Disampaikan dalam diskusi Mendorong Perspektif Berkeadilan pada Kasus Kekerasan: Pelaku atau Korban? Bersama AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Denpasar di Kubu Kopi, 31 Juli 2018.
Perspektif Sosiologis KTD
(Kehamilan Tak Diinginkan)
Wahyu
Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Disampaikan dalam diskusi Mendorong Perspektif Berkeadilan pada Kasus Kekerasan: Pelaku atau Korban? Bersama AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Denpasar di Kubu Kopi, 31 Juli 2018.
Retorika:
Apabila ada remaja putri hamil, prianya
bertanggung jawab; apakah remaja putri ini akan menggugurkan kandungannya?
Apabila ada remaja putri hamil, tidak punya
suami, dan masyarakat tidak menyalahkannya; apakah remaja putri ini akan
menggugurkan kandungannya?
Fenomena Sosial KTD
KTD bukanlah fenomena
yang baru saja terjadi dewasa ini di tanah air, melainkan telah lama; hanya
saja ditutup-tutupi. Dahulu, raja selalu mempunyai gundik-gundik, yakni
anak-anak perempuan di bawah umur yang juga menjadi “pelayan seks”. Di era
penjajahan Jepang, pengalaman jugun ianfu
menyebabkan banyak wanita Indonesia menjadi korban KTD dan ditolak kembali ke
keluarganya, pada berbagai momen kerusuhan tanah air seperti DOM (Daerah
Operasi Militer), Reformasi 1998, dan lain-lain; tak sedikit pula wanita tanah
air yang menjadi korban KTD. Pada era sekarang, dimana segalanya mulai terbuka;
pelaporan kasus-kasus KTD pun semakin marak.
Penyebab KTD
Hubungan seks
yang menyebabkan KTD bukanlah soal tindakan ini “dosa” atau “tidak dosa”. Baik
kedua belah pihak (remaja), sama-sama tahu jika tindakan itu dilarang oleh
agama—keduanya tahu dan “sadar”. Persoalannya adalah, lingkungan sosial
(pergaulan) memberikan pengaruh lebih besar sehingga hubungan seks di luar
nikah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, dimaklumi, bahkan membudaya.
Di sisi lain,
masyarakat kita cenderung masih mentabukan seks, hal ini justru memicu remaja
untuk “coba-coba”. Pentabuan akan seks menyebabkan tindakan terkait menjadi tak
terukur dan tak terarah, pun justru “kebablasan”. Lebih jauh, penempatan wanita
sebagai korban KTD disebabkan oleh relasi kuasa yang tak seimbang antara pria
dengan wanita.
Media juga memiliki
sumbangsih besar terkait hal ini; bagaimana wanita selalu ditampilkan secara
subordinat dari pria (dalam sinetron, film, dan lain-lain)—sosok wanita ideal adalah wanita yang patuh dan tunduk pada pria. Semisal
dalam film Fifty Shades of Grey, Parfume, dan Love in the Time of Cholera.
Pornografi (film-film
dewasa) tentu juga memiliki pengaruh. Pornografi seolah sekadar menampilkan
seks sebagai aktivitas yang nikmat; tanpa kesadaran dan tanggung jawab di
baliknya. Budaya pop yang menampilkan sosok pria playboy seperti Don Juan atau Cassanova pun juga mempunyai andil,
seolah konstruksi yang dibangun: “Anda
baru menjadi pria kalau sudah berhubungan seks dengan banyak wanita”.
Solusi KTD
Apabila korban
KTD sekaligus merupakan korban perkosaan, umumnya masyarakat kita mencarikan
solusi dengan cara mengawinkan (menikahkan) kedua belah pihak, ini tentu bukan
solusi. Jika jalan ini diambil, itu artinya sang wanita menjadi korban
perkosaan seumur hidupnya.
Solusi
Personal
Seks adalah
kesepakatan kedua belah pihak, dan dilakukan (direncanakan) secara sadar,
dengan demikian tidak boleh ada korban atau yang dikorbankan. Apabila terjadi
kehamilan di luar nikah, keduanya harus bertanggung jawab; baik (1) Tanggung
jawab kesiapan tubuh, maupun (2) Tanggung jawab kesiapan psikologis—bahwa
konsekuensi hubungan seks tidaklah hanya satu-dua menit, melainkan sembilan
bulan, bahkan seumur hidup. Tentu akan lebih baik lagi jika melibatkan kedua
keluarga pasangan.
Pendidikan seks kurang-lebih
telah menjawab berbagai persoalan di atas, yakni menyangkut; konsekuensi
hubungan seks, kesadaran akan relasi kuasa, keharusan saling menghormati dalam
hubungan seks, dan yang tak kalah penting: seks harus dilakukan secara sadar
berikut dengan kesepakatan bersama.
Solusi
NGO/LSM
Menyediakan shelter atau tempat menampung para
korban KTD. Tempat penampungan ini harus memenuhi segala kebutuhan korban,
terutama kebutuhan untuk menutupi rasa malu. Kemudian diperlukan pula konseling
untuk menumbuhkan kembali rasa percaya diri korban, betapa dirinya berharga,
dan juga dipersiapkan untuk kembali ke keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini,
keluarga juga harus disiapkan untuk menerimanya.
Solusi
Negara
Mirip seperti
NGO, negara juga harus mendukung pemulihan korban KTD. Negara harus memiliki
kebijakan (SOP) untuk menangani kasus semacam ini; pemulihan pendidikan korban,
pemulihan kerja, dan lain-lain. Bahkan, negara bisa bertindak lebih jauh dengan
menerapkan affirmative justice,
semisal menekan sektor swasta untuk memberikan “jatah” kesempatan kerja bagi
korban KTD—seperti kasus disabilitas.
Penanganan KTD di Negara-negara Maju
Negara-negara
maju telah memiliki kebijakan untuk menangani KTD, umumnya dengan konseling berbasiskan
pro-Choice. Korban KTD diberikan
kebebasan memilih untuk melanjutkan kehamilannya, atau melakukan termination/ed
(aborsi/pengguguran)—disertai pengetahuan berbagai konsekuensinya. Apabila
korban memilih aborsi, namun tindakan yang sama (KTD) terulang lagi di kemudian
hari, maka akan lebih disarankan birth
control ke depannya.
Problem Hukum KTD di Tanah Air: Berkaca
dari Kasus W.A
Umumnya, apabila
kasus KTD telah selesai secara hukum, maka persoalan KTD pun dianggap telah
selesai. Padahal, KTD memiliki dampak jangka panjang bagi korban. Negara belum memikirkan
kelanjutan pendidikan korban, juga lapangan pekerjaan bagi korban.
Dalam kasus W.A,
hakim hanya melihat tindakan W.A yang menggugurkan kandungan dan membuang bayi,
namun tak melihat psikologis W.A: bahwa ia adalah korban perkosaan. Meskipun sempat
pada “momen-momen tertentu” anak di bawah umur menikmati hubungan seks yang
dilakukannya, seyogiyanya ia tetap dianggap sebagai “anak kecil yang tidak
sadar” dan cenderung “dimanfaatkan”. Apabila tindakan tersebut
terjadi—pemanfaatan—maka hal itu sudah tergolong sebagai kekerasan. Dalam
kultur masyarakat kita, seolah apabila korban menikmati, maka hukum menjadi
mandul: perkosaan dianggap tidak ada.
“Cinta itu seperti komunisme; selalu indah
dan ideal di tataran konsep,
tetapi selalu buruk di tataran praktek.”
(The Longest Week, 2014)
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment