[colourbox.com] |
Mudik, Kegagalan Orang Indonesia menjadi Manusia Urban?
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog
Universitas Udayana
Pegiat Sanglah
Institute
“A man who doesn’t spend time with his
family can never be a real man.”
[Don
Corleone, The Godfather]
Tidak ada masyarakat
negeri Islam[1]
di dunia ini yang paling antusias menyambut Hari Raya Idul Fitri dengan pulang
ke kampung halaman selain masyarakat muslim tanah air. Setidaknya, terdapat
beberapa alasan mengapa fenomena mudik yang berasal dari kata “udik” atau
“kampung” ini terjadi di Indonesia. Pertama,
warisan konsep pembangunan ekonomi neoklasik Orde Baru yang menciptakan pusat-pusat
pertumbuhan sehingga memaksa orang-orang dari daerah atau pedalaman merantau ke
kota atau ke pusat-pusat pertumbuhan, umumnya ke kota-kota besar di Jawa dan Pulau
Bali. Konsep terkait beresensikan pada mekanisme trickle down effect ‘efek rambatan’, dengan asumsi: “Semakin besar kue yang dibuat, maka semakin
banyak pula yang bisa dibagi-bagikan”. Hal tersebut juga tak terlepas dari
program transmigrasi yang dilakukan secara masif oleh pemerintah Orde Baru pada
masa Oil Boom antara tahun 1975
hingga 1982.
Kedua, kuatnya “budaya simbol” masyarakat
tanah air. Budaya simbol ini seolah menyiratkan: tanpa bertatap muka dan berjabat
tangan langsung untuk saling memaafkan, seakan belum dirasa afdol. Dengan kata
lain, seakan hal itu menjadi pelegitimasi sah-tidaknya perilaku saling
memaafkan, apabila tidak dilakukan, maka dirasa kurang sah atau kurang sreg. Kuatnya budaya simbol di tanah air
tak terlepas dari basis kebudayaan masyarakat Indonesia yang bersifat gemeinschaft ‘guyub’, srawung ‘suka berkumpul’, dan cenderung
memandang masyarakat sebagai satu kesatuan organis. Di sini, kecanggihan
teknologi informasi dan komunikasi yang seyogiyanya bisa “mendekatkan yang
jauh” seolah mandul kala berhadapan dengan basis kebudayaan masyarakat.
Sementara,
“saling memaafkan” di Hari Raya Idul Fitri sesungguhnya adalah tradisi sosial-budaya
yang hanya dimiliki masyarakat muslim tanah air dan dilanggengkan dari waktu ke
waktu. Pada pakemnya, tradisi saling memaafkan sama sekali tidak berhubungan
dengan Hari Ied, bahkan beberapa ulama beranggapan, jika hal itu dikaitkan secara
langsung dengan Hari Ied, atau ditempatkan sebagai kewajiban yang harus ada di
Hari Ied, maka tindakan ini tergolong bid’ah
(melebih-lebihkan ajaran agama karena tidak dicontohkan nabi), karena sejatinya
saling memaafkan tidak hanya dilokuskan pada Hari Ied saja, melainkan setiap
hari.
Ketiga, kegagalan orang Indonesia
menjadi manusia urban. Pulang ke kampung halaman secara reguler dalam
momen-momen tertentu menyiratkan keberadaan suatu tempat yang dirasa lebih
luhur dan lebih agung dibandingkan tempatnya berpijak sekarang—kota. Suatu
tempat yang bisa ditempatkan sebagai
“pengisi energi” (recharge) setelah
setahun lamanya bekerja keras; suatu tempat yang betul-betul dirasa sebagai tempat asal-muasalnya, dimana seseorang
selalu merasa terikat dengannya. Sementara, berbagai kajian sosiologi perkotaan[2]
menjelaskan secara eksplisit apa itu arti menjadi manusia urban (manusia kota)
yang sesungguhnya. Menjadi manusia urban berarti terlibat langsung dan aktif dalam
proses penciptaan kota, dan pada gilirannya lingkungan kota itu sendiri juga secara
aktif menciptakan mentalitas manusia-manusia urban.
Dengan demikian,
antara manusia urban dengan kota masing-masing tak terpisahkan, terdapat hubungan
respirokal dan saling menubuh satu sama lain. Atau dapat pula dikatakan, telah
terbangun self-sufficiency di antara keduanya:
masing-masing telah mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain—tanpa memerlukan
sumberdaya dari tempat lain. Keberadaan daerah, wilayah, atau tempat lain yang
dianggap lebih baik atau lebih superior ketimbang kota tempat seseorang tinggal
menunjukkan kegagalan manusia urban dalam proses urbanisasi, pun sebaliknya: kegagalan
kota dalam menciptakan manusia-manusia urban. Hal ini dikarenakan, mentalitas manusia-manusia
urban yang justru tak terikat oleh urban itu sendiri, atau tak menjadikannya
sebagai “tempat yang utama”. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Tak
lain dikarenakan ikatan kultural dan kekerabatan yang lebih dominan daripada
ikatan yang diciptakan kehidupan urban. Kabar baik sekaligus buruknya: ini berarti
manusia Indonesia masih menempatkan hubungan kekeluargaan dan budaya di atas rasionalisasi
kehidupan modern.
*****
[1]
Istilah “negeri Islam” berbeda dengan “negara Islam”. Negeri Islam adalah suatu
negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, sedangkan negara Islam
adalah suatu negara yang tidak hanya mayoritas penduduknya beragama Islam,
tetapi juga menggunakan syariat Islam dalam konstitusinya.
[2]
Semisal dari George Simmel dan Henri Lavebfre.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment