“Percuma baca banyak buku kalau tak terstruktur!”
Wahyu Budi Nugroho
Penikmat Good Day Coolin’ mix
MILO
Baiklah, saya
akan membuka sedikit rahasia mempelajari ilmu-ilmu sosial-humaniora, meskipun
cara yang sama juga bisa diterapkan pada ilmu-ilmu eksakta. Tulisan ini
berkaitan dengan pertanyaan yang sering, dan berulang kali diajukan ke saya; “Saya sudah baca banyak buku, tapi nggak
paham-paham, lalu gimana caranya biar paham?”, “Bagaimana cara agar hafal dan paham teori?”, “Bagaimana supaya bisa punya wawasan sosial-humaniora luas?”, pun
berbagai pertanyaan serupa lainnya.
Pertama-tama, memaksakan membaca buku
adalah hal yang salah. Apa? S-a-l-a-h. Seringkali saya menemui anak-anak muda
yang terobsesi mengetahui dan memahami banyak hal, alhasil, ia pun membaca
banyak buku, tapi sayang, segala yang dibacanya tak pernah masuk di kepala. Hal
ini memang sudah bisa ditebak, membaca beragam buku dengan tema yang
berbeda-beda dalam waktu (hampir) bersamaan, apalagi dengan cara dipaksakan, pada
akhirnya takkan pernah bisa dicerna otak dan membuahkan kesia-siaan.
Terhadap persoalan
ini, saya sering menyarankan agar anak muda itu, pertama-tama, membaca tema
yang sekadar diminatinya saja. Kalau bisa, dan memang seharusnya: satu tema
saja. Setelahnya, saya meminta agar ia betul-betul fokus pada bidang atau tema
itu. Lambat-laun, saya berani menjamin: wawasan akan datang dengan sendirinya! Ini
sekaligus menjawab pertanyaan ketiga—bagaimana agar berwawasan sosial-humaniora
luas. Kenapa bisa begitu? Simpel saja, karena dalam ilmu sosial-humaniora,
semuanya saling berhubungan.
Sebagai misal, Anda
meminati kajian tentang desa, maka bacalah terus berbagai kajian mengenai desa.
Nanti Anda akan sampai pada tema, semisal, modernisasi pedesaan. Otomatis di
situ Anda akan membaca soal modernisasi. Modernisasi darimana datangnya? Globalisasi,
maka Anda pun juga akan membaca tentang globalisasi. Globalisasi siapa yang
mencetuskan? Kapitalisme. Maka, Anda pun akan membaca (baca: belajar) mengenai
kapitalisme. Kapitalisme siapa lawan ideologisnya? Sosialisme. Anda pun mulai
beranjak untuk membaca sosialisme, dan seterusnya, dan seterusnya. Dengan begitu,
wawasan pun akan datang dengan sendirinya pada Anda!
Sedikit berbagi
pengalaman pribadi. Saya sudah suka membaca buku biografi-biografi tokoh dunia
sejak kelas 3 SMP. Satu tokoh yang begitu mengesankan saya waktu itu adalah
Adolf Hitler. Dari situ, saya pun mempelajari fasisme. Dikarenakan salah satu pemikiran
fasisme disumbang oleh darwinisme, maka saya pun membaca pemikiran-pemikiran
evolusi Charles Robert Darwin. Selanjutnya, karena beberapa sendi pemikiran
Darwin juga dipakai Karl Marx, maka saya pun mulai belajar marxisme—dan saya
sudah mulai membaca Marx sejak kelas 2 SMA! (Buku Lenin untuk Pemula saya juga pernah disita guru BK, tapi akhirnya
dikembalikan). Lalu, saya sampai pada pembacaan bahwa Soekarno pun mengadopsi marxisme
dalam pemikiran marhenisme-nya, dari situ saya mempelajari pemikiran Soekarno
dan menjadi soekarnois. Ini bisa dikonfirmasi pada teman-teman SMA saya,
meskipun sekolah saya negeri, saya sering memakai peci untuk meniru gaya
Soekarno. Bahkan, karena sebelum-sebelumnya saya sudah “berkenalan” dengan
tokoh macam Hitler, Mussolini, termasuk Soekarno, yakni meresapi kehidupan
mereka dan berbagai pemikirannya; saya gunakan sumberdaya itu sehingga bisa
menjuarai lomba debat tingkat provinsi—sombong
dikit.
YANG juga saya
ingat adalah, sejak kelas 2 SMA saya sudah mulai membaca Nietzsche. Itu dikarenakan
saya menemukan literatur yang mengatakan jika fasisme Jerman dilegitimasi oleh
pemikiran Nietzsche mengenai ubermensch
(manusia super)—waktu kuliah saya baru paham kalau berbagai pemikirannya sekadar
diselewengkan Hitler dan kawan-kawan. Tapi, saat pertama kali membaca
Nietzsche, saya sama sekali tak paham! Betul-betul mual dan mau muntah. Buku (tentang)
Nietzsche yang pertama kali saya baca berjudul Nietzche dan Posmodernisme karya Dave Robinson, terbitan Jendela Pustaka.
Sampai saat ini buku itu masih saya simpan.
Berlanjut di
bangku kuliah, karena sebelumnya saya sudah membaca ihwal serba-serbi ideologi
dunia, hal itu sangat memudahkan saya dalam menerima berbagai materi di Jurusan
Sosiologi UGM, terlebih karena 70% dari disiplin sosiologi adalah pemikiran
Marx dan perkembangannya. Momen yang menakjubkan hadir di semester 3 kuliah,
saya berkenalan dengan filsafat eksistensialisme dan langsung terpesona olehnya—akhirnya
menjadi bahan skripsi saya dan diterbitkan menjadi buku berjudul Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi
Eksistensialisme Jean Paul Sartre (Pustaka Pelajar, 2013)—promosi dikit.
Perkenalan saya
dengan filsafat eksistensialisme membuat pembacaan yang semakin terstruktur. Dikarenakan
Sartre mengutip Epicurus, dan pemikiran Epicurus mengenai manusia berlawanan
dengan Plato dan kawan-kawan; maka saya pun mempelajari Epicurus, Plato, dan
kawan-kawan. Tak hanya itu saja, dikarenakan Sartre sangat bias empirisme, saya
pun mempelajari empirisme yang menjadi bagian dari filsafat Pencerahan a.k.a
filsafat modern. Dikarenakan empirisme berlawanan dengan rasionalisme, saya pun
ikut mempelajari rasionalisme, hingga kedua aliran pemikiran ini
bertransformasi menjadi matrealisme dan idealisme, terus setia saya ikuti!
Tanpa sadar,
pembacaan saya akan filsafat eksistensialisme membuat saya mempelajari
keseluruhan tahapan filsafat dari klasik, modern, hingga posmodern. Hal ini
sekaligus menjawab pertanyaan kedua: “Bagaimana
agar hafal dan paham teori?”. Nyatanya, jika kita mempelajari suatu
pemikiran dari akarnya, maka ingatan itu akan menjadi otomatis. Mengapa? Karena
semuanya menjadi masuk akal. Terdapat tahapan-tahapan yang tidak saling
mendahului, tersusun sebab-akibat yang memang begitu adanya dan membuat kita
ingat berikut paham dengan sendirinya. Dan yang paling penting, kesemua itu menyadarkan
kita bahwa segalanya saling berhubungan!
Terlebih,
berbagai pemikiran dalam ilmu-sosial humaniora sesungguhnya hanyalah
pengulangan dari para pemikir terdahulu dengan sedikit modifikasi di sana-sini,
dari filsuf pertama dunia, Thales, hingga filsuf terkini seperti Zizek, Nancy,
dan Meillasoux: semua hanyalah pengulangan dengan beberapa perubahan, ibarat gundukan
pasir yang bertambah sedikit demi sedikit hingga menjadi gunung pasir. Satu lagi
yang perlu kita ingat bersama, menurut pakar neurobiologi McGregor, selama
hidup manusia hanya menggunakan 5% hingga 10% kapasitas otaknya, betapa kecilnya! Bahkan konon, orang
sekaliber Einstein baru menggunakan 30% kapasitas otaknya.
“Kalau sekiranya lautan
menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan
itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu (pula).”
[Al-Kahfi: 109]
Sekian, semoga
bermanfaat.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Terimakasih pak wahyu, sangat bermanfaat sekali ilmunya
ReplyDeleteamazing.
ReplyDeleteSangat membantu pak
Makyus psk eko
ReplyDeleteMakyus psk eko
ReplyDeletekeren sekali pak
ReplyDeleteterimakasih sangat bermanfaat sekali
ReplyDeleteSangat menarik.
ReplyDeletesangat bermanfaat bagi yang hoby baca buku..
ReplyDeletesaya mau tanya good day coolin' mix milonya dingin/ hangat yaa???
ReplyDelete