Pegiat Sanglah Institute
“Mengajak gelandangan makan steak adalah tindakan kejam!”
Wahyu Budi Nugroho*
Sosiolog Universitas Udayana
Pegiat Sanglah Institute
Pegiat Sanglah Institute
Sejak dulu saya
tak sepakat dengan aksi-aksi sosial seperti ini. Kamu merasa kasihan dengan
gelandangan karena ia tak pernah makan enak, lalu kamu mengajaknya makan steak.
Memang, seolah tindakanmu sangat terpuji lagi mulia, tapi mengajaknya masuk ke
tempat makan steak juga tak kalah kejam. Bagi saya, hal tertepat adalah membungkuskan
makanan itu dan memberikannya di luar, atau berikan langsung gelandangan itu
uang seharga steak agar ia bisa membeli (baca: memilih) sendiri makanan yang diinginkannya.
Dalam konteks
“masyarakat tontonan”, tempat-tempat makan steak didesain sebagai tempat
interaksi atau berkumpulnya masyarakat kelas menengah dan atas, sekalipun
tempat itu dinamai “warung steak”—penamaan ini hanya untuk mengesankannya akrab
saja. Di situ, mereka saling menukarkan (baca: mempertontonkan) simbol-simbolnya;
pakaian yang dikenakan, gadget yang dibawa, cara berbicara, gestur tubuh,
termasuk cara menatap, hingga cara makan. Interior tempat-tempat ini pun
menemui wujudnya sebagai “fastamorgaria”, yakni tempat-tempat dengan desain
tertentu guna menunjukkan atau menampilkan sesuatu, dalam hal ini kultur
borjuasi.
Dengan demikian,
bagi mereka yang bangkrut secara simbol, atau tak memiliki simbol-simbol untuk
dipertukarkan, ia takkan pernah bisa berpartisipasi dalam interaksi yang tengah
berlangsung. “Interaksi” yang dimaksudkan di sini bukanlah interaksi konkret
seperti berkomunikasi atau bercakap-cakap secara verbal, melainkan interaksi
yang termediasi oleh simbol-simbol, atau yang oleh Guy Debord disebut sebagai
“gambar-gambar”.
Masyarakat kelas
menengah dan atas saling mempertontonkan simbolnya. Lewat pertunjukan itu,
masing-masing mereka secara tak langsung kian meneguhkan kedirian satu sama
lain: “Ya, aku dan kamu adalah kelas
menengah. Kita berkumpul di sini sebagai kelas menengah. Tempat ini memang
untuk kita”. Dengan begitu, bisa dibayangkan seorang gelandangan yang
berpakaian compang-camping, berwajah lusuh dan kusam, berbadan kotor, memasuki
ruang semacam itu. Ia tak memiliki simbol apa pun untuk dipertukarkan. Ruang
itu hanya akan mengalienasinya, mengintimidasinya, bahkan menindasnya. Ia tak
bisa berpartisipasi dalam interaksi yang berlangsung, lebih jauh: ia sedang
dipermalukan.
Hal di atas menyerupai
bentuknya dengan program acara “bedah rumah” salah satu stasiun televisi swasta
tanah air. Faktual, apa yang dipertontonkan dalam acara bedah rumah itu tak
sekadar bagaimana rumah yang awalnya jelek (baca: tidak bagus), menjadi bagus;
tetapi juga para partisipan yang berasal dari masyarakat kelas bawah ini
menunjukkan laku yang bisa membuat kita tertawa dan terhibur karena ditempatkan
di hotel mewah berbintang; tempat yang tak pernah mereka sambangi sebelumnya,
tempat yang mereka pun merasa tak semestinya berada di situ.
Dengan jelas
kita bisa melihat bagaimana mereka kebingungan saat menggunakan peralatan makan
hotel berbintang karena mereka pun turut menyadari ada cara-cara makan tertentu
yang berlaku di situ, namun mereka tak mengetahuinya. Satu adegan terkurang-ajar yang saya ingat dalam
acara ini adalah saat salah seorang partisipan dari masyarakat kelas bawah
membungkus daging dengan tisu, kemudian memasukkan ke kantongnya. Tindakan itu
betul-betul disorot kamera dan dipertontonkan pada kita semua! Kita juga bisa melihat
bagaimana mereka tampak “kaku” berebah di kasur springbed, merasa tak nyaman
dan tak layak tidur di situ. Pun, bagaimana mereka tampak enggan dan malu-malu menggunakan
lift, merasa was-was dan khawatir terjadi sesuatu karena memang mereka tak pernah
memasuki kotak besi itu sebelumnya.
Apakah teori
sosial bisa menjelaskan fenomena di atas? Bisa. William Ogburn menyebutnya
sebagai cultural shock ‘keterkejutan
budaya’ atau cultural lag
‘kesenjangan budaya’. Meskipun sulit diterima akal, tapi kenyataannya keterkejutan
atau kesenjangan budaya melahirkan “tindakan-tindakan lucu” yang membuat orang
lain tersenyum atau tertawa saat melihatnya. Secara ringkas dan vulgar, kita
bisa menyebutnya ndeso ‘kampungan’.
Sebagai misal, seseorang yang baru pertama kali melihat televisi dan
terkagum-kagum menyaksikan gambar bergerak. Atau, seperti yang terjadi
baru-baru ini dan sempat viral, masyarakat di salah satu daerah Sulawesi
Tenggara yang baru saja memiliki mall ragu-ragu menaiki tangga eskalator
sehingga membentuk kerumunan. Kita pun tersenyum-senyum kecil saat menonton
videonya.
Last but not least, niat baik tetaplah
niat baik. Tetapi bila kita luput berpikir secara fenomenologis, yakni lalai menempatkan
diri kita sebagaimana pikiran, perasaan, dan kultur orang lain; alih-alih
membantu, tindakan kita justru bisa mengintimidasi, mempermalukan, bahkan
menindasnya. Tabik!
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Sebelumnya terimakasih atas tulisan yang dituliskan.
ReplyDeletePada tulisan Anda mengatakan bahwa fenomena tersebut disebut dengan istilah cultural shock/ lag dikarenakan seorang "aktor" yang berada pada situasi yang tidak sesuai dengan identitasnya untuk ditempatkan. Yang ingin saya diskusikan, apakah seorang individu yang menghadapi sebuah kondisi yang menuntutnya untuk melakukan adaptasi terhadap sebuah lingkungan yang baru (yang tidak sesuai dengannya sebelumnya). Bagaimana pemikiran J.P.Satre memandang kondisi tersebut?
Manusia menjadi objyek dari kondisi yang ada atau manusia merelakan untuk ditindas oleh sebuah keadaan, atau bagaimana terhadap eksistensi nya dia?.
Terimakasih, salam.
menyadarkan.. terimakasih..
ReplyDeleteSaya sebagai orang yang pernah mengalami culture shock bisa relate dengan ini
ReplyDelete