Belajar
Analisis Wacana Kritis dan Mempraktekkannya (1)
|
[pic: jakeorr.co.uk] |
Bagus
Ardiansyah
Pegiat Sanglah Institute
“My view is that there is not an external relationship
between language and society,
but an internal and dialectical relationship”.
—Norman
Fairclough.
Kata
“wacana” dewasa ini semakin sering digunakan oleh berbagai kalangan dari studi psikologi, sosiologi, antropologi,
politik, komunikasi, dan lain
sebagainya. Tiap disiplin ilmu mempunyai definisi serta batasan yang beragam mengenainya. Misalnya dalam kacamata sosiologi, “wacana”
menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari penggunaan bahasa. Artinya,
untuk mengetahui
maksud dan makna tertentu yang bertautan dengan lingkungan sosial.
Metode
yang digunakan untuk menelanjangi makna tertentu dalam wacana adalah “analisis wacana”. Setidaknya, terdapat tiga paradigma dalam
analisis wacana, yakni; (1) Paradigma positivisme-empiris, (2) Paradigma konstruktivisme, dan (3) Paradigma kritis. Pada konteks ini, kita akan
menggunakan pisau bedah paradigma kritis mengenai bahasa dalam dunia analisis
wacana. Secara singkat, paradigma kritis muncul karena paradigma-paradigma
sebelumnya masih dirasa belum
peka atau sensitif terhadap produksi serta reproduksi makna, yakni
dalam menganalisis faktor
hubungan kekuasaaan yang berhubungan erat dalam setiap wacana, yang memiliki
peran dalam membentuk jenis-jenis subjek (pembicara/penulis), lengkap dengan perilakunya. Dengan demikian, analisis wacana dalam paradigma
kritis menekankan konstelasi kekuatan yang terjadi dalam proses produksi dan
reproduksi makna. Oleh sebab itu, bahasa dipandang sebagai representasi yang
berandil besar dalam membentuk subjek, tema wacana, juga strategi di dalamnya.
Lebih
dalam, bahasa bukan sebagai media netral yang terletak di luar si
pembicara/penulis, juga pembicara/penulis sudah tidak bisa dianggap sebagai
individu netral yang mampu menafsirkan secara bebas sesuai keinginan atau
pikirannya karena memiliki tautan hubungan dan dipengaruhi secara langsung atau
tidak langsung oleh lingkungan sosialnya. Paradigma analisis wacana
ketiga ini, dikarenakan menggunakan perspektif kritis, maka disebut sebagai
‘analisis wacana kritis’ (Critical
Discourse Analysis/CDA). Karakteristik analisis wacana kritis tidak hanya
menganalisis bahasa lewat aspek kebahasaan, tetapi juga mengaitkannya dengan konteks tertentu, misalnya praktik kekuasaan
yang dikemas dalam narasi. Seperti yang diketengahkan oleh Fairclough dan Wodak,
bahwa analisis wacana kritis melihat wacana—pemakaian bahasa dalam tutur dan
tulisan—sebagai bentuk dari praksis sosial. Dengan kata lain, analisis wacana
kritis menyelidiki bagaimana lewat bahasa subjek yang ada saling bertarung
serta mengiklankan versinya masing-masing.
Analisis
wacana, termasuk analisis wacana kritis, masih sering disalahartikan atau
dianggap hanya sebagai bidang kajian bagi yang berlatar belakang ilmu
komunikasi. Perlu diingat kembali, karakteristik analisis wacana kritis yang
menekankan sifat holistis beserta kontekstual menjadikannya sebagai metode atau
teori yang penting bagi kajian-kajian multidisiplin. Oleh karena itu, analisis
wacana, khususnya analisis wacana kritis, bisa menjadi kajian dalam
bidang-bidang ilmu sosial-humaniora yang
beragam. Bisa dikatakan,
analisis wacana kritis sebagai salah satu metode analisis atau teori yang bisa
dipakai bagi mereka yang ingin melakukan penyadaran serta transformasi di
tengah masifnya arus produksi teks, pusaran wacana, dan simbol-simbol dalam
lingkungan yang semakin apik menutupi segala bentuk berhala atau makna yang
tersembunyi di baliknya.
Sebagai
contoh, khususnya dengan menggunakan
metode analisis wacana kritis dari Norman Fairclough, yakni dalam ranah
analisis teks, praktik wacana, dan praktik sosial, kita
akan
mencoba menganalisis salah satu
novel yang di tahun
2017 menjadi novel fenomenal (best
seller) yang akhirnya
difilmkan, yakni novel Sabtu Bersama
Bapak karya Adhitya Mulya. Novel ini bercerita tentang
keluarga kecil Gunawan Garnida bersama istrinya Itje Garnida, dan kedua anaknya
Satya Garnida dan Cakra Garnida, juga ada Rissa Wira Atmadja, istri dari Satya Garnida serta ketiga anak
mereka; Ryan,
Miku, Dani, dan Ayu Retnaningtyas, calon
istri Cakra Garnida. Sederhananya, novel ini adalah sebuah cerita mengenai
seorang pemuda yang belajar mencari cinta, tentang pria yang belajar menjadi
bapak dan suami yang baik, seorang ibu yang merawat mereka dengan penuh kasih
sayang, dan terakhir tentang seorang bapak yang meninggalkan pesan dan berjanji
selalu ada
bersama mereka.
Gunawan Garnida, pria berusia
38 tahun dan seorang kepala rumah tangga yang mengetahui hidupnya sudah tidak
lama lagi karena menderita kanker, berbagai fase sudah ia lewati hingga mencapai fase acceptance (penerimaan). Ia akan meninggalkan istri (Itje), dan dua
anak laki-lakinya yang masih kecil (Satya dan Cakra). Walaupun Gunawan akan
meninggal, ia tetap menginginkan anak-anaknya tetap hidup dan berproses
menjalani hidup dengan bimbingannya, apalagi anaknya masih berumur delapan dan lima tahun. Gunawan tidak memberikan kesempatan
pada kematian untuk memberikan jarak dan menjauhkan anak-anaknya dari sosok
bapaknya. Karena itu, sebelum meninggal Gunawan membuat rekaman video yang
berisi pesan-pesan dan values
(nilai-nilai) yang ingin ia ajarkan, sampai hal paling remeh kepada kedua anak
laki-lakinya yang kelak harus diputar Itje setiap hari Sabtu untuk ditonton
oleh kedua anaknya, dengan harapan agar anak-anaknya tumbuh tanpa kekurangan
dan kehilangan sosok ayah di sisi mereka. Di lihat melalui narasi sinopsis novel ini, sudah
menggambarkan sebuah praksis sosial, yakni praktik bahasa patriarki dan budaya
patriarki, baik secara eksplisit dan implisit. Lebih jelasnya, dijabarkan
sebagai berikut:
A. Analisis Teks
Sebuah
teks tidak hanya menunjukkan bagaimana suatu objek digambarkan, tetapi juga
bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan yang umumnya membawa muatan
ideologi tertentu, karena teks
meliputi representasi, relasi, dan identitas. Berikut contohnya,
Struktur Wacana
|
Elemen
|
Pemahaman
|
Hal
yang Diamati dalam novel Sabtu bersama
Bapak
|
Representasi
|
Anak Kalimat
|
Aspek ini berhubungan dengan bagaimana seseorang,
kelompok, peristiwa, dan kegiatan ditampilkan dalam teks; (1) pada tingkat
kosakata, (2) pada tingkat tata bahasa.
|
1. Itje Garnida, istrinya, wanita berusia 35 tahun
(halaman 2).
2. Dia tahu, sekarang dialah menjadi satu-satunya
pilot dalam pesawat yang bernama keluarga Garnida (halaman 3).
3. Gunawan, sang suami, sudah menyiapkan semua bagi
mereka (halaman 3).
|
|
Kombinasi Anak Kalimat
|
Antara satu kalimat dengan anak kalimat yang lain
bisa digabung sehingga membentuk suatu pengertian yang bisa dimaknai.
Artinya, realitas terbentuk lewat bahasa dengan gabungan antara satu anak
kalimat dengan anak kalimat yang lain.
|
1.Ada beberapa video yang sang suami pernah berpesan
agar diberikan kepada Satya dan Cakra diwaktu yang berbeda karena usia mereka
terpaut tiga tahun (halaman 7).
|
|
Rangkaian Antar
Kalimat
|
Representasi ini
berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjol dibandingkan
dengan bagian yang lain.
|
1.Bapak tetap ingin kalian tumbuh dengan Bapak di
samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita kepada kalian. Ingin tetap dapat
mengajarkan kalian. Bapak sudah siapkan. Ketika kalian punya pertanyaan,
kalian tidak pernah perlu bingung ke mana harus mencari jawaban (halaman 5).
|
Relasi
|
|
Relasi berhubungan dengan bagaimana partisipan dalam
media berhubungan dan ditampilkan dalam teks.
|
1.Bagi kedua remaja ini, apapun godaan main yang ada
di luar, Sabtu sore adalah waktu yang wajib mereka habiskan di dalam rumah.
Ada alasan mengapa, sang ibu membolehkan mereka memutar video Bapak yang
baru, setiap Sabtu sore (halaman 6).
2. Saat kebanyakan anak seusia mereka bermain di
luar, pada malam Minggu, mereka berbeda. Mereka memilih menghabiskan Sabtu
sore di ruang keluarga, menonton rekaman Bapak (halaman 6).
|
Identitas
|
|
Identitas tidak hanya berkaitan dengan sang penulis,
tapi juga bagaimana publik serta khalayak diidentifikasi.
|
1.Di kebanyakan waktu, Ibu Itje dapat mendengar
gelak tawa keluar dari ruangan itu. Bapak mereka memang lucu. Di lain waktu,
hening. Di lain waktu, Satya keluar dari ruang keluarga dan masuk ke dalam
kamar mandi. Ibu Itje sekilas menangkap air mata yang tertahan. Di lain
waktu, Ibu Itje menemukan Cakra—si Bungsu, menangis dalam sepi. Menutup
mukanya dengan bantal. Menyadari bahwa dia beruntung tidak kehilangan sosok
Bapak setelah meninggal. Menyadari betapa dia merindukan beliau juga.
Terkadang, Cakra memutar video sampai pagi (halaman 6-7).
|
Analisis
Representasi, Relasi, dan Identitas dalam Teks Novel Sabtu Bersama Bapak.
Awal mula cerita adalah pasca
Gunawan Garnida meninggal dunia. Itje menggendong Cakra yang masih berumur lima
tahun dan menggandeng Satya yang berusia delapan tahun, sudah sekitar dua Minggu
mereka selalu sedih. Itje harus kuat untuk anak-anaknya karena sekarang dia
yang menjadi orangtua untuk kedua anaknya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat:
“Itje Garnida, istrinya, wanita
berusia 35 tahun”.
“Dia tahu, sekarang
dialah menjadi satu-satunya pilot dalam pesawat yang bernama keluarga Garnida
ini”.
Kalimat pertama merupakan
representasi Itje sebagai seorang istri dari suaminya yang bernama Gunawan
Garnida, menggunakan representasi bahasa dalam bentuk peristiwa. Dalam kalimat
tersebut, hanya memasukkan satu partisipan saja dalam kalimat, yaitu Itje
sebagai objek. Selain itu, praktik patriarki melalui bahasa sudah terlihat
dalam kalimat pertama. Dalam pernikahan antara Itje dan Gunawan terjadi
dominasi yang dilakukan Gunawan pada Itje. Setelah laki-laki dan perempuan
menikah, laki-laki tidak mengganti, meletakkan, atau dipanggil dengan nama
istrinya, sedangkan perempuan yang telah menikah akan mengganti, meletakkan,
atau dipanggil dengan nama suaminya untuk menunjukkan statusnya sebagai seorang
istri dari laki-laki atau suaminya. Hal ini
bisa dilihat dalam kalimat pertama, penggunaan dan peletakkan nama “Garnida”
dibelakang nama Itje merupakan representasi praktik patriarki melalui bahasa,
dimana Itje menunjukkan statusnya sebagai istri dari Gunawan dan secara
eksplisit menunjukkan bahwa Itje adalah milik dari laki-laki yang bernama
Gunawan Garnida.
Kalimat kedua merupakan
representasi Itje tentang keluarganya, menggunakan representasi bahasa dalam
bentuk tindakan. Subjek secara langsung melakukan tindakan, dalam hal ini
memiliki pemikiran sendiri tentang bagaimana keadaan keluarganya pasca suaminya
meninggal. Metafora yang digunakan “pilot
dalam pesawat”, menggambarkan apa yang terjadi di dalam keluarga Itje,
bahwa Itje menyadari sekarang dialah yang memimpin sekaligus membawa,
mengendalikan, dan menentukan arah serta tujuan dari keluarganya. Lebih jauh,
dalam teks ini secara implisit mengandung praktik patriarki, yaitu dominasi laki-laki terhadap
perempuan, dalam hal ini melalui bahasa.
Terlihat dari kalimat “bernama keluarga Garnida”, Itje
menunjukkan identitas keluarganya dengan menggunakan nama belakang dari
suaminya yaitu “Garnida”. Penggunaan
dan penempatan nama yang sederhana ini pun menunjukkan praktik patriarki
melalui bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Spender, bahwa dominasi laki-laki
melalui bahasa masuk sampai ranah keluarga, dalam hal ini penggunaan nama
keluarga di belakang nama anak atau anggota keluarga harus menggunakan nama
dari laki-laki atau ayah.
Dominasi patriarki yang dilakukan
Gunawan Garnida di sini sebagai suami dari Itje serta ayah dari Satya dan Cakra
berlanjut, bisa terlihat dari kalimat berikut:
“Ada
beberapa video yang sang suami pernah berpesan agar diberikan kepada Satya dan
Cakra di waktu yang berbeda karena usia mereka terpaut tiga tahun”.
Teks di atas merupakan kombinasi anak kalimat dengan
keterangan sebab-akibat. Usia Satya
dan Cakra terpaut tiga tahun sebagai alasan Gunawan Garnida memerintahkan Itje
untuk memberikan beberapa video kepada Satya dan Cakra di waktu yang berbeda,
misalnya, belum saatnya anak berumur 14 tahun mendengar pesan untuk anak usia
17 tahun. Kalimat di atas mencerminkan gambaran bahwa seorang ayah pun memiliki
peran yang signifikan dalam membentuk karakter dan perilaku anak-anaknya.
Keterlibatan ayah dalam proses mengasuh dan mendidik anak akan memberi dampak
positif bagi proses tumbuh kembang anak secara fisik, mental, dan sosial.
Lebih jauh, teks di atas juga menunjukkan peran ayah
dalam keluarga tidak hanya sebagai pencari nafkah, tetapi ayah punya peran
lebih dari itu. Melalui keterlibatan ayah dalam mengasuh dan mendidik, anak-anaknya
akan
cenderung tumbuh menjadi anak
yang berprestasi, memiliki kepercayaan diri, dan mampu berinteraksi dengan baik
di lingkungan. Gunawan Garnida melaksanakan hal tersebut dengan mempersiapkan
video-video sesuai dengan tumbuh kembang anak-anaknya, dalam hal ini sesuai umur mereka.
Secara eksplisit, terjadi praktik budaya patriarki
secara domestik dalam teks di atas yang dilakukan Gunawan Garnida pada istrinya
Itje. Praktik budaya patriarki secara domestik pada teks direpresentasikan
dengan kalimat imperatif, tetapi diperhalus dengan kosakata eufemisme
“berpesan”, dengan kosakata eufemisme ini, Itje tidak bisa menyangkal atau
menolak apa yang diucapkan oleh suaminya Gunawan sehingga Itje harus
melaksanakannya. Selain itu, terjadi perampasan pekerjaan merawat anak, seolah
Gunawan mengesampingkan peran Itje sabagai ibu dalam mengasuh dan mendidik
anak-anaknya dan tidak mempercayakan anak-anaknya di bawah sentuhan tangan
Itje. Hal ini menunjukkan laki-laki punya kuasa secara langsung terhadap
istrinya, dan istri harus menurut apa kata suami.
Terlihat bahwa Gunawan Garnida
tidak ingin lepas, jauh, dilupakan, tetap ingin hadir dalam keluarganya, dan tetap
ingin memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, serta tidak ingin
anak-anaknya kekurangan kasih sayang yang nantinya bisa memunculkan kepribadian
buruk. Hal itu tergambarkan dari kalimat berikut:
“Bapak tetap ingin
kalian tumbuh dengan Bapak di samping kalian. Ingin tetap dapat bercerita
kepada kalian. Bapak sudah siapkan. Ketika kalian punya pertanyaan, kalian
tidak pernah perlu bingung ke mana harus mencari jawaban”.
Kalimat di atas merupakan
representasi rangkaian antarkalimat dengan penggunaan kalimat dominan. Melalui
teks monolog pada rekaman video tersebut, ditonjolkan bahwa keberadaan Gunawan
sebagai sosok bapak dari Satya dan Cakra sangat penting. Kalimat tersebut juga
menggambarkan bahwa Satya dan Cakra tidak akan pernah kehilangan sosok bapak di sisi mereka. Gunawan juga ingin menonjolkan
bahwa keluarganya merupakan “keluarga baik” yang tidak tercerai-berai atau kehilangan salah satu kasih sayang
dari orangtua, apa yang dimaksudkan
di sini adalah tidak hanya bercerai tetapi
juga meninggal dunia, serta menunjukkan peran ayah tidak akan pernah hilang,
dan tidak akan pernah putus. Selain itu, hal lain yang ditonjolkan dan ingin
disampaikan bahwa peran ayah dalam mendidik dan mengasuh anak laki-laki akan
membuat mereka lebih percaya diri serta lebih berani dan hal tersebut tidak
akan tercipta jika ibu mengambil peran dalam mendidik serta mengasuh anak
laki-laki.
Lebih jauh, kalimat di atas
secara keseluruhan mengandung praktik budaya dan bahasa patriarki. Praktik
bahasa patriarki ditunjukkan lewat kalimat deklaratif yang terdapat pada
kalimat di atas, yakni praktik monopoli bahasa untuk mengontrol anak-anaknya.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa tidaklah netral dan terdapat kekuatan dari
pihak yang
dominan dalam bahasa, sehingga anak-anaknya, yaitu Satya dan Cakra tidak dapat
menolak. Sedangkan praktik budaya patriarki secara domestik ditunjukkan lewat penonjolan
sosok ayah yang mengetahui dan telah mempersiapkan segalanya untuk
anak-anaknya, sekaligus mengesampingkan atau menindas istri dan anak-anaknya
secara tak langsung. Hal ini tersurat dari keinginan Gunawan yang tetap ingin
menguasai anak-anaknya, baik dalam hal pertumbuhan, pengajaran, dan aktif dalam
pendidikan anak atau sederhananya terlibat dalam kehidupan anak, yang sekaligus
menyubordinasi posisi Itje sebagai seorang istri dan ibu.
Relasi yang coba digambarkan
adalah kedekatan, kelekatan atau bonding ‘ikatan’
yang terjadi antara Gunawan dan anak-anaknya yaitu Satya dan Cakra. Hal ini
dapat dilihat dari kalimat:
“Bagi kedua remaja
ini, apa pun godaan main yang ada di luar, Sabtu sore adalah waktu yang wajib
mereka habiskan di dalam rumah. Ada alasan mengapa, sang ibu membolehkan mereka
memutar video Bapak yang baru, setiap Sabtu sore”.
“Saat kebanyakan anak
seusia mereka bermain di luar, pada malam Minggu, mereka berbeda. Mereka
memilih menghabiskan Sabtu sore di ruang keluarga, menonton rekaman Bapak”.
Kedua kalimat di atas
menggambarkan kerekatan atau bonding
antara ayah dan anak adalah hal yang penting. Keterikatan hubungan antara ayah
dan anaknya (bonding) harus
dipertahankan dan jangan sampai hilang karena kerekatan antara ayah dan anak
akan berpengaruh positif pada tumbuh kembang anak, sehingga secara tak sadar
kalimat tersebut mengesampingkan hubungan dengan ibu. Lebih dalam, kedua
kalimat di atas menunjukkan dominasi Gunawan sebagai bapak atas anak-anaknya,
yaitu Satya dan Cakra, serta istrinya, Itje; dalam hal ini adalah praktik
budaya patriarki di
ranah domestik. Dominasi patriarki domestik dalam kalimat pertama terlihat dari
posisi Gunawan yang diuntungkan, karena anak-anaknya tetap memutar video
rekaman peninggalannya, dan Itje sebagai istrinya melaksanakan perintah Gunawan
untuk memutar video rekamannya setiap hari Sabtu.
Bersambung...
0 Comments:
Post a Comment