“The Unholy Trinity”: WB, IMF, dan WTO
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah
Institute
Sosiolog
Universitas Udayana
“Indonesia akan menjadi korban pertama
saya...”
[John Perkins, Bandit Ekonomi]
Orientasi
“Trinitas tak suci”, itulah julukan bagi WB (World
Bank), IMF (International Monetary
Fund), dan WTO (World Trade
Organization). WB dan IMF adalah organisasi internasional yang dibentuk PBB
pasca-Perang Dunia II untuk membantu rekonstruksi dan pemulihan pascaperang. Tak
dapat dipungkiri, kehadiran WB dan IMF sangatlah membantu dan menguntungkan negara-negara kalah perang. Namun pada tahun 1970-an, ketika pemikiran ekonomi
neoliberal naik ke permukaan, orientasi WB berikut IMF tak lagi berfokus dan
berlokus pada pemulihan ekonomi pascaperang, melainkan sebagai agen penyebar
(baca: perekomendasi) ide-ide neoliberal di dunia internasional. Sementara, WTO
terbentuk tahun 1995, setelah sebelumnya bernama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). WTO dibentuk untuk
membantu para eksportir dan importir atau penyedia barang dan jasa dalam melakukan
perdagangan internasional.
Secara format
dan orientasi yang lebih spesifik, WB berbeda dari IMF. WB adalah institusi
pembangunan yang bisa bergerak di ranah struktural baik makro maupun mikro. Ia
dapat menggalakkan proyek-proyek sosial di negara penerima bantuan, menyoroti
isu-isu lingkungan, HAM, dan lain sebagainya. Dengan sistem operasi yang
demikian, rentang operasi atau kerja WB di suatu negara cenderung lebih lama
ketimbang IMF. Di samping itu, WB juga memiliki kewenangan untuk menjatuhkan
sanksi pada negara penerima bantuan. Sementara, IMF adalah institusi keuangan
yang berfokus membenahi (menyeimbangkan) neraca pembayaran suatu negara. Institusi
ini sekadar berurusan dengan persoalan moneter dan hanya beroperasi di ranah
makro, semisal dalam urusan anggaran negara, investasi, kurs, serta kredit
suatu negara. Itulah mengapa, ketika IMF masuk ke Indonesia, perekonomian makro
tanah air membaik, namun tidak dengan kondisi mikroekonomi-nya. Rekomendasi-rekomendasi
IMF sekadar dirasakan oleh masyarakat kelas sosial atas dan menengah. Lewat
sistem operasi yang demikian, rentang usia IMF cenderung singkat di suatu
negara, institusi ini pun tak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi.
Isu Lingkungan dan HAM
Sebagai International Financial Institutions
(IFI), baik WB, IMF, maupun WTO sesungguhnya turut menjadi subyek hukum
internasional dan subyek prinsip-prinsip HAM internasional. Ini artinya, mereka
turut bertanggung jawab terhadap berbagai dampak program yang direkomendasikan
pada negara penerima bantuan, baik itu dampak ekologis maupun kemanusiaan. Hal
ini seturut dengan bunyi Deklarasi Kopenhagen 1995 tentang Pembangunan Sosial
dan Program Aksi. Bahkan, Prof. Daniel D. Bradlow asal School of Law, Washington
University mengatakan jika berbagai bentuk penyelewengan yang dilakukan pemerintah
negara penerima bantuan seharusnya turut menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga
internasional pemberi pinjaman. Faktual, ini sekaligus bisa menjadi mekanisme
kontrol yang bersifat check and recheck,
yakni apabila bantuan yang diberikan tak tepat sasaran, dan justru menurunkan
kualitas hidup masyarakat suatu negara, maka ini tergolong sebagai concern ‘perhatian’ atau problem
kemanusiaan.
Hingga kini, hal
di atas belumlah dilakukan. Mengutip pertanyaan John Pilger jauh-jauh hari pada
IMF dalam film dokumenter The New Rulers
of The World (2001) yang kurang-lebih berbunyi: “...yang bermasalah adalah pemerintah Indonesia kala itu (Soeharto).
Lalu, kenapa kalian membiarkan masyarakat Indonesia menanggung akibatnya?
Kenapa tidak dihapuskan saja hutang-hutang itu?”. Jawab IMF, “Ini terjadi di seluruh dunia (pemerintahan
negara dunia ketiga). Jika kami melakukannya, kami akan bangkrut”. Pernyataan
IMF secara jelas menunjukkan jika mereka sama sekali tak bertanggung jawab
terhadap berbagai penyelewengan negara penerima bantuan, dan kian menunjukkan pinjaman
sebagai “jebakan hutang”.
Lebih jauh, WB
dan IMF sesungguhnya juga harus menjamin tanggung jawab negara penerima bantuan
kepada mereka tak mengganggu kewajiban-kewajiban negara tersebut terhadap dunia
internasional. Seyogiyanya, mekanisme ini dapat mengakomodasi isu-isu
kemanusiaan di negara penerima bantuan, yakni bagaimana problem kemanusiaan bisa
berimplikasi pada produktivitas ekonomi negara tersebut. Sebagai misal, politik
apartheid di Afrika Selatan yang justru membuat dinamika ekonomi negara ini
menjadi tak produktif. Dengan demikian, lembaga-lembaga donor pun sebetulnya bisa
menjadikan syarat tuntasnya problem kemanusiaan sebelum mengucurkan bantuan, hal
yang sama juga bisa diterapkan dalam persoalan ekologis.
Trinitas Tak Suci
Di kemudian
hari, WTO lebih banyak berperan dalam penghapusan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Institusi ini menelurkan kebijakan bahwa
suatu negara tak boleh membatasi ekspor/impor, atau dengan kata lain, hendak membebaskan
arus keluar/masuk barang dan jasa di setiap negara. Dampaknya, negara-negara
berkembang dan miskin tak mampu bersaing, pun cenderung menjadi pasar pasif dari
negara-negara maju. Dengan demikian, apa yang lebih tampak kemudian adalah; WTO
menjadi pembuat legalitas perdagangan dunia, WB menyiapkan kredit bagi
negara-negara di dalamnya, sedangkan IMF memberi pinjaman hutang. Kolaborasi
ketiganya menghasilkan The Washington
Consensus (1989) yang berisi sepuluh kebijakan ekonomi sebagai standar reformasi
ekonomi bagi negara-negara yang sedang dilanda krisis. The Washington Consensus beresensikan pada liberalisasi ekonomi, dan
sekali lagi, hal ini tentu merugikan negara-negara dengan modal lemah yang
belum mampu bersaing. Lalu, apa yang sesungguhnya harus dilakukan? Tak lain adalah: peningkatan produktivitas dalam negeri.
*****
Bacaan
lanjutan;
Bradlow, Daniel D. 1999. Bank Dunia, IMF, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
Maulana, Zain. 2010. Jerat Globalisasi Neoliberal: Ancaman bagi Negara Dunia Ketiga.
Yogyakarta: Riak.
Petras, James & Henry Veltmeyer. 2014. Menelanjangi Globalisasi: Sepak Terjang
Imperialisme di Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Pulungan, Amalia & Roysepta Abimanyu. 2005. Bukan sekedar Anti-Globalisasi. Jakarta:
The Institute for Global Justice & WALHI.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment