Belajar
Analisis Wacana Kritis dan Mempraktekkannya (2)
Bagus
Ardiansyah
Pegiat Sanglah Institute
Baca
artikel sebelumnya:
Lanjutan...
Kalimat kedua, secara
keseluruhan menggambarkan hubungan dominasi Gunawan pada anak-anaknya. Biasanya
malam Minggu dijadikan anak-anak remaja sebagai malam yang bebas untuk
bersenang-senang, jalan-jalan, bermain, dan sebagainya baik dengan teman maupun
pasangan; tetapi berbeda dengan yang dilakukan Satya dan Cakra. Melalui
dominasi dan konstruksi yang dilakukan Gunawan (dalam hal ini patriarki)
membuat Satya dan Cakra menghabiskan malam Minggu dengan cara yang berbeda,
yaitu menonton rekaman video bapaknya. Dengan demikian, terlihat bahwa penulis
menempatkan kekuasaan Gunawan lebih dominan dalam hubungannya dengan Itje serta
Satya dan Cakra.
Namun, identitas
yang ditampilkan penulis novel juga mewakili perasaan anak-anak yang kehilangan salah satu
orangtuanya, dalam hal ini meninggal dunia. Tergambar dalam rangkaian kalimat
berikut:
“Di
kebanyakan waktu, Ibu Itje dapat mendengar gelak tawa keluar dari ruangan itu.
Bapak mereka memang lucu. Di lain waktu, hening. Di lain waktu, Satya keluar
dari ruang keluarga dan masuk ke dalam kamar mandi. Ibu Itje sekilas menangkap
air mata yang tertahan. Di lain waktu, Ibu Itje menemukan Cakra—si Bungsu,
menangis dalam sepi. Menutup mukanya dengan bantal. Menyadari bahwa dia
beruntung tidak kehilangan sosok Bapak setelah meninggal. Menyadari betapa dia
merindukan beliau juga. Terkadang, Cakra memutar video sampai pagi”.
Penulis novel juga
menggambarkan citra lain yang harus dimiliki oleh seorang ayah. Guna
menunjukkan dirinya sebagai seorang ayah, seorang laki-laki biasanya membuat
citra diri yang galak, tegas, keras, dan sejenisnya supaya disegani anggota
keluarganya. Selain itu, untuk menunjukkan diri sebagai
sosok ayah bisa juga dilakukan dengan citra yang humoris, seperti gambaran
Gunawan dalam kalimat di atas menunjukkan citranya sebagai ayah dengan cara
humoris, tetapi Gunawan menunjukkan citra dirinya sebagai ayah yang juga tegas,
galak, dan keras.
Lebih jauh,
penulis novel menggambarkan bagaimana kondisi anak-anak yang kehilangan
sosok ayah dari sisi mereka. Seberapa pun tegarnya anak yang
kehilangan sosok ayahnya, pasti ada saat mereka akan sedih dan menangis karena
rindu atau kangen akan kehadiran ayah di sisi mereka. Walaupun sebelum
meninggal sang ayah melakukan persiapan untuk membuat anak-anaknya tidak merasa
kehilangan sosok ayah dan tetap merasa beruntung sang ayah masih di sisi mereka,
tetap saja hal itu akan membuat anak-anak sedih dan menambah rasa kerinduannya
pada sang ayah.
Kalimat di atas
tidak luput dari cengkraman dominasi Gunawan (praktik patriarki) sebagai bapak
dari Satya dan Cakra. Terlihat dari kalimat “menyadari bahwa dia beruntung tidak kehilangan sosok bapak”. Teks
tersebut merepresentasikan praktik bahasa patriarki yang menghasilkan sebuah
pemikiran yang mendominasi pihak tertentu, dalam hal ini yang terdominasi
adalah Satya dan Cakra, dari dominasi teks tersebut menghasilkan pemikiran
bahwa keberuntungan mereka adalah tetap memiliki sosok bapak, dan Gunawan
sebagai bapak adalah segalanya bagi mereka tanpa melihat kehadiran sosok ibu,
dengan kata lain Gunawan ingin abadi dalam diri serta pikiran anak-anaknya. Hal
ini seperti yang dikatakan oleh Spender, bahwa laki-laki menunjukkan
keunggulannya melalui bahasa, melalui bahasa tersebut terciptalah pemikiran.
b. Praktik Wacana
Dalam
pandangan Fairclough, analisis praktik wacana (discourse practice) memusatkan perhatian pada dua sisi praktik
wacana, yakni dari produksi teks dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik diskursus, yang
akan menentukan seperti apa teks tersebut diproduksi. Ihwal yang mempengaruhi dalam produksi teks adalah individu
itu sendiri. Hal ini
melingkupi latar belakang, orientasi politik serta ekonomi, dan keterampilan
mereka dalam menarasikan kata demi kata menjadi kalimat.
Produksi teks juga berhubungan dengan bagaimana pola
serta rutinitas pembentukan teks di meja penulis. Proses ini tentunya
melibatkan banyak pihak dan tahapan, seperti di lapangan, sampai akhirnya menuju bagian pemasaran. Selain itu,
perlu juga dilakukan wawancara mendalam. Jika dikaitkan dengan pembahasan, maka
produksi teks berasal dari penulis novel Sabtu
bersama Bapak, yakni Adhitya Mulya. Sedangkan konsumsi teks dilihat dari
pengonsumsian teks oleh pembaca, maksudnya melalui sudut pandang pembaca.
Produksi
Teks
Latar
belakang kelahiran novel ini adalah kegelisahan Adhitya Mulya yang mulai menjadi sosok seorang
ayah dalam keluarga. Ketika mulai membesarkan anak-anaknya, beliau merasa ada beberapa
nilai-nilai atau pakem-pakem sosial di masyarakat yang tidak lagi sejalan dengan dirinya, seperti mengenai anak sulung,
persoalan mengenai menikah, dan lain sebagainya. Lewat kegelisahannya sebagai
seorang ayah inilah ia kemudian menuliskan atau menuangkan sudut pandang
barunya, bahwa nilai-nilai atau pakem-pakem sosial yang ada di masyarakat itu
tidak semuanya benar, sehingga Adhitya Mulya mencoba menawarkan perspektif lain
dalam bentuk novel, maka lahirlah novel kelimanya dengan judul Sabtu bersama
Bapak. Contoh perspektif lain
yang ditawarkan oleh Adhitya Mulya dalam novel ini adalah mengenai pernikahan dan anak sulung.
Dalam proses menulis novel Sabtu
bersama
Bapak, Adhitya Mulya sengaja
mengambil latar belakang daerah asal keluarga dalam novel ini, yakni Bandung,
karena beliau asli orang Sunda yang pernah tinggal di Bandung, sehingga mudah
baginya untuk memahami situasi dan kondisi lokasi terkait
(detail dan akurat). Secara tidak
langsung, latar belakang daerah serta kondisi keluarga dalam novel Sabtu bersama
Bapak mirip seperti kondisi
keluarga dari penulisnya, yakni Adhitya Mulya: berasal dari kota Bandung dan
sama-sama mempunyai dua anak laki-laki yang memiliki perbedaan usia tiga tahun.
Selain itu, novel ini merupakan yang paling dekat dengan beliau, salah satu
penyebabnya karena mengingatkan Adhitya Mulya dengan orangtuanya.
Novel Sabtu bersama
Bapak sebenarnya ditulis Adhitya Mulya melalui sudut pandang laki-laki,
sehingga tulang punggung ceritanya, yakni seorang laki-laki yang memberi pesan
pada laki-laki juga. Seorang laki-laki yang memberikan nasehat pada laki-laki
bagaimana caranya menjadi laki-laki dalam mencari jodoh, cara laki-laki dalam
menjadi suami, dan cara laki-laki dalam menjadi seorang bapak. Selain itu,
Adhitya Mulya juga mengatakan novel ini bisa saja mengambil sudut pandang
perempuan, yakni bagaimana suami bisa bersikap pada istri, dan bagaimana istri
bersikap pada suami, namun hal ini tidak beliau tampilkan. Bisa disimpulkan, cerita dalam novel Sabtu bersama
Bapak ditampilkan dalam
perspektif dan selera laki-laki, mulai dari penggunaan sudut pandang yang sudah
bias gender dan pembagian kerja juga lebih menempatkan perempuan pada posisi
kedua.
Proses penulisan novel Sabtu bersama
Bapak berlangsung selama
setahun, yakni dari tahun 2013 hingga tahun 2014. Novel ini menggunakan bahasa yang
sederhana sehingga mudah dimengerti, juga dicampur dengan menggunakan bahasa
Inggris, maka secara tidak langsung menambah pengetahuan kosakata pembaca dalam
mempelajari bahasa Inggris dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menguasai bahasa Inggris. Selain itu, novel ini merupakan novel pertama Adhitya
Mulya yang membutuhkan dua editor yang sering beliau hubungi, yakni Alit Tisna
Palupi dan Resita Febiratri. Adhitya Mulya memilih menerbitkan novel Sabtu bersama Bapak melalui penerbit
GagasMedia, karena Adhitya Mulya telah bekerjasama dengan pihak GagasMedia
sejak tahun 2003, jadi sudah berlangsung selama sebelas tahun terhitung dari
terbitnya novel Sabtu bersama Bapak
pada tahun 2014, dan kerjasama ini masih berlangsung sampai sekarang. Lewat
penerbit GagasMedia, kemudian dipasarkan di toko buku Gramedia yang memiliki
jaringan pemasaran di seluruh Indonesia. Hal ini sesuai dengan keinginan dari
Adhitya Mulya supaya tujuan, pesan, atau perspektif yang beliau tawarkan bisa
sampai pada khalayak luas.
Konsumsi
Teks
Proses
konsumsi teks dilakukan dengan sudut pandang pembaca novel Sabtu bersama Bapak. Setelah membaca novel Sabtu bersama Bapak, secara keseluruhan novel ini merupakan novel
yang benar-benar lengkap mewakili tiap dimensi dalam keluarga, juga secara
tidak langsung sebagai bahan bacaan mengenai parenting (mengasuh anak) yang ditawarkan lewat perspektif penulis
novel Sabtu bersama Bapak, yakni
Adhitya Mulya.
Lebih
dalam, dari sudut pandang sebagai pembaca, cerita dalam novel ini dirasa
kuat merepresentasikan
ideologi patriarki. Mulai dari penggunaan atau peletakan nama di belakang untuk
menunjukkan identitas keluarga dengan menggunakan nama dari suami atau bapak
(laki-laki) Gunawan Garndia, seperti Itje Garnida, Satya Garnida, dan Cakra
Garnida. Selanjutnya, seorang suami atau bapak sebagai sutradara yang mengatur
pola pikir, tindakan, dan hidup istri serta anak-anaknya dengan segala
perencanaan yang telah dia siapkan, yang rasanya itu semua benar, sehingga
istri dan anak-anaknya harus melaksanakannya. Selain itu, pembuatan rekaman
video yang di dalamnya berisi tentang pesan, pendidikan, dan semua jawaban dari
masalah yang dihadapi anak-anaknya, sesuai dengan keinginan dari sosok bapak
yang tetap ingin anak-anaknya tumbuh di samping dirinya walaupun wujud fisiknya
sudah
tidak ada, ini dapat diartikan
betapa sosok Gunawan sesungguhnya ingin “abadi”, yang sekaligus berdampak pada
dikesampingkannya peran dari istri atau ibu. Bisa dikatakan, bapak merupakan
sosok yang superior, karena bapak adalah tempat bertanya dan tempat untuk
menemukan segala jawaban, bapak juga dianggap sebagai sosok terpenting karena
memiliki logika tak terbantahkan yang dibutuhkan anak-anaknya ketika dewasa.
Dengan kata lain, tanpa sosok bapak, kita tidak akan mengenal kata dan dunia.
a. Praktik Sosial
Praktik sosial didasarkan bahwa konteks sosial yang
ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang ada dalam media. Memang
tidak berhubungan langsung, namun hal ini menentukan bagaimana teks diproduksi
dan dipahami. Sederhananya, dimensi peristiwa sosial yang menunjukkan bagaimana
teks terbentuk oleh, dan membentuk praktik sosial. Perlu dipahami, bahwa
praktik sosial dalam menentukan teks terjadi secara tidak langsung, tetapi
dimediasi oleh praktik wacana—produksi teks dan konsumsi teks. Fairclough
membagi tiga level analisis pada praktik sosial;
1. Level Situasional
Teks diproduksi dalam suatu kondisi atau suasana yang
khas dan unik, sehingga satu teks menjadi berbeda dengan teks yang lain.
Artinya, teks atau wacana tersebut sebagai suatu tindakan untuk merespon
situasi atau konteks sosial tertentu. Misalnya dalam konteks narasi novel Sabtu bersama Bapak, ide awal Adhitya
Mulya menulis novel Sabtu bersama Bapak
muncul karena kegelisahan yang dirasakan dari tahun 2006 hingga 2013 sebagai seorang
ayah dalam membesarkan
anak-anaknya, karena ada nilai-nilai atau pakem-pakem sosial dalam membesarkan
anak dalam masyarakat yang tidak sejalan dengan dirinya (Adhitya Mulya). Lewat
rasa kegelisahannya sebagai seorang ayah, ia terpicu untuk menuliskan atau menuangkan sudut
pandang barunya, bahwa nilai-nilai atau pakem-pakem sosial yang ada di
masyarakat itu tidak semuanya benar, sehingga Adhitya Mulya mencoba menawarkan
perspektif lain dalam bentuk novel, maka lahirlah novel kelimanya dengan judul Sabtu bersama Bapak, dan hanya
menggunakan sudut pandang laki-laki. Selain itu, novel Sabtu bersama Bapak memiliki perbedaan dengan novel-novel yang
beredar dewasa ini. Perbedaan tersebut adalah tema yang diambil dalam novel Sabtu bersama Bapak menggunakan tema
tentang keluarga, yang digabungkan dengan unsur dramatisasi dan komedi, tema
yang masih tidak begitu banyak atau jarang digunakan oleh penulis novel tanah
air.
2. Level Institusional
Level institusional melihat pengaruh institusi
organisasi dalam praktik produksi wacana, bisa berasal dalam diri penulis
sendiri, juga kekuatan-kekuatan eksternal di luar penulis yang menentukan
proses produksi berita, contohnya tema yang diangkat mengikuti kebutuhan
khalayak. Dalam hal ini, novel Sabtu bersama
Bapak ditulis secara mandiri oleh Adhitya Mulya tanpa adanya campur tangan
dari orang lain yang membantu. Dalam pengerjaannya, novel Sabtu bersama
Bapak membutuhkan dua editor
yang sering dihubungi oleh Adhitya Mulya, yakni Alit Tisna Palupi dan Resita
Febiratri. Novel Sabtu bersama Bapak diterbitkan oleh penerbit GagasMedia, ini dilakukan
karena Adhitya Mulya telah lama bekerjasama dengan pihak penerbit GagasMedia.
Kerjasama ini dimulai dari tahun 2003 hingga saat ini. Novel ini kemudian
dipasarkan melalui toko buku Gramedia yang mempunyai jaringan di seluruh
Indonesia, hal ini pun tentu berdampak positif terhadap proses pemasaran novel Sabtu bersama Bapak.
Sesuai dengan tujuan atau cita-cita Adhitya Mulya
dalam novel ini, yaitu menawarkan perspektif yang beliau miliki dalam
membesarkan anak, karena menurutnya pakem-pakem tentang membesarkan anak yang
ada dalam masyarakat tidak sejalan dengan pemikirannya dan tidak semuanya
benar. Misalnya, dalam masyarakat Indonesia seringkali mengucapkan atau
mengajarkan bahwa menjadi anak sulung itu berarti harus mengalah, menjadi
contoh, dan lain sebagainya. Pakem-pakem pendidikan anak seperti inilah yang
tidak disetujui oleh Adhitya Mulya dan menurutnya tidak benar. Melalui penerbit
GagasMedia dan dengan dipasarkannya novel ini melalui jaringan toko buku
Gramedia seluruh tanah air, tujuan atau cita-cita Adhitya Mulya untuk
menyampaikan perspektif itu pada masyarakat kiranya telah tercapai. Hal ini dapat ditilik
lewat novel ini yang sudah memasuki cetakan ke-27 dan terjual lebih dari 66.000
eksemplar.
Level
Sosial
Pengaruh dari faktor sosial sangat berpengaruh
terhadap wacana yang muncul dalam teks. Fairclough menegaskan bahwa wacana yang
muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat, misalnya budaya
masyarakat. Sudut pandang aspek sosial lebih mengarah pada aspek makro, seperti
sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat. Contohnya, dalam
masyarakat yang kental dengan ideologi patriarki, maka nilai-nilai ini akan
turut andil dalam menyetir isi narasi. Dengan kata lain, teks dalam analisis
level sosial dibedah juga dengan dunia nyata, bisa lewat media cetak lokal,
nasional, internasional, media online,
dan lain sebagainya. Misalnya saja dalam novel Sabtu bersama Bapak karya Adhitya Mulya, praksis sosial yang
terjadi adalah dalam ranah aspek budaya masyarakat, yakni praktik bahasa
patriarki dan budaya patriarki.
Secara sadar ataupun tidak, praktik patriarki ini
terjadi di beberapa lembaga utama dalam masyarakat, antara lain sebagai
berikut;
1). Keluarga
Keluarga
adalah satuan terkecil masyarakat dan mungkin merupakan yang sangat patriarkis. Dalam keluarga di tanah air umumnya,
hierarki laki-laki lebih tinggi dan
dampaknya ia lebih berkuasa, sedangkan perempuan lebih rendah dan
dikuasai. Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama bagi generasi
berikutnya dan pendidikan tersebut tidak terlepas dari patriarki. Ideologi patriarki diperkenalkan pada setiap
anggota keluarga, terutama pada anak-anak, dengan kata lain dalam keluargalah
kita mendapatkan pelajaran pertama mengenai subordinasi dan diskriminasi.
Berdasarkan hal inilah keluarga dikatakan menjadi salah satu lembaga patriarki.
2). Sistem Ekonomi dan Lembaga
Ekonomi
Dalam sistem ekonomi
patriarki, laki-laki mengontrol dan menguasai lembaga-lembaga ekonomi, dengan
cara memiliki sebagian besar harta, mengarahkan dan menentukan kegiatan ekonomi
serta nilai kegiatan-kegiatan produktif. Kerja produktif perempuan tidak diakui
dan tidak dibayar, bahkan kerja rumah tangga tidak dinilai sama sekali.
3). Media
Media merupakan alat
yang sangat penting untuk menyebarluaskan ideologi patriarki, dan hal ini masih
terjadi sampai sekarang. Media dalam hal ini seperti televisi, film, koran,
novel, dan lain sebagainya. Pesan-pesan tentang superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan ditampilkan bahkan secara
berulang-ulang. Dominasi atau superioritas
laki-laki ini dilakukan secara langsung, tidak langsung, secara keras, ataupun
halus. Dalam hal ini, praktik patriarki bisa dikatakan terjadi dalam bentuk
teks ataupun cerita. Seperti dalam beberapa contoh berikut:
a. Film Kramer vs Kramer
Dalam film ini, kecukupan kramer sebagai seorang
laki-laki, yang diperankan oleh Dustin Hoffman, tergantung atas kecukupannya
sebagai seorang ayah yang mengasuh, bukan sebagai penyedia ekonomi[1].
b. Film Madame Bovary
Film yang tayang pada tahun 2014 dan
disutradarai oleh Sophie Barthes ini diperankan oleh Mia Wasikowska sebagai
Madame Bovary, istri
dari seorang laki-laki bernama Charles Bovary yang diperankan oleh Henry Lloyd
Hughes. Film ini menceritakan tentang seorang wanita muda dari sebuah desa
kecil di daerah Normandy, Prancis, yang bermimpi untuk menemukan cinta dan
kehidupan yang menyenangkan di balik
kentalnya budaya patriarki saat itu—dia menemukan laki-laki lalu menikah.
Namun, keadaan hidupnya tidak seperti yang ia harapkan, karena budaya patriarki
suaminya yang sangat kuat, ia sekadar berperan sebagai nyonya rumah.
c. Film Osama
Film ini diproduksi oleh Siddiq Barmak Film,
film pertama di Afganistan semenjak keruntuhan Taliban, dan film ini diambil dari kisah nyata.
Film ini menceritakan seorang anak perempuan berumur 12 tahun dan ibunya yang
selamat dari aksi demonstrasi. Selanjutnya, ketika Taliban menerapkan hukum
perempuan tidak boleh bekerja dan melarang perempuan keluar rumah tanpa
didampingi laki-laki, mereka pun terkena imbasnya. Mengakali hal tersebut,
ibunya mendandani Osama menjadi laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh
karena itu, Osama terjaring oleh program wajib sekolah dan wajib militer
Taliban. Akhirnya, Osama diketahui sebagai seorang perempuan, kemudian dia
diampuni di persidangan, tetapi Osama harus menikah dengan ustadnya sendiri
yang berusia 70 tahun.
d. Novel Sekuntum Ruh dalam Merah karya Naning Pranoto
Novel ini menceritakan beberapa tokoh perempuan
yang berada dibawah dominasi laki-laki, seperti tokoh Sri Mumpuni. Sri Mumpuni
merupakan sosok istri yang baik, penurut, dan menghormati suami. Selain itu,
Sri Mumpuni sangat taat pada adat Jawa yang berlaku di masyarakat yang menganggap bahwa laki-laki
merupakan raja dalam keluarga, jadi kepentingannya harus didahulukan daripada
kepentingan perempuan. Contohnya, Sri Mumpuni tidak berani mencicipi atau
memakan terlebih dahulu makanan sebelum suaminya mencicipi atau memakannya.
e. Novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadaawi
Tokoh utama dalam novel ini bernama Firdaus dan
dia merupakan perempuan, novel ini menunjukkan sisi gelap yang dihadapi
perempuan-perempuan Mesir di tengah
kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki. Semisal, saat Firdaus
remaja, ia ingin belajar di Kairo seperti pamannya, tapi dia tidak
diperbolehkan belajar di sana
karena dia perempuan.
Lewat kerangka analisis wacana kritis dari Fairclough,
kita bisa melihat bahwa Fairclough berusaha menghubungkan
antara analisis teks pada level mikro dengan konteks makro, yakni konteks
sosial, dalam hal ini praktik sosial. Pertama,
analisis teks bertujuan untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks,
dan itu dilakukan dengan menganalisis bahasa secara kritis lewat berbagai pisau
bedah. Kedua, praktik wacana
menjembatani teks dengan konteks sosial. Oleh karenanya, hubungan antara
konteks sosial dengan teks bersifat tidak langsung dan disambungkan lewat lidah
praktik wacana yang dikemas dengan beragam bentuk. Ketiga,
praktik sosial untuk mengetahui penjelasan atas penafsiran kita. Penjelasan
atas tafsir itu diperoleh dengan menghubungkan produksi teks dengan praktik
sosial di mana suatu wacana berada.
Ketiga tahapan analisis di atas, telah kita digunakan dalam menganalisis novel Sabtu bersama
Bapak karya Adhitya Mulya,
bahwa citra ayah dalam novel ini sangat superior dan sangat mendominasi dalam
keluarga, bahkan hingga mendominasi kehidupan menantu serta cucu-cucunya.
Dengan kata lain, lewat narasi dalam novel ini, seolah menjadi media pendukung
untuk melanggengkan pandangan masyarakat mengenai citra laki-laki sebagai
pemegang kuasa, sedangkan citra perempuan sebagai pihak yang dikuasai. Inilah
dimensi sosiologis yang terdeteksi melalui model analisis wacana kritis dari
Norman Fairclough.
Lebih
jauh, kita juga bisa melihat bahwa lewat model ini dan hasil analisisnya, wacana adalah suatu bidang yang sangat kompleks. Semua kompleksitas ini berupaya diurai, diabstraksikan,
dan digambarkan dalam model analisis
wacana kritis dari Fairclough. Model ini juga berusaha menghubungkan wacana
media dengan bentuk wacana umum lainnya yang terjadi dalam masyarakat, serta melihat bagaimana pengaruh diskursusnya.
“Yang paling berbahaya bukanlah
kekuasaan lewat tindakan, melainkan kekuasaan yang dilakukan melalui bahasa—tak
terasa tapi ada.”
*****
Tags:
Bagus Ardiansyah
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment