Sosiologi
Selfie
A.A
Chintya Maharani Putri
Pegiat Sanglah Institute
Tidak dapat dipungkiri, selfie sebagai fenomena kontemporer
masyarakat kekinian juga menuntut teori-teori sosial termutakhir untuk
mengkajinya. Hal ini dikarenakan, situasi dan kondisi sosial saat ini yang
telah jauh berbeda dengan situasi dan kondisi sosial masa lalu. Apa yang
dimaksudkan adalah, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini yang
sudah demikian pesat, termasuk teknologi visual seperti kamera, video shooting, drone, dan lain sejenisnya, yang berbeda dari era sebelumnya. Namun
demikian, hal ini bukan berarti aktivitas atau fenomena selfie sama sekali tidak bisa dikaji dengan teori-teori sosial
terdahulu. Sebagaimana karakter pengkajian dalam ilmu sosial-humaniora yang
tidak pernah bersifat tunggal, yakni suatu fenomena atau obyek penelitian yang
dapat dikaji dengan berbagai perspektif, kiranya begitu pula dengan selfie. Pengkajian selfie dengan teori-teori sosial (sosiologi) terdahulu dapat
dilakukan dengan menempatkan selfie
sebagai salah satu bentuk perilaku sosial atau perilaku individu, yaitu dengan
memisahkan aktivitas selfie dari
dimensi teknologi visual seperti gawai sehingga tidak menjurus pada pembahasan
teori sosial posmodern atau cultural
studies.
Pertama,
pemikiran Max Weber mengenai tipe-tipe rasionalitas tindakan sosial kiranya
bisa menjelaskan aktivitas selfie.
Tindakan sosial adalah tindakan individu yang penuh makna terhadap individu lain, tertuju pada
individu lain, serta memiliki dampak terhadap individu lain (Soekanto, 2002:
9-10). Aktivitas selfie sesungguhnya
bisa dilihat sebagai aktivitas tindakan sosial, hal ini dikarenakan ketika
seseorang melakukan selfie dan
diunggah ke media sosial, ia tidak hanya melakukan selfie tersebut untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang
lain.
Lebih jauh, terdapat empat tipe
rasionalitas tindakan sosial menurut Weber, yaitu; rasionalitas instrumental,
rasonalitas nilai, rasionalitas tradisional, dan rasionalitas afeksi.
Rasionalitas instrumental adalah tindakan sosial seseorang yang berupaya
mencapai tujuan dengan cara seefisien mungkin. Rasionalitas nilai adalah
tindakan sosial seseorang yang didasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Nilai
sendiri adalah sesuatu yang dianggap baik, benar, dan diharapkan
keterwujudannya. Rasionalitas tradisional adalah tindakan sosial yang
didasarkan pada perilaku turun-temurun. Terakhir, rasionalitas afeksi adalah
tindakan sosial yang kuat dipengaruhi oleh emosi atau perasaan (Ritzer, 2009:
40-41).
Praktik selfie dapat menjadi tindakan sosial
berorientasi instrumental apabila seseorang melakukan selfie dan mengunggahnya di media sosial dengan tujuan agar mudah
memperoleh pasangan (pacar, calon suami/istri). Dalam hal ini, aktivitas selfie yang dilakukannya adalah cara
termudah dan tercepat untuk menjalin relasi dengan lawan jenis apabila ada
seseorang yang mengomentari foto selfie-nya (seseorang yang berminat
dengannya). Terkait dengan rasionalitas nilai, pertama-tama perlu dijelaskan
terlebih dahulu apabila nilai bersifat relatif, yaitu sesuatu yang dianggap
baik, benar, dan diharapkan keterwujudannya oleh individu. Apabila seorang
individu bercita-cita menjadi populer dan menganggap popularitas sebagai hal yang
baik, maka ia tidak akan segan-segan membuat banyak foto-foto selfie untuk
kemudian mengunggahnya di media sosial. Rasionalitas tradisional dalam konteks selfie hanya akan terjadi apabila
aktivitas selfie menjadi praktik
sosial yang turun-temurun, yakni apabila ikut dilakukan oleh generasi
selanjutnya. Sedangkan rasionalitas afeksi dalam aktivitas selfie dapat dilihat
pada mereka yang memang gemar dan bahagia melakukan selfie. Artinya, tindakan selfie yang dilakukannya didasarkan oleh
perasaan senang, bisa juga didorong oleh perasaan keharusan melakukan selfie untuk mengabadikan momen-momen
tertentu.
Kedua,
pemikiran George Simmel mengenai “manusia sebagai makhluk pembeda” kiranya juga
bisa digunakan untuk mengkaji fenomena selfie.
Konteks pemikiran Simmel tersebut sesungguhnya berada di area fashion, yaitu
bagaimana individu selalu ingin berbeda dari individu lainnya, tetapi perbedaan
tersebut haruslah tidak mencolok. Hal ini dikarenakan, apabila perbedaan
individu terlalu mencolok, maka ia akan dikucilkan. Oleh karenanya, individu
selalu berusaha untuk menjaga ketegangan antara persamaan dan perbedaan dirinya
dengan individu lain, dan fashion menjadi salah satu sarananya (Hardiman, 2016:
84-85).
Dalam konteks selfie, individu berusaha menjaga persamaan dirinya dengan individu lain dengan melakukan selfie yang sedang menjadi tren di
tengah masyarakat luas. Dengan kata lain, individu berusaha mengikuti budaya
yang sedang populer di masanya agar seperti individu-individu lainnya. Adapun perbedaan yang ditunjukkan
individu dalam selfie-nya, bisa
dilihat lewat gaya atau
pose yang ditunjukkan individu tersebut, termasuk fashion atau hal-hal lain yang ingin ditampilkan individu dalam selfie-nya. Sebagai misal, ada individu
yang melakukan selfie dengan duck face (wajah bebek), terdapat
individu yang melakukan selfie dengan
latar pemandangan alam, latar aktivitas sosial, bahkan ada pula individu yang
melakukan selfie dengan latar ekstrim
untuk mengundang decak kagum individu lain yang melihatnya.
Ketegangan antara persamaan dan
perbedaan satu individu dengan individu lainnya inilah yang menurut Simmel
melahirkan identitas. Itulah mengapa, foto-foto selfie seorang individu yang diunggah di media sosial ada kalanya
bisa merepresentasikan identitas atau karakter individu tersebut, misalnya
individu dengan tipe party (penyuka
pesta), tipe traveler, tipe akademik,
tipe penyuka aktivitas ekstrim, tipe pecinta musik, tipe sporty (pecinta olahraga), dan lain sebagainya.
Ketiga,
teori sosial klasik lain yang bisa digunakan untuk mengkaji selfie adalah teori kelas menengah
sebagai leisure class (kelas
penikmat) dari Thorstein Veblen. Menurut Veblen, kelas menengah adalah mereka
yang memiliki cukup banyak waktu luang sehingga bisa mengakses
aktivitas-aktivitas hiburan sesuai kehendaknya (hobinya). Mungkin memang,
terlalu terkesan menjustifikasi apabila mereka yang menyukai aktivitas selfie sebagai kelas menengah, tetapi
setidaknya aktivitas tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki waktu luang
untuk melakukannya. Di sisi lain, menurut peneliti LIPI Wasisto Raharjo Jati
(dalam Nugroho, 2018), kelas menengah adalah mereka yang memiliki penghasilan
Rp 1 juta hingga Rp 10 juta per bulannya. Oleh karena itu, besar kemungkinan
pelaku selfie adalah kelas menengah
jika dilihat dari harga gawai yang mereka gunakan untuk selfie
yang umumnya berharga Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta untuk kualitas gawai yang
paling minimal hingga sedang.
Teori Veblen lain yang kiranya bisa digunakan untuk mengkaji selfie adalah teorinya mengenai demonstration effect (efek demonstrasi).
Demonstration effect adalah pemikiran
Veblen yang berkaitan dengan media, yaitu bagaimana media dapat membawa “efek
percontohan” sehingga individu atau masyarakat yang melihatnya dapat menirunya
(Scott, 2012: 135-136). Dalam konteks selfie,
hal ini jelas terjadi, yaitu bagaimana selfie
yang dilakukan orang lain secara tidak langsung menjadi percontohan bagi
individu lain untuk menirunya. Bahkan dengan kepopuleran selfie di mana institusi-institusi besar seperti PBB ikut
mempopulerkannya, termasuk juga seleb-seleb figur publik ikut melakukannya,
maka tidak heran jika masyarakat luas semakin terdorong untuk meniru melakukan
aktivitas selfie.
Selanjutnya,
masuk ke ranah teori sosiologi modern, terdapat beberapa teori sosiologi modern
yang dapat digunakan untuk mengkaji aktivitas selfie, namun perlu diingat kembali, yaitu dengan memposisikan selfie sebagai salah satu bentuk
perilaku sosial. Pertama,
fenomenologi dari Alfred Schutz, pemahaman fenomenologi Schutz mengandaikan
adanya dunia mikro individu di mana dalam dunia mikro tersebut individu dapat
melakukan berbagai manipulasi atasnya (Susilo, 2008: 149). Hal ini dapat
dimisalkan dengan selfie-selfie
individu yang memanipulasi emosi. Sebagai misal, bisa saja seseorang melakukan selfie dalam keadaan sedih, namun ia
tersenyum dalam selfie tersebut
seolah tidak terjadi apa-apa, dan begitu pula sebaliknya. Bisa juga, seseorang
menampakkan gimik-gimik tertentu yang sesungguhnya sama sekali tidak
menunjukkan situasi dan kondisi yang terjadi.
Di
samping itu, pemikiran Schutz mengenai “realitas puncak” dan “makna khusus”
dapat pula digunakan untuk melihat fenomena selfie.
Menurut Schutz, apabila individu tidak mampu menerima realitas puncak, maka ia
akan segera menciptakan makna-makna khusus terhadap realitas tersebut (Zeitlin,
1995: 265-266). Makna khusus ini dapat dimisalkan dengan seseorang yang
mengambil banyak selfie dengan banyak
sudut untuk memanipulasi (menyembunyikan) wajahnya yang tidak terlalu cantik
atau tampan. Apabila individu tersebut menemukan satu sudut pengambilan gambar
yang membuatnya tampak cantik atau tampan, maka foto itu akan menjadi “makna
khusus” baginya, dan besar kemungkinan ia akan selalu menggunakan foto itu
untuk merepresentasikan dirinya.
Kedua, fenomena merebaknya selfie
dapat pula dikaji dengan fenomenologi Peter L. Berger. Dalam fenomenologinya,
Berger mengemukakan adanya tiga momentum berupa eksternalisasi, internalisasi,
dan obyektivasi. Eksternalisasi adalah posisi ketika individu lebih kuat
daripada masyarakat di mana individu aktif memproduksi nilai, norma, dan budaya
masyarakat. Internalisasi adalah posisi ketika individu lebih lemah daripada
masyarakat. Pada posisi tersebut, individu aktif mengadopsi nilai,
norma, dan budaya masyarakat. Momen obyektivasi muncul ketika nilai, norma, dan
budaya tersebut mulai dimiliki dan menjadi acuan bersama masyarakat luas akibat
momen-momen internalisasi (Susilo, 2008: 330-333).
Dalam
konteks selfie, momen eksternalisasi
terjadi ketika satu atau lebih figur publik yang memang biasa disorot dan biasa
dicontoh masyarakat melakukan selfie,
secara tidak langsung ia memberikan ide atau percontohan kepada masyarakat
untuk melakukan hal serupa. Momen internalisasi terjadi ketika masyarakat
melakukan aktivitas selfie akibat
meniru aktivitas selfie figur publik
idolanya. Pada akhirnya, aktivitas selfie
pun menjadi fenomena yang menggejala dan diterima (dilakukan) secara umum
akibat semakin banyaknya aktivitas tersebut dilakukan.
Ketiga, aktivitas selfie dapat pula
dijelaskan lewat teori looking glass self
Charles Horton Cooley. Teori looking
glass self memiliki tiga premis, yaitu (1) Imajinasi penampilan kita pada
orang lain, (2) Imajinasi penilaian orang lain pada diri kita, dan (3)
Penciptaan diri yang ideal lewat perasaan bangga atau malu terhadap penampilan
diri. Dalam konteks selfie, aktivitas
mengunggah foto selfie ke media
sosial dapat ditempatkan sebagai usaha mewujudkan (mengongkretkan) imajinasi penampilan kita pada orang lain. Kemudian,
apabila teradapat individu yang berkomentar terhadap penampilan kita dalam foto
selfie tersebut, maka hal ini dapat
ditempatkan sebagai usaha mengongkretkan imajinasi penilaian orang lain pada
diri kita. Terakhir, lewat kedua dimensi tersebut akan lahir persepsi tentang
diri yang ideal sebagai hasil dari penilaian diri sendiri maupun orang lain
terhadap penampilan diri (Susilo, 2008: 75-80).
Keempat, teori sosiologi di ranah modern yang juga dapat menjelaskan perilaku selfie adalah teori dramaturgi dari
Erving Goffman. Teori dramaturgi Goffman mengandaikan adanya panggung depan dan
panggung belakang setiap individu. Panggung depan adalah bagaimana individu
tersebut “ingin dilihat oleh orang lain”, dengan kata lain, individu yang
berada di panggung depan sedang melangsungkan “pertunjukan”. Selama peroses ini,
ia mengendalikan citra atau kesan-kesan yang ingin ditunjukkannya kepada orang
lain. Sementara, panggung belakang adalah kondisi ketika individu tidak sedang
melangsungkan pertunjukkan, atau dengan kata lain, individu sebagaimana adanya.
Individu ini harus yakin dan selalu berusaha agar panggung belakangnya tidak
mudah dilihat atau diakses individu lain (Poloma, 2004: 229-231).
Kenyataannya,
aktivitas selfie juga mengandaikan
“permainan” antara panggung depan dengan panggung belakang. Panggung depan
adalah apa yang ingin ditunjukkan pelaku selfie
terhadap orang lain, yaitu pakaian, aksesoris, gaya, latar tempat selfie, dan lain-lain dalam foto selfie-nya. Tetapi bisa jadi, apa yang
ditampakkan pelaku selfie itu
sesungguhnya sama sekali tidak merepresentasikan dirinya dalam kehidupan
sehari-hari. Pelaku selfie bisa saja
memfoto dirinya saat menggunakan perhiasan mahal, tetapi bisa juga perhiasan
tersebut meminjam dari orang lain. Contoh lain, pelaku selfie bisa saja memfoto dirinya saat berada di sebuah rumah makan
mahal, namun sebetulnya ia tidak pernah makan di tempat tersebut, dan hanya
ketika ia memiliki uang untuk makan di tempat itu, ia mengambil foto selfie. Hal ini dilakukan untuk
menunjukkan seolah dirinya sering makan di tempat tersebut, sekaligus ingin
menaikkan status sosialnya dalam pergaulan.
*****
Tags:
A.A Chintya Maharani Putri
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment