakinan seseorang yang tidak lain
tertampung dalam agama pun jelas ditegaskan olehnya. Bagian yang menarik adalah
keseluruhan atas khas yang ditawarkan ‘kedamaian, keberagaman, keceriaan serta
kebersamaan’ tersebut hadir dalam kaos premium, sebuah cara yang sangat halus
seolah menyentuh suatu keharusan untuk membeli kaos premium dari @aim.giftshop
bila ingin mendapatkan kesan keberterimaan tersebut.
Sebelum pada tahapan menentukan
makna ‘dimensi sosial’, diperlukan suatu praktik dengan mengungkapkan etape
analisis semiotik (Sunardi, 2002: 81-83). Pe-rekonstitusi akan dilanjutkan
dengan menghadapkan foto selfie endorse bli_div
pada lima jenis kode semiologi; yang menentukan sistem pemaknaan dimensi sosial
foto selfie. Hermeneutik, kode pertama semiologi Roland Barthes yang merupakan
penilaian di luar bli_div sebagai pemilik foto. Tafsir pada kode ini merupakan
aksi ekstrem; atas hadirnya yang secara bebas menerka-nerka kemungkinan hanya
dengan sekilas melihat foto dengan tanpa memperhatikan kode lebih dalam.
Penampakan ‘acuh’ dan ‘santai’ seolah hadir berbanding terbalik dengan jajaran
kode yang termuat. Terlihat acuh, seolah santai dan tak peduli hadir pada minimnya
ekspresi bli_div. Mengungkit kesan simulasi Baudrillard, bahwa yang terlihat
tidak seperti yang terlihat; berkaitan dengan semiologi Barthes, dan karenanya-lah
perlu suatu usaha pembacaan kode. Pembacaan agar dapat menyikapi kemungkinan
yang terjadi.
Proairetik, kode kedua
yang merupakan tafsir mendalam atas kode yang termuat dalam foto selfie endorse ini. Kombinasi yang pas
untuk sebuah hal yang senada. Tafsir pada tahapan ini adalah kumpulan fabel
yang terdiri dari banyak kode. Kesan ‘miskin’ sekaligus ‘kaya’ hadir kembali
mengintimidasi analisis penulis. Rentetan linear dengan terma ‘dugaan’ yang
serasa mustahil berbaris dengan inisial atas sekuensi ‘penilaian atau
keputusan’ baru yang bisa saja terjadi (Barthes, 2007: 216-217).
Miskin ekspresi, di mana
ekspresi yang dihadirkan bli-Div begitu minim dan datar. Seolah melihat dan
menerima semua tuduhan penulis. Hadir dengan kepolosannya yang membuat penulis
takluk sekaligus khawatir atas ‘betulkan demikian?’. Sorot matanya yang halus seolah
menyaksikan kebingungan penulis atas rententan keraguan yang memicu tanya dan
begitu menuntut jawaban.
Di sisi lain, kekayaan atas
dirinya seolah dilengkapi oleh harmoni tanda yang seolah membentuk bli_div
sebagai seorang tokoh. Pelajar, terpelajar, atau sedang belajar melalui
banyaknya buku yang berbaris tidak rapi pada bagian atas; seolah cukup sering
dibaca atau seakan ditata demikian. Tokoh seolah hadir dengan seluruh keyakinan
atau jati diri yang sebenarnya menimbulkan tanya ‘apakah hanya sebatas citra?’
untuk menopang promosi produk. Kecurigaan yang hadir seolah tak berkuasa sebab
penulis tidak menemukan sesuatu yang senada atas segala hal yang penulis
tuduhkan.
Budaya, kode ketiga yang mengacu
pada forma ‘aturan’ yang murni historis atas sebuah kebiasaan, budaya atau
tradisi. Dalam analisis kode ini, budaya di sini sama senadanya dengan posisi
konstruksi sosial. Konstruksi bahwa yang fisik ‘to supervene’ mengubah yang sosial ‘the social’ atau yang mental ‘the
mental’ mengubah yang fisik; sebagaimana budaya atau latar historis
seseorang, paling tidak mempengaruhi perkembangan individu tersebut (Kukla,
2003: 36; Barthes, 2007: 218). Banyaknya buku yang dibariskan pada rak bagian
atas menempatkaan banyaknya wawasan yang dimiliki bli_div. Hal tersebut
memiliki kemungkinan tersendiri atas suatu relasi yang menjadikan bli_div hadir
dalam keberterimaan.
Baju kaos merah yang dikenakan
bli-div menjadi titik fokus sebab di sanalah titik utama promosi produk. Warna
merah yang mencolok tersebut berhasil mencuri fokus untuk lebih utama dicermati
ketika berhadapan dengan foto selfie-nya.
Hal tersebut dapat saja menjadi sekadar upaya untuk memasarkan produk kaos
premium, dan hal lain di luar tersebut adalah benar-benar atas
ketidaksengajaan. Letak gambar bangunan di belakang lima karikatur utama yang
berwarna gelap; dapat saja hanyalah pendukung dan menjadi cermin atas lima
karikatur tersebut.
Lima karikatur yang hadir
dengan perpaduan tiga warna (putih hitam dan merah) seolah hadir dengan lebih
dari satu maksud. Tridatu (tiga
warna) seolah mensejajarkan filosofi tertentu yang dominan atas keyakinan
‘Hindu’. Hal tersebut melengkapi keberadaan ‘udeng’ sebagai pakaian yang menunjang keyakinan tersebut.
Keberagaman atas banyaknya keyakinan termasuk banyaknya perbedaan yang hadir
dengan tujuan yang sama; tujuan yang baik. Keceriaan berupa guratan tertuang
dalam senyum yang hadir pada kelima karikatur dan kebersamaan pada keadaan
mereka ‘gambar karikatur’ yang saling menggenggam satu sama lain. Keberagaman,
keceriaan, serta kebersamaan tersebut seolah dapat dipasangkan dengan tiga
warna (putih, hitam dan merah) untuk sebuah keberterimaan yang tertampung dalam
sebuah kaos dari @aim.giftshop.
Semik, kode keempat semiologi
yang mengacu pada label pada bagaimana foto selfie
endorse dalam arkatipe Carl Gustav Jung. Serupa dengan pelabelan yang
penulis terapkan pada analisis foto selfie
selebritis (Via Vallen)—lihat tulisan sebelumnya. Walaupun demikian, penulis
merasa perlu lebih dulu mengenalkan bahwa tidak hanya Carl Gustav Jung yang
dapat dihadirkan pada analisis semik; tokoh lain seperti Julia Kriteva pun
dapat saja hadir untuk mengekspresikan label atas anima seseorang.
Kristeva menyatakan bahwa
semiotik adalah kesadaran kekanak-kanakan dan dorongan individu dalam fase
pra-Oedipus. Sebuah dorongan yang berasal dan terjadi atas emosional individu.
Dalam perspektif Kristeva, dapat penulis letakkan kesamaan dengan pemikiran
Barthes. Barthes menganalisis suatu hal melalui metode semiologi atas dasar
pengalamannya. Pengalaman yang tidak lain dan terbentuk atas kungkungan jeruji
emosional dirinya, melalui pengetahuan yang dimiliki Barthes, serta batasan
yang hadir begitu saja dalam wujud emosional-lah yang menuntun sebuah analisis
yang bila dilihat sekilas cenderung subyektif. Oleh karenanya, sangat perlu
sebuah batasan, dan Barthes telah menghadirkan batasan tersebut sebagai acuan
dalam semiologinya. Membiarkan batasan itu hadir dan menuntunnya agar
menghasilkan sebuah pemenuhan yang objektif; melalui elemen-elemen semiologi, kode-kode
semiologi ataupun dalam hakikat sistem linguistiknya (O’Donnel, 2003:97;
Sunardi, 2002: 160).
Pemikiran arkatipe Carl Gustav
Jung kembali digunakan dalam analisis pada foto selfie endorse ini hanyalah agar terdapat keserasian antara acuan
menentukan label pada analisis foto
selfie masyarakat umum, analisis
selfie selebritis, ataupun pada analisis foto selfie tokoh politik. Pelabelan oleh Jung pun terbilang kaya, sebab
Jung menghadirkan dua belas pelabelan yang lebih dikayakan lagi oleh analisis
atas salah satu label tersebut.
Kita seolah bisa memposisikan
bli_div dalam tipe understanding
‘sage’. Melalui hadirnya yang cenderung pada keberterimaan atas keberagaman
yang ada. Hal tersebut tidak hanya tergambar pada caption-nya, namun juga pada barisan buku yang tertata pada bagian
atas; seolah buku tersebut adalah milik bli_div. Pada label tersebut, bli_div ‘yearn for paradise’ di mana bli_div
hadir dalam tatanan ‘mengerti’ atas banyak hal yang hadir beragam. Tipe yang
dilabelkan pada bli_div seolah hadir memecah konstruktivisme sosial. Kesesuaian
atas konstruksi dalam keberbedaan adalah sebuah perpecahan, di mana beberapa
sekat jelas dibuat sehingga kata ‘keberterimaan’ menjadi sesuatu yang sulit
diperoleh. Bila saja ditemukan individu yang hadir dalam keberterimaan, maka
itu tak lebih banyak dari jumlah yang menolak dengan dasar mempertahankan
basisnya sendiri.
Sebagaimana yang dijelaskan bahwa
kesesuaian antara observasi dengan teori lebih utama daripada dugaan semata (Kukla,
2003: 60). Kendati demikian, hal yang mempengaruhinya adalah penerimaan atas
interpretasi yang lain. Melalui hal tersebut, sesuatu serupa dengan
‘menghargai’ kemudian rasa keberterimaan atas keberagaman akan segera hadir
mengisi hal yang kosong.
Simbolik, kode kelima semiologi
Roland Barthes yang mentransformasikan tanda sebagai simbol. Hadirnya tanda
dapat secara langsung mengargumenkan potongan-potongan makna yang tercecer;
oleh karenanya tanda dijadikan satu untuk dinegosiasikan dalam
kemungkinan-kemungkinan. Foto selfie
bli_div yang ditangkap atau didokumentasikan di dalam ruangan menjadi antitesis
dari orang yang pada umumnya berfoto di luar ruangan. Selembaran kode simbolik
dengan dugaan lain atas kemenduaan dapat pula dipasangkan pada foto selfie-nya. Kemenduaan atas hadirnya
yang cenderung menerima, mengerti, dan menoleransi keberagaman dapat saja
menipu atau menjadi citra semata. Tanda kembali merancu makna dan posisi
penulis kembali tidak berdaya dalam hal menduga.
Semua dugaan seolah percuma dan
justru menyesakkan hadirnya makna. Namun, kode simbolik yang lebih dominan
penulis temukan adalah hadirnya bli_div dalam kemenduaan; hal tersebut
ditegaskan akan penataan buku yang tidak rapi pada rak bagian atas. Posisi buku
tersebut seolah menunjukkan bahwa bli_div lebih sering membacanya demi
pengetahuan.
Oleh karenanya, barisan buku
tersebut menjadi tidak rapi. Bli_div yang kaya akan pengetahuan, pengetahuan
yang mungkin diperolehnya dari membaca dapat menjadi alasan atas
keberhasilannya mendapat lembaran kertas yang terbingkai pada bagian rak paling
atas. Bingkaian yang mewakili prestasi tertentu.
Representasi dimensi sosial pada foto selfie bli_div yang menekankan pada
kemenduaan atas tanda melahirkan tanya. Pembacaan makna atas foto selfie bli_div seolah menutup diri atas
realitasnya. Analisis ini seolah menjadi bagian vital dan menjadi ekspresi atas
nilai analisisnya terhadap suatu tanda (Wachid, 2005: 54). Setiap individu pada
umumnya melakukan aktivitas ‘membaca’, hal tersebut merupakan abstraksi untuk
menemukan makna; walaupun pembacaan dilakukan dengan cara yang berbeda. Satu
hal yang sama adalah semua media pembacaan tersebut adalah terkhusus untuk
menemukan makna. Ekspresi emosional atas pembacaan tersebut pun kadang tak
dapat dihindari sebagaimana Julia Kristeva menganalisis semiotik. Serupa dengan
Barthes, di mana pengalaman seseorang pun kerap mempengaruhi analisis tanda
yang merujuk pada makna. Relasi pemaknaan menjadi kompleks antartanda ‘kode’
yang terlihat, meskipun begitu; tanda kerap kali menimbulkan alienasi (keterasingan)
dan ‘penindasan’ pada realitas yang sebenarnya (Wachid, 2005: v).
Munculnya tuduhan lewat
representasi adalah sesuatu yang lazim dan tak perlu dipersoalkan; sebab
Barthes telah membentuk riwayat atas pembacaan tanda. Kerangka tersebut
ditujukan agar analisis akhir dapat serupa dengan cara Barthes menarik suatu
makna dalam persembunyiannya. ‘Tanda’ kemudian bergerak seolah hadir dengan
kekuasaannya yang mutlak.
Oleh karenanya, pembaca tanda
dapat sewenang-wenang menafsirkan makna yang mungkin hadir atas tanda yang
terlihat (Wachid, 2005:121-125). Dimensi sosial foto selfie bli_div kaya dengan kode namun seolah tanpa konten.
Keberadaannya yang santai pada posenya justru mengandung kontradiksi atas
hadirnya yang sibuk melakukan suatu promosi atas baju yang dikenakannya. Konten
karikatur yang termampatkan dalam kaos merah premium seolah dengan mudah
menutupi bagian yang selesai dan sesuai atas sintaksis yang bli_div hadirkan.
Keadaan keberterimaan, saling
menggenggam tangan menimbulkan suatu pertanyaan, ‘benarkan dirinya menggenggam
tangan?’ sedangkan dirinya hanya hadir seorang diri. Buku yang ditampilkan pun
turut mengisi keraguan, ‘apakah buku tersebut telah dibaca olehnya?’,
pertanyaan yang memerlukan jawaban atas kemungkinan bahwa semua hal yang
terlihat mungkin ‘hanyalah citra’. Citra diri atas posisinya sebagai model
produk dan sedang melakukan promosi. Muatan foto selfie bli_div seketika hadir dengan beragam identifikasi, kaya
akan penggolongan seolah penuh paradoks. Lima karikatur yang tergambar sengaja
diperjualkan, sedangkan kebersamaan bukanlah bentuk dagangan; namun ditempatkan
seolah memiliki nilai untuk sebuah harga. Nominal menjadi penentu atas kaos
‘premium’ yang kaya akan toleransi atas keberbedaan. Paradoks tersebut menggambarkan kontradiksi yang ‘sangat’ atas
realitas yang terjadi, namun tanda yang hadir justru menempatkan bli_div dalam
perwujudan sikap diri yang ideal, yang tidak terbelenggu atas kontruksi sosial
masyarakat.
*****
Tags:
A.A Chintya Maharani Putri
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment