Selamat berikhtiar menjadi Muslim yang kaffah, sekaligus warga Indonesia pancasilais yang kaffah!
Meneguhkan Teologi Keislaman-Keindonesiaan di Era Kebangkitan Agama
Hakimul Ikhwan
Sosiolog UGM
Era ini
disebut sebagai era kebangkitan agama. Agama, yang semula diprediksi oleh
banyak ilmuwan sosial akan mengalami kebangkrutan seiring dengan perkembangan
modernisasi dan industrialisasi, ternyata justru tampil menjadi elemen yang
maha penting. Agama—simbol, ajaran, lembaga—hadir dan merasuk ke dalam semua
sendi kehidupan masyarakat abad 21.
Bahkan,
generasi milenial yang paling terpapar teknologi informasi dan komunikasi
digital menjadi agen utama yang memunculkan narasi-narasi agama di ruang
publik. Seorang aktivis muslim yang sudah sangat senior mengatakan bahwa para
mahasiswa di kampus hari ini lebih khusyuk sholatnya dibandingkan para aktivis
pada zamannya. Group Sabyan, yang terdiri dari para seniman usia sangat muda,
dengan sangat fasih menyanyikan Deen Assalam
yang menggema dimana-mana, warung makan, supermal, dan cafe-cafe. Dan, Dodi
Hidayatullah yang sangat apik mengubah Despacito—yang
dianggap moral-less dan dilarang di
Malaysia karena alasan tersebut—menjadi lagu yang sarat simbolisme berikut
ajaran Islam. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, kelompok muda melahirkan
gelombang pengikut ISIS di Eropa. Mereka secara diam-diam dan terorganisir
berhasil menyeberang batas-batas territorial negara-negara untuk bergabung
menjadi pasukan militer ISIS.
Telah menjadi
tanda-tanda zaman bahwa ghirah
keislaman—juga kekristenan, kebudhaan, keyahudian—semakin meningkat. Di
kalangan umat Islam, meluas kesadaran untuk menjadi muslim yang kaffah (muslim yang seutuhnya). Di
kalangan profesional, untuk menjadi muslim seutuhnya mereka memutuskan untuk
tidak menggunakan bank konvensional dan beralih ke bank syariah. Di kalangan
muda terdidik, tidak sedikit mereka yang dengan penuh kesadaran memilih jalan
hidup berdagang. Jenis pekerjaan ini, dalam pandangan mereka, adalah jenis
pekerjaan yang paling disukai Nabi Muhammad. Tidak sedikit juga mereka yang
‘berhijrah’ keluar dari lembaga-lembaga pemerintah, sebagai abdi negara, atau
karyawan swasta untuk meraih kehidupan yang ‘lebih berkah.’ Maka, label ‘halal’
menjadi rujukan utama masyarakat muslim hari ini dalam membeli produk. Label
halal tidak hanya berlaku untuk produk makanan, minuman, dan kosmetik, tetapi
juga produk-produk lain seperti kulkas dan jilbab.
Ghirah umat
Islam untuk menjadi muslim yang kaffah juga ditunjukkan dengan gelombang besar
travel umrah dan haji. Saat ini, salah satu bisnis yang digemari adalah travel
haji dan umrah karena pasarnya yang selalu tinggi, apalagi di musim-musim
tertentu seperti Ramadhan dan Tahun Baru. Skandal First Travel dan Abu Tour
sepertinya tidak mempengaruhi bisnis ini. Agen travel berlomba memikat jamaah,
baik melalui penawaran harga tiket murah atau kerjasama dengan artis selebritis,
atau ustadz-selebritis.
Menutup aurat
sudah menjadi hal yang biasa dan terlalu mainstream
di kalangan muslimah. Oleh karenanya, proses hijrah untuk menjadi muslimah yang
kaffah terus bergerak ke kanan melalui komunitas hijabers, bahkan sekarang berkembang fenomena niqobers. Kalau sebelumnya para niqobers
tidak pernah memposting foto atau selfie, niqobers
‘zaman now’ menggunakan media sosial, dengn posting foto, modifikasi niqob, sembari tetap sharing tausiyah.
Sayangnya,
keinginan yang kuat untuk menjadi muslim yang kaffah seringkali berbenturan
dengan keharusan menjadi manusia Indonesia yang kaffah; keharusan menjadi warga
negara yang kaffah. Dalam derajat yang ekstrim, menjadi muslim yang kaffah
ditandai dengan keinginan untuk berhukum dengan hukum Allah. Hukum selain Allah
dianggap sesat. Kekuasaan selain Allah adalah adalah thoghut.
Umat Islam
Indonesia hari ini dihadapkan pada persoalan serius mempertemukan kembali
spirit keislaman dan keindonesiaan. Pertanyaannya, bisakah menjadi muslim yang
kaffah sekaligus juga menjadi warga Indonesia yang kaffah; yang baik, yang pancasilais? Setiap generasi memiliki
tantangannya masing-masing. Tidak terkecuali generasi kita. Tantangan generasi
ini tidak lebih mudah dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Tetapi juga
tidak lebih sulit dari generasi sebelumnya.
Sesungguhnya,
kalau kita memahami Islam dan berbagai ekspresi keislaman dalam beragam bentuk
pemahaman doktrin, ayat dan teks, serta praktek-praktek keislaman, maka kita
akan menemukan kenyataan bahwa Islam tidaklah tunggal. Islam hadir dan
diekspresikan dalam beragam interpreasi paham keagamaan, teks dan doktrin,
bahkan praktek-praktek keseharian yang berbeda-berbeda, antara komunitas,
masyarakat, negara dan bangsa, bahkan antar-periode zaman.
Sejak era
paling awal sekali dalam sejarah Islam, telah terjadi perpecahan pemahaman
keagamaan terhadap teks dan ilmu kalam. Ini melahirkan perbedaan kelompok
pandangan teologis, misalnya, antara As’ariay dan Mu’tazilah, Qodariyah dan
Jabariyah, serta maturudiyah. Dalam perdebatan ilmu kalam, atau ilmu tauhid,
terjadi perdebatan apakah Al-Quran adalah kholiq atau makhluq? Fakta-fakta
sejarah ini menghadirkan kepada kita bahwa dalam hal-hal fundamental, teologis:
Islam tidaklah satu. Ada banyak pandangan teologis yang berbeda.
Jika dalam hal
teologis saja Islam tidak tunggal, apalagi dalam hal-hal ibadah dan mu’amalah. Dalam hal sholat misalnya, kita
memaklumi ada banyak sekali perbedaan mulai dari bacaan sholat antara wajjahtu wajhiya dan allahumma baa’id baini, “sedekap tangan”,
dan lain-lain. Tata cara berwudhu pun berbeda-beda antara para imam mazhab. Singkat
kata, dari lima rukun Islam, yang tunggal dan fix adalah mengucapkan kalimat laa
ilaha illallah, muhammadur rasulullah. Selebihnya terjadi perbedaan. Tegas
dan jelasnya, jika dalam ibadah saja Islam hadir dalam beragam bentuk ekspresi,
apalagi dalam hal mu’malah.
Kita dapat
membedakan dari jilbab, atau tutup kepala muslimah mana yang Indonesia,
Malaysia, Pakistan, atau Bangladesh. Bahkan, jubah yang dipakai oleh laki-laki
muslim bisa dibedakan antara jubah Madinah atau Jubah Yaman.
Yang manakah
yang Islam, dan tidak Islam? Atau, lebih Islam dibandingkan yang lain? Dalam
keberagaman tersebut kita menemukan kekayaan tradisi keislaman. Tetapi,
keberagamaan tersebut dapat menjadi bencana jika terjadi klaim bahwa “yang satu
lebih Islam dari yang lain”.
Pertanyaan
berikutnya, adakah tradisi atau praktek keagamaan Islam yang universal?
Jawabnya, ada, yaitu dalam hal ucapan ‘kalimat tauhid,’ jumlah rakaat sholat
wajib, puasa di bulan Ramadhan, dan haji pada bulan Haji. Tetapi, dalam
prakteknya, sebagaimana disebutkan di atas, terjadi perbedaan dalam hal
pelaksanaan sholat, puasa, serta haji.
Dari uraian di
atas kita dapat menarik kesimpulan pertama, yaitu menjadi muslim yang kaffah
tidak bisa membuat kita terbebas, atau terlepas dari
partikularitas-partikularitas praktek-praktek keagamaan. Menjadi muslim yang
kaffah artinya mengamalkan keislaman secara sungguh-sungguh dan konsisten di
dalam garis metodologi keislaman tertentu yang tetap saja partikular. Menjadi muslim
yang kaffah artinya ber-Islam secara kaffah dalam versi metodologis tertentu,
yang belum tentu lebih Islam dibandingkan versi metodologis yang lain.
Mengapa
kesimpulan pertama tersebut sulit diterima—terutama di sebagian kalangan muslim?
Jawabnya, karena dalam mind-set umat
Muslim Indonesia, bahkan dunia, keberagaman praktek keagamaan tersebut tidak
hadir dalam ruang kosong, melainkan dikonstruksikan dalam relasi kuasa (power relation). Dalam relasi kuasa
inilah maka suatu praktek keagamaan tertentu asosiatif dengan entitas kelompok
tertentu. Slametan asosiatif dengan
praktek masyarakat Jawa atau Melayu. Haflah
Tasyakuran asosiatif dengan masyarakat Arab. Gamelan identik dengan Jawa,
serta gambus identik dengan Timur Tengah.
Dalam relasi
kuasa tersebut, maka Slametan tidak
bisa disetarakan dengan Haflah Tasyakuran.
Gamelan tidak setara dengan Gambus. Karena, dalam relasi kuasa, Jawa dan Melayu
tidak setara dengan Arab dan Timur Tengah. Relasi kuasa mengandaikan suatu
entitas masyarakat atau golongan lebih memiliki kuasa, lebih mulia, dan
terhormat, dibandingkan entitas masyarakat atau golongan lain. Konstruksi
tersebut berlangsung dalam rentang sejarah yang panjang dan dilakukan oleh
pihak-pihak yang ‘lebih berkuasa’ atau otoritatif. Konstruktsi tersebut
dibangun dalam relasi kolonialistik.
Sudah sangat
lama sekali dunia ini dibagi ke dalam dua kutub, kutub Barat dan kutub Timur.
Pembagian ini diperlukan oleh pihak berkuasa—para kolonial—untuk membangun
konstruksi identitas bahwa Barat (penguasa/kolonial) lebih berkuasa, lebih
mulia, lebih terhormat, lebih beradab. Karena itu, kata Edwar Said, konstruksi
Timur dan Barat bukan hanya soal pembagian dunia tetapi juga sekaligus “instrumen
penjajahan”. Timur dan Barat sebagai konstruksi identitas yang melanggengkan
penjajahan. Paling tidak, konstruksi tersebut untuk mengkonstruksi perbedaan
‘kuasa.’
Ketimpangan
relasi kuasa tidak hanya terjadi dalam konstruksi Timur dan Barat di ranah
global. Tetapi juga terjadi dalam pemilahan dunia Islam. Arab dan Timur Tengah
menjadi representasi “Barat yang maju dan terhormat”, dan non-Arab (termasuk
Melayu, Bangladesh, India Muslim, China Muslim, dan sebagainya) menjadi
representasi “Timur ‘kelas dua’ dan kurang Islam”. Dalam ketimpangan relasi
kuasa ini, maka yang “Timur (non-Arab)” berusaha menjadi “Barat (Arab)” dalam
berbagai ekspresi keagamaan dan kebudayaan. Bahkan, tidak sedikit orang Timur (non-Arab)
berperilaku melebihi yang Barat (Arab). Maka, menjamurlah penggunaan jubah,
turban, dan istilah-istilah Arab, termasuk lagu-lagu Arab.
Dengan
demikian, kesimpulan kedua, preferensi praktek-pratek dan simbolisme keagamaan
tertentu yang seolah lebih utama, mulia dan terhormat adalah akibat pengaruh
cara pandangan kolonialistik yang melihat dunia dalam relasi-relasi kuasa yang
tidak setara. Suatu praktek dan ekspresi kebudayaan secara ontologis dan
epistemologis tidaklah lebih mulia dari yang lain.
Kenyataannya,
spirit kenabian Muhammad s.a.w justru ingin menghancurkan cara pandang
kolonialistik tersebut. Ketika saat itu, suku-suku Arab, termasuk Quraisy,
merasa lebih mulia dari yang lain, maka cara pandang tersebut secara
revolusioner dihancurkan oleh Nabi Muhammad dengan mengatakan, Laa Fadla Li Arabiyin ‘ala ‘Ajamiyin, wa laa
kinnal fadhla bittaqwa.
Dari dua
argumentasi di atas, yaitu (1) Menjadi muslim yang kaffah tidak berarti
terbebas dari partikularitas paham dan praktek keagamaan Islam, (2) Pengaruh
relasi kuasa yang timpang membuat suatu praktek dan simbolisme lebih utama dan
mulia, (3) Spirit kenabian yang mendobrak rasisme dan chauvinisme-materialistik,
maka kita dapat membangun argumetnasi berikutnya bahwa: (4) Tidak ada jurang
pemisah antara keislaman dengan keindonesiaan.
Untuk poin
terakhir ini, saya ingin mengelaborasi rumusan Al-Quran, yang sekaligus basis
teologis, untuk mempertemukan, atau mengawinkan, antara keislaman dengan keindonesiaan.
Allah s.w.t berfirman dalam Q.S Ibrahim 24-26: “Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang
ke langit”. “Kalimat toyyibah” dalam ayat tersebut dijelaskan oleh para
ulama adalah kalimat tauhid atau seruan keimanan kepada Allah s.w.t. Tetapi,
secara umum, kalimat thoyyibah
berarti kalimat yang baik, yaitu segala bentuk ajakan kepada kebaikan.
Ayat tersebut
memberikan kriteria kalimah thoyyibah,
yaitu mengakar dalam kehidupan sosial masyarakat. Memiliki kesadaran
sosiologis, kesadaran akan konteks struktural dan kultural di mana “kalimah
toyyibah” tersebut disampaikan. Dalam hal ini, maka pemahaman akan konteks
(sosiologis/kekinian, dan historis/rentang waktu) menjadi sangat penting.
Ada banyak
contoh, 'itibar, dari Al-Quran dan Sirah Nabawiyah yang menekankan
pentingnya kesadaran kontekstual (sosiologis-historis). Misalnya, tidak ada
hambatan bagi Allah untuk langsung memperjalankan Nabi Muhammad untuk ber-Miraj ke Sidratul Muntaha. Tetapi, karena perjalanan tersebut bukanlah
perjalanan individual, melainkan mengandung misi keumatan bagi umat manusia,
maka Nabi Muhammad diperjalankan dalam isra’
ke Baitul Maqdis untuk dapat diuji kebenarannya dalam nalar manusia.
Tidak ada
hambatan bagi Allah untuk menjadikan Nabi Muhammad dari suku mana pun, tetapi
karena dalam tradisi Arab saat itu terdapat stratifikasi suku, maka akan lebih
mudah dan dapat diterima kenabian yang berasal dari suku Quraish yang
terhormat. Bahkan, Nabi Muhammad pun harus berdarah-darah dalam peperangan,
gigi beliau patah, karena dengan begitu maka legitimasi kepemimpinan beliau
menjadi semakin kuat. Atau, Sayyidina Ali pada akhirnya kalah berperang melawan
Mu’awiyah, bukan karena keimanan Ali kurang, atau lebih rendah dari Muawiyah. Juga
bukan berarti keridhaan Allah atas Mu’awiyah lebih besar dari Ali. Kekalahan
tersebut karena fakta dan realitas sosial Mu’awiyah berasal dari suku yang jauh
lebih besar, dengan pengikut bala tentara yang jauh lebih banyak dibandingkan
dengan suku dan para pengikut Sayyidina Ali.
Kesadaran
sosiologis juga melekat di dalamnya kesadaran historis. Karakteristik berpikir
sosiologis adalah kesadaran historis, bahwa sesuatu terjadi tidak dengan
sendirinya melainkan melalui proses rentang waktu yang panjang hasil dari
pergulatan berbagai elemen sosial. Ayat di atas menggunakan kata syajaroh yang dalam bahasa Indonesia
disebut “pohon”, tetapi bisa juga diterjemahkan sebagai “sejarah”. Sejarah atau
silsilah keluarga juga dalam bahasa Arab disebut sebagai syajaroh. Karenanya, misi tauhid harus memenuhi prasyarat kesadaran
akan sejarah; baik sejarah diri, keluarga, komunitas, masyarakat, maupun
bangsa.
Dengan
perumpamaan syajaroh tadi, maka
keimanan menjadi “kokoh,” akarnya kokoh menghujam (ashluha tsaabit) dan cabang-cabangnya, atau manfaat dan buah dari
kebaikan tersebut menjulang tinggi (ke langit). Sebaliknya, perkataan atau
perbuatan yang buruk, yang tidak memiliki kesadaran sosiologis dan historis,
seperti pohon yang buruk yang akarnya tercerabut dari tanah (permukaan bumi),
dan tidak dapat tegak sedikit pun.
Perumpamaan
umat yang tidak memiliki kesadaran sosiologis-historis adalah tidak memiliki
pegangan dan menjadi mudah terombang-ambing dalam arus diskursus yang datang
entah dari mana. Ketika agenda global anti-Terorisme, maka dia terombang dalam
diskursus tersebut. Terbawa untuk menjadi bagian dari terorisme ATAU menjadi
orang yang dihantui ketakutan oleh diskursus terorisme. Hal yang sama juga
terjadi pada gelombang anti-Ahmadiyah, anti-Syiah, ISIS, dan sebagainya.
Kesimpulannya, untuk tidak terombang-ambing, jadilah seperti pohon yang menghujam
ke bumi. Menjadi seorang muslim yang punya kesadaran sosiologis dan historis.
Selamat Hari Pancasila.
Selamat berikhtiar menjadi Muslim yang kaffah, sekaligus warga Indonesia pancasilais yang kaffah!
Selamat berikhtiar menjadi Muslim yang kaffah, sekaligus warga Indonesia pancasilais yang kaffah!
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment