Krisis Kebebasan Akademik
|
[pic: nybooks.com] |
Hakimul Ikhwan
Sosiolog UGM
Filsuf Alfred North
Whitehead pernah mengingatkan, salah satu gejala kebangkrutan suatu masyarakat
adalah persekusi terhadap para sarjana atau ilmuwan (scholars). Whitehead meyakini, di setiap perubahan zaman persekusi
terhadap ilmuwan akan terus terjadi, sejak zaman Socrates hingga seterusnya.
Pemikiran Whitehead
tepat sekali untuk menggambarkan situasi di Indonesia. Ketika zaman bergerak
menuju demokratisasi pasca-Orde Baru, terjadi persekusi terhadap dunia kampus
dan para akademisi. Saat itu, persekutornya adalah kelompok laskar (vigilantis).
Mereka masuk ke kampus dan membubarkan kegiatan-kegiatan akademik berupa
seminar, bedah buku, pemutaran film, dan sebagainya. Berbagai dalih mereka
gunakan untuk membenarkan tindakan tersebut, mulai dari isu moralitas hingga
ideologi politik dan agama. Misalnya, tahun 2012 bedah buku Irshad Manji di Universitas
Gadjah Mada dibubarkan secara paksa karena dianggap tidak kompatibel dengan
standar moralitas bangsa dan agama. Begitu juga dengan pemutaran film Senyap (The Look of Silence) dan film
Jagal (The Act of Killing) yang
dibubarkan dengan dalih mengancam ideologi negara dan juga doktrin teisme
(Ketuhanan) dalam agama. Sejak saat itu, tidak mudah bagi para insan akademia
untuk menikmati kebebasan mimbar akademik, sekalipun angin demokrasi telah
berhembus kencang.
Beruntungnya,
pada periode tersebut kampus masih memiliki ‘nafas’ untuk melakukan perlawanan.
Kelompok laskar adalah elemen di luar masyarakat kampus. Mereka dapat dengan
mudah diidentifikasi ketika hendak masuk ke ‘wilayah’ kampus. Tidak sulit untuk
menarik garis damarkasi dengan mereka. Maka, dalam situasi ancaman persekusi
tersebut sebagian komunitas kampus masih dapat menyelenggarakan diskusi dan
seminar tentang tema-tema yang ‘tidak direstui’ oleh para vigilantis. Saat itu,
sekalipun dalam diam tetapi ‘denyut nadi’ mimbar akademik masih terasa.
Situasi hari ini
lebih buruk. Ancaman kebebasan akademik justru datang dari dalam dunia kampus
itu sendiri. Persekusi datang dari pusat kekuasaan struktural birokrasi kampus
dengan metode yang mirip vigilantisme; anti-dialog dan ‘main kuasa.’ Dalihnya
pun mirip dengan para vigilantis, yaitu demi ‘mengamankan’ ideologi negara.
Penggerebekan Densus 88 di Universitas Riau menjadi dalih utama untuk
menjustifikasi penggunaan pendekatan keamanan (policing) terhadap kampus. Pengumuman kampus-kampus terpapar
radikalisme oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek DIKTI)
menjadi dalih berikutnya untuk mengintervensi kebebasan akademik. Padahal
keduanya—terorisme dan radikalisme—tidaklah identik satu sama lain. Para pihak
yang dituduh radikal tidak serta-merta dapat dituduh teroris. Dalam banyak
literatur kelompok dengan kategori radikal tidak synonimous dengan kelompok teroris.
Tetapi,
sebenarnya, jauh sebelum berkembangnya narasi tentang radikalisme dan terorisme
di dunia kampus, para birokrat kampus telah menjadi aktor dominan yang membelenggu
kebebasan akademik. Sebuah laporan investigasi pers mahasiswa di Yogyakarta
mengangkat temuan bahwa pelarangan seminar dan diskusi oleh otoritas birokrasi
kampus lebih sering terjadi dibandingkan ancaman dan penyerangan nyata dari
kelompok vigilantis. Temuan ini menunjukkan otoritas birokrasi kampus justru
lebih represif dibandingkan para laskar.
Tidak mudah untuk
melawan persekusi terhadap ilmuan yang terjadi akhir-akhir ini karena
persekutornya para pemegang kuasa birokrasi kampus. Disebut tidak mudah karena
persekutor adalah para pihak yang paling otoritatif—secara
administratif/birokratik—mengatasnamakan kebebasan akademik. Mereka mengenakan
‘jubah’ akademik dan berada pada posisi legitimate
untuk memfatwakan kebebasan akademik.
Pada titik inilah
hegemonisasi kuasa dalam melangsungkan persekusi terjadi dengan ‘nyaris’
sempurna. Disebut hegemonik karena narasi kekuasaan berhasil membentuk cara
berpikir dan bertindak masyarakat kampus—birokrasi dan sebagian akademia—untuk
mengafirmasi dan bertindak atas nama rezim berkuasa. Bahkan, lebih dari itu
dunia kampus dengan sendirinya secara suka rela menyediakan diri (self-sufficiency) untuk ‘mengawal’
narasi pihak berkuasa.
Nalar akademik
sangat berbeda dengan nalar kekuasaan negara. Seseorang dengan simbolisme
akademik (misalnya, Guru Besar) bisa saja menempati posisi kekuasaan politik negara.
Tetapi tidak serta-merta yang bersangkutan berpegang pada prinsip akademik.
Kesejatian insan akademik tidak dilihat dari jubah atau pakaian simbolik yang
dikenakannya. Melainkan karakteristik berpikirnya yang selalu re-searching (terus mencari) karena
keingin-tahuan (curiosity), re-questioning (mempertanyakan the existing ‘yang ada’) karena selalu
skeptikal, dan berpikiran kritis (critical
thinker). Ketika seorang insan akademik berorientasi pada kekuasaan politik
negara, maka hampir dapat dipastikan ‘jubah akademiknya’ tidak bisa menutupi
dan mengelabui ‘wajah dan hasrat kekuasaannya.’
Dulu, di era
tahun 1980-90an, banyak sekali mahasiswa yang sangat menikmati secara diam-diam
membaca buku-buku terlarang versi Orde Baru. Buku-buku karya Pramoedya Ananta
Toer adalah salah satu primadona yang beredar secara diam-diam di kalangan
mahasiswa. Buku Ir. Soekarno, Di Bawah
Bendera Revolusi—terutama jilid 2 [ed.]—terkunci rapat di gudang
perpustakaan dan tidak boleh dibaca mahasiswa. Tetapi, dengan spirit insan
akademik yang re-searching, curious, dan re-questioning; para mahasiswa tetap bisa menikmati buku tersebut,
sekalipun dalam ‘senyap.’ Saat itu diskusi tentang Karl Marx dan marxisme
dilarang. Tetapi kenyataannya diskusi tersebut tetap berlangsung di kalangan
mahasiswa dan para insan akademia. Ini membuktikan bahwa kampus dengan tradisi
akademiknya tidak selalu dapat ditundukkan dengan menggunakan nalar kekuasaan negara.
Kampus—dalam
pengertian birokrasinya—bisa saja patuh dan tunduk terhadap kebijakan dan
ideologisasi rezim politik. Tetapi, insan akademik sejati tidak begitu saja
bisa ditundukkan. Ide dan gagasan mereka seluas jagat raya, bahkan lebih luas
lagi (QS. 55:33). Maka, sebuah kesia-siaan membelenggu gagasan dan pikiran mereka.
Nalar akademik tetap menjadi ‘ruh’ insan akademik, sekalipun rezim politik
berusaha untuk mengangkanginya.
*****
0 Comments:
Post a Comment