Filsafat Bencana
|
[pic: cdmsmith.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Korban Gempa Jogja
2006
[...butuh waktu 5 tahun untuk menyembuhkan trauma]
“Bencana
adalah evil, karena ia membunuh siapa
pun,
tak
peduli orang baik atau jahat.”
[Albert Camus]
Alam Menunjukkan Subyektivitas Dirinya
Telah lama
manusia larut dalam antroposentrisme dan menjadi tolak ukur atas segalanya—homo mensura. Lewat antroposentrisme,
yang sekaligus menyuratkan klaim manusia sebagai satu-satunya makhluk hidup
yang “berkesadaran” di semesta ini, ia melihat segala sesuatu di luar dirinya
yang tak berkesadaran sebagai obyek, dan sekadar sebagai “pelengkap
kehidupannya”. Binatang, tumbuhan, dan alam yang dinilai tak berkesadaran,
seolah hanya hadir untuk melengkapi kehidupan manusia. Apa yang muncul kemudian
tak hanya pola pikir atau tindakan untuk “mengobyekkan”, tetapi juga
kesewenang-wenangan manusia terhadap berbagai entitas di luar dirinya.
Sebagai misal,
harimau yang kita jumpai di kebun binatang sesungguhnya bukanlah harimau
sungguhan, melainkan “harimau-bukan-harimau”, begitu juga dengan singa, yakni “singa-bukan-singa”.
Mengapa demikian? Ini dikarenakan, harimau yang sesungguhnya seharusnya berada
di belantara hutan Asia, begitu juga dengan singa sungguhan yang seharusnya
berkeliaran bebas di alam Afrika. Akibat intervensi manusia yang berkesadaran,
hewan-hewan itu dipisahkan dari kehidupan aslinya, dipenjara di balik jeruji
besi, dan dipertontonkan. Sikap pengobyekkan semacam ini sekaligus membuktikan
tak diakuinya eksistensi kehidupan di luar diri manusia.
|
Harima-bukan-harimau
[123rf.com] |
Hal lain yang
muncul dari sikap seperti ini adalah eksploitasi akut terhadap alam yang tak
terhindarkan. Alam sekadar menjadi perahan bagi manusia, karena memang, pola
pikir antroposentris menyebabkan manusia memandang segala sesuatu yang
terhampar di hadapannya seakan tersedia begitu saja untuknya. Lalu, jika selama
ini eksistensi kehidupan di luar manusia selalu dianggap sebagai obyek,
mungkinkah entitas-entitas tersebut menampilkan dirinya sebagai subyek? Sangat mungkin.
Seekor harimau atau singa yang terbiasa ditundukkan oleh pawang-pawangnya, tak
menutup kemungkinan pada suatu hari berbalik menyerang mereka. Hamparan alam
yang biasanya tampak pasif dan seolah pasrah begitu saja, sewaktu-waktu dapat
berubah menjadi bencana yang mengancam dan membunuh manusia.
|
[brandspurng.com] |
Kejadian-kejadian
di atas tak ubahnya “epifani”, sesuatu yang dulu tersembunyi, tak tampak, tak terpikirkan,
namun tiba-tiba tersingkap di hadapan mata manusia berikut mengejutkan
penglihatannya—bahwa segalanya itu memang
ada. Dan memang, lewat bencana itulah kiranya alam menunjukkan
subyektivitas dirinya. Ia yang selama ini sekadar menjadi obyek dan pasrah
“ditindak” manusia, berbalik menjadi subyek yang “menindak” manusia. Ini
artinya, layaknya manusia yang seolah bisa menentukan nasib alam, begitu pula
alam yang bisa menentukan hidup-matinya manusia. Mengapa serangkaian hal ini
disebut sebagai subyektivitas alam? Karena, hanya kualitas-kualitas subyektif
lah yang memang mampu menimbulkan berbagai perasaan seperti terancam,
terintimidasi, “jatuh”, serta menjadikan sang lawan tak ubahnya sebuah “benda”,
dalam hal ini manusia yang terobyekkan.
Fenomenologi Bencana
Alfred Schutz
mengemukakan terdapatnya dunia mikro individu yang berada pada jangkauan individu,
di mana ia—individu—bisa melakukan berbagai manipulasi atasnya. Manusia selalu
meyakini berhadapan dengan realitas nyata sepanjang ia tak memiliki alasan tepat
untuk menyangkalnya, inilah yang disebut sebagai “realitas puncak”. Namun,
manakala manusia tak mampu menghadapi realitas puncak, atau realitas tersebut
tak sesuai harapannya, maka ia pun akan menolak keberadaaan makna puncak, dan
menggantinya dengan “makna khusus”.
Dalam kasus
bencana, seringkali manusia tak mampu menerima kenyataan terjadinya bencana,
inilah yang kemudian memunculkan beragam makna khusus, dan sekaligus
membuktikan eksistensi kesadaran yang bersifat terbagi—kesadaran yang terbagi. Dalam konteks psikologi freudian, kehadiran
makna khusus ini sesungguhnya memiripkan bentuknya dengan mekanisme alam bawah
sadar penderita neurosis yang memunculkan delusi atau halusinasi untuk
menenangkan dirinya, atau “untuk membuat segalanya masuk akal”. Meskipun
memang, fenomenologi Schutz tak sampai menyentuh ranah kejiwaan tersebut, pun makna-makna
khusus yang hadir di permukaan masih pada ambang batas “normal”, maksudnya, bentuk-bentuk
pemaknaan yang meskipun berbeda antara satu individu dengan lainnya, namun tetap
bisa diterima (baca: dimaklumi) antarsatu sama lain.
|
Alfred Schutz
[commons.wikimedia.org] |
Sebagai misal, terdapat
seorang teman yang memaknai putusnya hubungan dengan sang pacar sebagai pertanda
baik, yakni ketimbang hubungan itu dilanjutkan hingga pernikahan, maka bisa
jadi kelak justru akan bercerai. Kita bisa saja tak sependapat dengan pemaknaan
itu, tetapi apa yang dikatakannya boleh jadi ada benarnya. Inilah yang disebut
sebagai kesadaran yang terbagi; tak hanya tafsir berbeda-beda yang muncul dari
satu realitas yang sama, tetapi juga meskipun kita memiliki tafsir berbeda dari
orang lain, tafsir kita selalu memiliki irisan dengan tafsir orang lain.
Dalam kasus
bencana gunung meletus misalkan, terdapat seseorang yang mengatakan bahwa peristiwa
itu disebabkan oleh kemurkaan Tuhan, dari sini kita langsung bisa menebak jika
ia menggunakan perspektif agamis yang pesimis. Di sisi lain, ada juga seseorang
yang berterima kasih kepada Tuhan dikarenakan terjadinya letusan gunung.
Ternyata, ia adalah seorang bisnisman, meletusnya gunung ia lihat sebagai
kesempatan membuka bisnis backhoe
(tambang pasir), serta bagaimana topografi baru yang terbentuk dari letusan itu
berpotensi menjadi obyek wisata baru. Sementara, seorang geolog akan memandang
letusan gunung vulkanik sebagai fenomena alam biasa, karena memang ketika magma
terus mendesak kawah, maka akan semakin tipis pula lapisannya sehingga
menimbulkan letusan. Serangkaian contoh ini kiranya menunjukkan secara jelas
pada kita betapa realitas sesungguhnya selalu sama (tunggal), hanya saja melahirkan
penafsiran yang berbeda-beda. Dengan demikian, tergantung pada diri kita
(subyek/individu) untuk mengambil berikut menentukan tafsir terhadap realitas
itu.
Dekonstruksi Bencana
Pasca tragedi
WTC 2001, seorang jurnalis senior Italia, Giovanna Borradori melakukan
wawancara dengan Jacques Derrida untuk mengulik pendapatnya tentang peristiwa
itu. Sebagaimana disangka, jawaban Derrida lewat metode atau pemikiran dekonstruksi
yang diusungnya menjadi tak tertebak. Pertama,
Derrida mengkritik media yang terus-menerus menyiarkan ditabraknya dua tower
kembar WTC oleh pesawat yang dibajak. Bagi Derrida, hal tersebut justru bakal kian
melipatgandakan teror yang dituai masyarakat, pun malah memenuhi harapan teroris, yakni kian meluasnya skala teror
berikut ketakutan masyarakat. Terkait hal tersebut, pernahkah terbayang oleh
kita jika tragedi WTC sama sekali tak pernah disorot media? Tentu harapan
teroris akan teror yang dibuatnya takkan pernah terwujud.
|
Jacques Derrida
[critical-theory.com] |
Dalam hal ini; dekonstruksi,
secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “upaya pengalihan pemikiran dari
pusat ke pinggiran”. Dalam pengertiannya yang lebih filosofis, dekonstruksi
adalah bentuk “penyangkalan atas logos”. Logos adalah suatu sistem tanda atau
ide yang bersifat tunggal, atau ia yang menolak “yang arbiter”. Kedua, lewat dekonstruksi ini pula
Derrida menolak terjebak pada pusat pemikiran, yakni dua burung besi yang
menabrak tower kembar WTC. Ia lebih berfokus pada narasi pinggiran, yaitu
bagaimana peristiwa WTC akan semakin membuat Amerika Serikat dan negara-negara
Eropa memperbaruhi sistem keamanannya, bagaimana masyarakat terdampak teror akan
melakukan pembaharuan sosial, bagaimana peristiwa itu bakal berkorelasi positif
terhadap terbentuknya solidaritas sosial, dan lain sebagainya.
Lalu, bagaimana
dengan bencana yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini? Adakah narasi
pinggiran dari peristiwa gempa yang meluluhlantah rumah-rumah warga dan
merenggut banyak korban jiwa? Secara dekonstruktif, dan meskipun terkesan
kontra-Empati, narasi pinggiran yang dihasilkan dari bencana gempa, antara
lain; kian meningkatkan kesiapsiagaan kita terhadap bencana di kemudian hari, menyadarkan
pentingnya perencanaan tata ruang yang sesuai dengan topografi, menumbuhkan
rasionalisasi masyarakat dalam menghadapi bencana, serta kian mendorong penerapan
iptek multidisipliner dalam merespon kondisi geografis cincin api Pasifik. Akhir kata, rahasia dari manajemen krisis saat
bencana bukanlah melawankan antara yang baik dengan yang buruk, tetapi mencegah
yang buruk menjadi semakin buruk.
0 Comments:
Post a Comment