Holocaust-Nazi
|
McDonalds
|
||
1.
|
Rasionalitas formal
Birokrasi sebagai alat. Birokrasi adalah organisasi yang
dibentuk negara untuk melancarkan fungsi negara, salah satu karakternya ialah
“rasionalitas dengan spesialisasi”, bertujuan untuk mencapai efisiensi
tingkat tinggi.
|
Rasionalitas formal
Memberikan pesanan melalui jendela pada konsumen adalah
cara paling cepat mencapai tujuan bagi kedua belah pihak. Pelayan mendapatkan
uang dengan cepat, begitu pula dengan konsumen: mendapat pesanan dengan
cepat.
|
|
2.
|
Efisiensi
Penggunaan gas lebih efisien untuk membunuh manusia
ketimbang peluru. Melalui kalkulasi, seberapa banyak yang dapat dibunuh
berbanding seberapa pendek waktu yang untuk melakukannya.
|
Efisiensi
Seberapa banyak pesanan yang dapat keluar, dan
seberapa pendek waktu yang dibutuhkan untuk menyajikan pesanan tersebut.
|
|
3.
|
Prediktabilitas
Kamp konsentrasi di berbagai negara didesain
serupa.
|
Prediktabilitas
McDonalds Amerika Serikat didesain
serupa dengan McDonald’s di berbagai belahan dunia.
|
|
4.
|
Teknologi nonmanusia
Kekuasaan dan peraturan-peraturan dalam kamp konsentrasi
berdampak pada dehumanisasi.
|
Teknologi nonmanusia
Menggunakan koki yang tidak trampil, sekedar mengikuti
petunjuk rinci dan metode garis peracikan yang ditetapkan dalam memasak dan menyajikan;
berdampak pada dehumanisasi cara makan/makanan.
|
|
5.
|
Hanya berurusan pada dampak finansial dari
tindakan yang dilakukan
Penggunaan gerbong oleh Nazi dengan menganggap
manusia-manusia sebagai “angka”, yakni membiarkan mereka
berdesak-desakan, dehidrasi dan
menderita—perihal terpenting adalah membawa muatan sebanyak-banyaknya
dengan biaya termurah, cepat dan aman.
|
Hanya berurusan pada dampak finansial dari
tindakan mereka
Penggunaan stereoform ‘gabus’ dalam
penyajian makanan agar murah faktual menyebabkan penyakit kanker. McDonald’s menuai protes konsumen vegetarian
karena lebih dari sepuluh tahun berbohong tak menggunakan
lemak nabati untuk menggoreng kentang iris, melainkan lemak sapi.
|
|
6.
|
Pekerja yang tak digaji
Yahudi bekerja dalam pabrik-pabrik tanpa menerima upah.
Dalam sistem, Yahudi dipaksa melepaskan pakaiannya sendiri,
masuk ke kamp gas sendiri, Yahudi-Yahudi yang
masih tersisa diperintahkan untuk membersihkan mayat
saudaranya sendiri (membawanya ke tungku pembakaran).
Tubuh mereka juga digunakan sebagai bahan membuat sabun,
kain, dll. (tidak ada yang tersisa).
|
Pelanggan menjadi pekerja yang tak digaji
Pelanggan McDonald’s membumbui makanannya sendiri, serta
membersihkan kotorannya sendiri (terlebih jika pesanan tak dimakan
di tempat).
|
SpongeBob dan Dehumanisasi Cara Makan
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Pegiat Sanglah
Institute
“The money is always right.”
[Mr.
Krabs]
Karakter dan Ideologi
Kita dapat
segera mengonfirmasi secara jelas bahwa Mr. Krabs adalah seorang kapitalis
sejati. Tak ada hal lain yang paling disukainya di dunia ini—di Bikini
Bottom—selain uang dan mengakumulasinya. Segala cara ia lakukan untuk
mengakumulasi modal; berhemat secara keterlaluan, menipu konsumen bahkan
anak-anak, hingga beberapa kali menjual makanan (krabby patty) tak layak konsumsi. Lalu, bagaimana dengan SpongeBob?
Menilik berbagai karakternya, SpongeBob adalah seorang altruis-sosialis. Ia
rela berkorban demi orang lain, tak pernah mengukur segala sesuatunya dengan
uang dan selalu bertindak demi kemanusiaan (baca: keikanan), serta memiliki jiwa
solidaritas yang tak diragukan lagi. SpongeBob merepresentasi kemurnian jiwa
anak-anak, bahkan mantan Presiden Obama pun mengidolakannya. Ia juga menyirat
pesan seorang sosialis sejati: “Di dalam
kapitalisme, benda-benda menguasai manusia. Di dalam sosialisme, manusia
menguasai benda-benda”. Dan memang, SpongeBob selalu menguasai benda-benda.
Adapun Squidward
adalah seorang liberal-konservatif. Liberal, karena ia hidup sebagai seorang individualis,
suka menyendiri dan tak membutuhkan banyak orang untuk menikmati diri. Ia juga berprinsip
layakanya liberalis: “Aku tak
mengganggumu, maka kau jangan menggangguku”. Konservatif, karena ia
menyukai kemapanan, meyakini seni berestetika tinggi, mempercayai pola dan
keteraturan, bahkan Squidward tak segan menyebut mereka yang tak mengikuti
aturan sebagai “tak beradab”. Sementara, si tupai Sandy adalah seorang
anarko-liberal. Ia suka menerabas aturan, tak segan menggunakan kekerasan,
anti-Kemapanan, tetapi juga memiliki solidaritas tinggi terhadap kawan-kawannya
(SpongeBob dan Patrick). Liberal, karena ia hidup menyendiri di dalam kubah kedap
air, cenderung membatasi interaksi, dan pada batas-batas tertentu turut
menyirat prinsip liberalis layaknya Squidward: “Aku tak mengganggumu, maka...”.
Lalu, bagaimana
dengan Patrick dan Plankton? Patrick mencirikan dirinya sebagai seorang
lumpen-proletariat (gelandangan, gembel). Mengapa? Karena ia tak berkontribusi
apa pun terhadap kehidupan sosial. Ia tak bekerja, tak berkarya, atau bahkan berupaya
membangun kehidupannya. Sedangkan melalui diri Plankton kita bisa melihat
kejahatan murni, entitas yang memang terlahir untuk melakukan tindakan-tindakan
jahat, kejam. Ia adalah seorang psikopat yang terobsesi. Plankton melancarkan
berbagai tindakan jahatnya bukan untuk uang atau kekayaan, tetapi karena
obsesinya: Ia adalah seorang maniak.
Filosofi
...barangkali
banyak pihak tak menyadari, di balik serial kartun SpongeBob yang sangat menghibur
dan “konyol”, termuat filosofi yang begitu dalam, yakni bagaimana serial kartun
itu bisa ditempatkan sebagai kritik terhadap restoran cepat saji yang telah
lama menggejala dalam masyarakat modern. Kritik ini dibangun lewat asumsi
betapa hal-hal sepele seperti “cara makan” dapat menunjukkan kultur dan kondisi
sosial yang tengah berlangsung—atau yang lebih luas. George Ritzer yang terinspirasi
oleh pemikiran Zygmunt Bauman mengulasnya secara apik dalam McDonaldization of Society ‘McDonaldisasi
Masyarakat’. Baginya, restoran cepat saji sepenuhnya merepresentasikan kultur
modern yang mendewakan efisiensi dan efektivitas tingkat tinggi, bahkan bisa
pula dikatakan: restoran cepat saji adalah anak kandung modernitas.
Hal di atas
mengingat, segala hal yang berlaku dalam sistem operasi restoran cepat saji semata-mata bersifat rasional dan
teknis. Dari ruang memasak (baca: dapur) yang sekat-sekatnya telah ditentukan
secara pasti untuk mengefisiensi gerak dan menyajikan makanan secara cepat,
desain tempat makan, hingga sistem operasi dalam proses memasak makanan.
Faktual, untuk menjadi koki di restoran cepat saji, kita tak perlu pandai atau
memiliki keahlian memasak karena semuanya telah terukur (baca: tertakar) secara
pasti; banyaknya bumbu, lama penggorengan, dan lain-lain; tegas dan jelasnya,
semua hanya menyangkut persoalan teknis. Inilah mengapa Ritzer mengatakan,
mengonsumsi makanan cepat saji adalah suatu bentuk dehumanisasi cara makan—cara
makan yang tak manusiawi. Berbagai makanan yang diproses di situ “garing”,
tanpa perasaan, serta minim sentuhan kemanusiaan. Bahkan, bagaimana restoran
cepat saji menyajikan makanan pada konsumen tak ubahnya seperti peternak yang
memberikan makan hewan-hewan ternaknya. Sekali lagi, hal ini dikarenakan prosedur
teknis dan rasional semata yang berlaku dalam proses penyajian makanan.
Dalam konteks
itulah SpongeBob hadir untuk mengkritik eksistensi restoran cepat saji.
Meskipun ia—SpongeBob—turut bekerja di restoran cepat saji Krusty Krab, namun
ia selalu memasak dengan “hati” dan “cinta”. Ia meyakini jika makanan yang
dimasaknya diperuntukkan bagi makhluk lain sepertinya yang juga memiliki jiwa
dan perasaan. Di sini, kita temui kritik tertajam SpongeBob atas restoran cepat
saji. Nyatanya, bagi spon kuning pembuat krabby patty itu, persoalan makanan tak
sekadar persoalan akumulasi modal atau pemenuhan kebutuhan biologis
pengonsumsinya semata, melainkan juga pemenuhan jiwa (kemanusiaan). Pemenuhan ini
tak hanya tercermin lewat kepuasan pelanggan, tetapi juga kepuasan pembuat
makanan yang menyertakan cinta dan perasaan pada makanan yang dibuatnya. Dengan
begitu, argumen pakar antropologi makanan Robin Fox ada benarnya; makanan tidak
hanya bisa dimaknai sebagai makanan semata, seringkali makanan menjadi media
bagi keramah-tamahan, altruisme sosial, serta sarana untuk menunjukkan rasa
sayang bagi sesama. Tentu hal ini jauh berbeda dari makanan yang dibuat dengan rasionalitas
teknis semata dan ditujukan bagi pengakumulasian modal.
Lebih jauh, masih
dipengaruhi oleh pemikiran Zygmunt Bauman, tepatnya mengenai holocaust; Ritzer berani
menyatakan klaim bahwa McDonald’s menggunakan cara-cara (baca: rasionalitas) Nazi
dalam holocaust untuk membangun sistem operasinya. Berikut adalah tabel
perbandingan antara sistem Nazi dengan sistem yang diterapkan McDonald’s.
(Tabel
diolah oleh penulis)
Refleksi
Lalu, bagaimana
dengan fenomena merebaknya rumah makan lokal yang meminjam konsep restoran
cepat saji? Hal ini tentu patut disayangkan. Di samping fenomena dehumanisasi
cara makan yang semakin merebak, faktual terjadi kontradiksi kebudayaan di
dalamnya. Pertama, kultur masyarakat
tanah air adalah membayar makanan setelah makanan itu selesai disantap. Membayar
makanan terlebih dahulu baru kemudian menyantapnya sebagaimana sistem yang
diterapkan restoran cepat saji seakan menunjukkan problem trust ‘kepercayaan’ yang juga bertentangan dengan modal sosial
masyarakat. Kedua, kultur masyarakat
tanah air sesungguhnya tak sekadar menjadikan kegiatan makan sebagai aktivitas
makan an-Sich, melainkan juga sarana
interaksi dan sosialisasi (beramah-tamah). Hal ini tentu bertentangan dengan desain
interior restoran cepat saji yang sengaja dibuat mencolok dan kontras agar
pelanggan tak betah berlama-lama di dalamnya.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment