Invasi
Saat aku berada di Jogja, aku
mendengar kebijakan baru pemerintah. Nanti sekembalinya diriku ke Denpasar, aku
harus berbagi kamar kos dengan pekerja asal Jepang. Ternyata bukan masifnya
kehadiran pekerja Cina seperti yang dikhawatirkan selama ini, tetapi Jepang.
Kebijakan ini terpaksa ditempuh karena ketiadaan “ruang hidup” lagi di Bali,
jadi, aku betul-betul harus berbagi kamar dengan seorang pekerja asal Jepang.
Nyatanya, pemerintah Jepang tak mau begitu saja menanamkan modalnya, mereka
juga menyertakan pekerjanya dalam persentase tertentu; tampaknya persentase
yang besar...
Setibanya diriku di Denpasar,
bukan main terkejutnya diriku. Bukan hanya karena Denpasar kini telah
sumpek-sesak oleh para pekerja Jepang, tetapi sialnya juga, lokasi kosanku
dipindah. Aku tak lagi tinggal di Denpasar, melainkan di daerah Celukan Bawang,
itu daerah Utara Bali, perlu waktu sekitar tiga jam dari Denpasar untuk ke
sana, sementara, aku mengajar di Denpasar!
Aku bertanya-tanya, kekuataan
pemerintah macam apa yang sampai bisa menggeledah kamar kosku, memindahkan
barang-barangku, kemudian menentukan dimana semestinya aku tinggal, harus
berbagi kamar lagi! Saat itu diriku betul-betul merasa tak lebih sebagai
properti negara. Atau jangan-jangan, ini adalah kekuatan korporasi, aku pun
kembali bertanya-tanya: kekuatan korporasi bajingan
macam apa yang sampai bisa menentukan kehidupan manusia jadi seperti ini?!
Karena tak ada pilihan lain, aku
pun terpaksa berangkat ke Celukan Bawang untuk melihat kondisi tempatku tinggal
yang sekarang.
Karuan, TV-ku sudah terpasang,
lemariku juga sudah dipindahkan, meja kerjaku juga. Sebetulnya, tak hanya aku
saja yang dikenai kebijakan ini, semua orang yang menyewa kamar kos di Bali,
terutama di Denpasar, juga terkena imbasnya, tak terkecuali temanku: Gede
Kamajaya.
Tempat kosku yang sekarang
bersampingan persis dengan industri berat, aku belum tahu betul apa itu, tapi
sepertinya pabrik mobil. Kondisi kosan yang sekarang juga lebih mencerminkan bengkel.
Onderdil-onderdil berserakan, juga kardus-kardus pembungkusnya. Begitu pun
dengan kondisi kamarku, melihatnya yang sekarang, aku bisa menebak jika teman
sekamarku bekerja di pabrik sebelah, dan pastinya juga: dia orang Jepang. Aku
belum tahu siapa namanya, tapi aku akan senang hati memanggilnya Mitsubishi,
Honda, atau Toyota.
Aku betul-betul merasa
kebebasanku direnggut, seorang dosen harus berbagi kamar dengan seorang montir;
bukan soal di profesinya, tapi dua profesi ini betul-betul punya dua dunia yang
jelas-jelas berbeda. Aku tak lagi bebas menciptakan duniaku: lewat kamarku. Apalagi
melihat kondisinya yang sekarang, setengah berantakan, seperti baru pindahan
tapi barang-barang belum betul-betul tertata, masing-masing masih belum
memperoleh tempatnya yang layak.
Tak hanya itu saja, kini kondisi tempatku
menghabiskan hari-hari begitu bising, suara dari proses produksi pabrik
sebelah. Semuanya tak berbeda ketika aku menyambangi kamar Kamajaya: serba
gamang.
“Bung, apa kamu terima dengan
kondisi ini?” tanyaku pada Kamajaya.
“Aku sih oke-oke aja. Aku tetap
tinggal sendiri kok di kamar ini. dengar-dengar orang Jepang yang seharusnya
sekamar denganku dikembalikan ke negaranya karena tak layak berkerja,” jawabnya
santai.
“Ya, setidaknya dia lebih
beruntung dariku...” batinku.
Aku bergegas keluar untuk mengamati
situasi. Kosanku terletak di samping jalanan gang sempit, mobil saja tak bisa
masuk, hanya cukup dimasuki dua sepeda motor berdampingan. Di samping jalanan
sempit itu, kosanku masuk menjorok ke dalam. Oh, Tuhan...
Tiba-tiba seseorang menegurku,
“Heh, kamu!”
Aku masih belum yakin ia
benar-benar menegurku.
“Iya, kamu!”
“Saya, Pak?”
“Iya,”
“Barang-barangmu yang lain masih
ada di...,” ucapnya padaku. Ia menyebut nama seseorang, tapi aku lupa siapa,
karena masih bingung. Seketika aku teringat ‘barang-barangku yang lain’,
buku-bukuku!
“Buku-bukumu yang banyak sekali
itu, masih ada di dia, belum dikirim ke sini karena kerepotan,” lanjutnya.
“Oh, bisa Bapak minta dia segera
bawa kemari?” tanyaku sopan.
“Enak saja kamu! Memangnya kamu
siapa? Sekarang bukan zamannya lagi merintah-merintah!” jawabnya seketika. Ia
seorang pribumi sepertiku, tapi dari penampilannya aku tahu ia bekerja di
pabrik sebelah.
“Oh, maaf Pak kalau begitu. Kalau
saya minta nomor beliau agar bisa saya hubungi, bisa?” pintaku sopan.
“Nah, itu baru bisa,” jawabnya
melegakan.
“Baik Pak, sebentar, saya ambil hp dulu di dalam,”
Aku mencoba kembali ke dalam,
tapi tiba-tiba aku kebingungan sendiri. Aku lupa jalan pulang! Padahal tadi aku
cuma ada di depan kosan. Aku mencoba berpikir, jangan-jangan aku sudah keluar
dari gang sempit ini, dan berada di pinggir jalan besar, dan memang aku kini
berada di pinggir jalan besar.
Aku mencoba berjalan ke Selatan, mencari
gang tempat kosku berada. Gang pertama kumasuki, tapi bukan ini. Aku keluar
gang lagi, berada di pinggir jalan besar, kemudian berjalan cepat mencoba
memasuki gang yang berada di Selatannya lagi. Begitu aku sudah agak masuk ke
dalam, lagi-lagi bukan ini. Aku sempat panik, khawatir kalau bapak itu sudah
pergi meninggalkanku. Aku kembali keluar gang, berjalan ke Selatan lagi,
memasuki gang yang lain, tapi kondisinya malah sama seperti gang pertama yang
kumasuki. Gila!
Sampai pada satu waktu, aku
merasa telah berjalan terlalu jauh. Aku benar-benar tersesat! Aku berpikir
untuk kembali berjalan ke Utara, kali ini aku menyeberangi jalan besar terlebih
dahulu. Aku terus berjalan dan berjalan. Terik dan dahaga mulai terasa, sialnya
aku tak membawa dompet ataupun hp,
karena memang niatanku tadi mengambil hp.
Kalau bawa dompet, aku bisa membeli es kelapa muda yang dijual di pinggiran
jalan. Kalau aku membawa hp, aku bisa
memesan gojek dan tak perlu
repot-repot seperti ini. Tapi kalau memang sejak awal memegang hp, aku juga takkan repot-repot seperti
ini.
Setelah merasa cukup jauh
berjalan, aku melihat tiga juru parkir dengan pakaian oranye-oranye. Ada satu
juru parkir yang menyita perhatianku. Ia adalah seorang perempuan muda bersih
yang tampak energik, seperti perempuan-perempuan muda yang berperan di FTV. Tapi
anehnya, ia memiliki kumis yang cukup lebat. Mungkin karena keanehan itu aku
jadi tertarik bertanya padanya.
“Maaf, saya mau tanya, Jalan atau
Gang Celukan Bawang dimana, ya?”
“Oh, di situ Pak,” jawabnya
sambil menunjuk ke arah Utara. “Bapak tinggal jalan sebentar lagi, satu-dua
gang lagi, lalu sampai,”
Belum sampai aku mengucapkan
terima kasih pada juru parkir wanita muda itu, aku sudah terbangun dari tidur.
Aku terbangun dari tidur dan
bersyukur semua ini cuma mimpi di siang bolong. Tapi sesaat aku masih ragu,
apakah barang-barangku masih ada di kamar kosku yang sekarang. Sekali lagi
kuyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Ini cuma mimpi. Aku sedang berada di
Jogja sekarang, di hari terakhir puasa.
Sialnya, besar hasratku kemudian tuk
menenggak segelas milkshake vanilla dingin dan merokok. Apakah aku membatalkan
puasaku?
Jogja, 14 Juni 2018.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment