[Pic: readersdigest.co.uk] |
Tubuh dan Ritual Atasnya
Gede Kamajaya
Pegiat
Sanglah Institute
Menyoal Tubuh: Tubuh Sekular, Tubuh Spiritual, Tubuh Bekerja
hingga Tubuh Pengorbanan
Tubuh sejatinya adalah ladang subur lahirnya diskusi-diskusi
teoritis hingga perdebatan panjang dalam filsafat yang sampai hari ini belumlah
final. Socrates misalnya, menyebut tubuh sebagai penjara atas jiwa, tubuh adalah
rintangan dan pengganggu, jiwa adalah tawanan yang tak berdaya, hanya dalam
kematianlah jiwa dibebaskan dari keinginan dan nafsu jahat. Dengan demikian, Socrates secara gamblang
menegaskan tubuh dan jiwa tidak hanya terpisah, namun juga bertentangan,
konflik antara tubuh dan jiwa bersifat total dan permanen. Tegasnya, pandangan
Socrates tentang tubuh bersifat dualisme. Berbeda dengan Socrates, Aristoteles
nampak sedikit berkompromi melihat tubuh dan jiwa kendati masih nampak sisi
dualismenya. Menurutnya, jiwa lebih unggul dari tubuh, jiwalah yang memerintah
tubuh, karenanya kita harus merawat tubuh demi kebaikan jiwa.
Pada era Renaissance,
tubuh dipandang dengan cara amat berbeda, tubuh dipandang dan digambarkan
secara lisan maupun tertulis dengan sangat indah. Deretan seniman semisal
Leonardo da Vinci, Michelangelo, hingga Titian melukiskan tubuh dengan
warna-warni dan detail yang sangat
memukau. Periode ini juga sekaligus memberi batasan penjelasan tentang tubuh
dari era sebelumnya, yang melihat tubuh sebagai sesuatu yang sakral sebagaimana
wejangan Santo Paulus: “Kamu tahu bahwa
tubuhmu adalah bagian dari tubuh Kristus, tubuhmu bukan lagi hanya milikmu
tetapi milik Allah”. Era Renaissance
juga menjadi detik-detik terakhir kematian ide asketik tentang tubuh sebagai
musuh. Seturut dengan itu, Spinoza juga membahas tubuh sebagai sesuatu yang
spiritualis. Dalam bukunya Ethics, Spinoza menjelaskan manusia terdiri atas
jiwa dan tubuh, jiwa manusia bersatu dengan tubuh, keduanya merupakan dua sisi
dari realitas Tuhan. Tubuh sebagai kesatuan dengan jiwa sebagaimana kata
Spinoza, sejatinya juga sejalan dengan psikoanalisa Freud tentang tubuh bahwa
keduanya adalah satu, Freud menyebut teorinya ini sebagai perubahan jiwa menuju
tubuh meskipun Freud tidak pernah membawa dimensi Tuhan dalam teorinya ini.
Jika secara umum Pencerahan
melihat tubuh sebagai keindahan dan sekularitasnya, maka filsafat Descartes lebih
menekankan analogi tubuh sebagai mesin. “Aku
menyadari diriku sendiri pertama-tama karena ia memiliki wajah, lengan, tangan,
dan mesin yang dibuat dari daging dan tulang, seperti seonggok mayat yang saya
sebut dengan tubuh”, ucap Descartes. Jiwa tempatnya di gereja, sedangkan
tubuh ada pada ranah keilmuan. Apa yang dikatakan Descartes didukung sepenuhnya
oleh Hobbes, seorang filsuf matrealis asal Inggris: “Jantung seperti pegas, persendian seperti roda yang membuat semua
anggota tubuh bisa bergerak sebagaimana yang diinginkan pengemudinya”. Namun
demikian, dualisme tubuh Socrates hingga Descartes ditentang penuh gairah oleh
monoteisme Sartre tentang tubuh. Sartre menyebut tubuh adalah diri, dan diri
adalah tubuh. Tubuh adalah sebagaimana aku tampak. Dengan demikian, jiwa
kembali kehilangan tempatnya dalam filsafat eksistensialisme.
Tubuh sebagai bagian spiritualitas mendapatkan momentum
yang luar biasa dalam karya monumental seorang Weber, The Protestant Ethics and Spirit of Capitalism. Anthony Synnott
menyebut fokus teori Weber tentang tubuh berkait erat dengan “tubuh puritan”. Penguasaan
atas tubuh adalah yang utama dalam diskusi Weber tentang agama, tubuh harus
terus digunakan sebaik-baiknya untuk bekerja dan menjamin akumulasi modal.
Demikianlah doktrin Calvinis memandang kerja sebagai keutamaan karena kerja
tidak hanya menyangkut kebutuhan ekonomi, namun juga memiliki tujuan kudus.
Berbeda dengan Weber, Marx melihat tubuh yang bekerja tidak ada sangkut-pautnya
dengan urusan ketaatan pada Tuhan, bahkan agama menjadi salah satu alat
legitimasi kelas borjuis untuk mengeksploitasi tubuh para buruh. Tubuh dipaksa
taat dan tunduk oleh sistem kapitalis, bukan oleh doktrin teologis. Inilah yang
disebut Marx sebagai tubuh yang bekerja. Tubuh pekerja dikorbankan untuk
keuntungan pemodal yang menikmati kesehatan, hidup mewah, dan dengan usia hidup
yang lebih lama. Setiap pekerjaan dan industri menciptakan tubuh tersendiri,
begitu ungkap Marx. Dalam pabrik garmen misalnya, kita bisa menemui tubuh-tubuh
bungkuk, tulang punggung yang lambat-laun mengalami kerusakan karena saban hari
membungkuk berhadapan dengan mesin jahit, pun tubuh-tubuh yang terasing, tidak
jarang dalam pabrik-pabrik kecelakaan kerja juga mengakibatkan sang tubuh
mengalami perubahan bentuk hingga cacat permanen hanya untuk memenuhi hasrat
kelas borjuis terus mengakumulasi modalnya.
Sejatinya, tubuh tidak hanya dikorbankan demi industri,
tetapi juga demi equibrium. Sebuah
konsep penting penganut fungsionalisme struktural yang mempercayai struktur
seimbang adalah segalanya. Konsekuensi dari konsep ini adalah, Durkheim sebagai
salah satu dedengkot fungsionalisme struktural membagi tubuh menjadi dua. “Tubuh
sebagai diri” dan “tubuh masyarakat”. Tubuh sebagai diri yang seringkali sarat
dimensi individual harus dikorbankan demi kepentingan masyarakat. Dalam bahasa
yang lebih gamblang, Mary Douglas menyebut
tubuh ala Durkheim dengan sebutan “tubuh sosial”. Meminjam istilah Foucault, dalam
kerangka politik, tubuh juga harus dikorbankan pada ketaatan, dan tunduk pada
aturan.
Tubuh dan Ritual
Sosial
Pada era spat-kapitalismus
‘kapitalisme-lanjut’, tubuh kembali menjadi “proyek” yang tidak pernah selesai.
Tubuh dimodifikasi, dan dipermak sedemikian rupa. Konstruksi cantik misalnya, memaksa kaum hawa menyiksa diri untuk
mengikuti standar tubuh ideal yang dikonstruksikan oleh media. Tubuh adalah
pasar yang menyediakan lubang tak terhingga untuk kebutuhan yang sengaja dibuat
di era spat-kapitalismus. Menjamurnya
sanggar kebugaran, skin care,
berbagai produk diet, make up, hingga
gerai-gerai pakain mode terkini diperuntukkan untuk menjadikan tubuh sebagai
proyek yang terus dimodifikasi. Orang menjadi membenci tubuhnya jika tidak
sesuai dengan standar tubuh ideal yang dikonstruksikan oleh media. kondisi
inilah yang melatarbelakangi mitos kecantikan seorang Naomi Wolf. Konstruksi
tubuh ideal ala industri ini kemudian menjadikan manusia (laki-laki dan
perempuan) bertindak ajeg menjaga tubuh dengan berbagai produk, bersolek,
implan, diet, datang ke skin care,
suntik putih, mengunjungi butik, hingga takut terpapar sinar matahari. Dalam
kajian-kajian cultural studies,
tindakan-tindakan semacam ini biasa disebut sebagai “ritual sosial”, ritual
dengan demikian mengalami pergeseran makna menjadi lebih cair ketimbang makna
ritual dalam teologis yang selalu berkonotasi spiritual. Ritual sosial adalah
segala tindakan yang ajeg dilakukan berkait dengan satu tren atau subkultur
tertentu. Dengan demikian, ritual sosial akan menjadi karakter subkultur
tersebut.
Ritual Tubuh
dalam Masyarakat Bali
Hindu membedakan antara tubuh dan jiwa. Bhagawad Gita dengan
gamblang menjelaskan soal ini. Percakapan Krisna dengan Arjuna pada bagian Samkhya Yoga menyebut jiwa tak pernah
mati, hanya badanlah yang mengalami kematian. Tubuh dalam pandangan Hindu
terbagi menjadi tiga bagian di antaranya; 1) Badan kasar yang mengalami
berbagai proses duniawi ini disebut dengan Stula
Sarira (badan kasar). Dalam Manawa
Dharmasastra, Stula Sarira dibentuk oleh unsur-unsur Panca Maha Bhuta (Manawa Dharmasastra Bab I
Sloka 6) yang terdiri
dari lima elemen pembentuk, yaitu; tanah, api, udara, kosong (hampa/ruang
penyusun alam), dan air. Selain dibentuk oleh unsur Panca Maha Bhuta, Stula
Sarira ini juga di dalamnya mengandung enam unsur atau yang disebut dengan Sad Kosa (tulang, otot, daging, darah,
sumsum, tulang). Tubuh kasar atau Stula
Sarira ini hadir secara nyata menerima segala bentuk derita,
ketidakabadian, sengsara, bahagia, dan segala tetek-bengek dunia, berbeda dengan sifat Atman yang terbebas darinya. 2). Sukma Sarira atau Lingga
Sarira adalah lapisan halus yang tidak dapat diraba, Sukma Sarira ini berisikan ingatan atau alam pikiran manusia atau
secara umum juga diartikan sebagai roh. Dalam bahasa Sansekerta disebut dengan Citta. Citta inilah pembentuk dasar dari budi atau karakter seseorang, 3).
Anta karana Sarira atau Atman sebagai penyebab tubuh menjadi
hidup. Atman ini bersifat kekal
karena ia bagian dari yang transendental. Atman
inilah yang berimanensi menubuh dalam badan manusia. Tubuh dengan demikian
adalah simbol dari yang transendental. Meski Hindu memisahkan antara tubuh dengan
jiwa, namun keduanya dapat disatukan. Penyatuan keduanya adalah kunci untuk
mendapatkan kebahagiaan abadi (Bhagawad Gita XIII.23). Artinya,
penjelasan tubuh dalam Hindu menolak diktum dualisme tubuh Socrates. Tubuh dan
jiwa dalam Hindu bersifat dualitas bukan dualisme.
Pertanyaan dasarnya adalah, kenapa tubuh kasar (Stula
Sarira) manusia ketika menjadi mayat diperlakukan sedemikian rupa, apa yang
mendasari perlakuan atas tubuh yang sejatinya sama dengan tubuh binatang? Tindakan
ini bersumber dari superstruktur ideologi yang di dalamnya menurut Sanderson
berisi ideologi umum, kepercayaan, agama, ilmu pengetahuan, hingga seni. Cara
memperlakukan tubuh yang telah menjadi mayat dalam masyarakat Bali melibatkan
serangkaian konstruksi sosial kehidupan pasca kematian. Namun demikian,
konstruksi ini tidak bersifat kaku karena adaptif terhadap kondisi, terutama
menyangkut bagaimana merawat sesosok tubuh yang telah berubah menjadi mayat—paling
tidak pada aspek teknologi. Tubuh sebagai simbol kehadiran yang transenden
dalam Hindu harus diperlakukan dengan baik agar dapat bersatu dengan jiwa
(Brahman Atman Aikyam).
Tubuh sejak awal kehadirannya di dunia mengalami
konstruksi terus-menerus hingga menjadi mayat. Atmaja menyebutkan bahwa tubuh
tidak pernah hadir secara “telanjang” di ruang publik, melainkan selalu
merupakan hasil dari konstruksi bagaimana tubuh harus ditampilkan sebagaimana
kerangka struktur kebudayaan di mana tubuh itu berada. Tubuh manusia tidak
hanya berdimensi biologis layaknya tubuh binatang, tetapi tubuh adalah produk
dari struktur sosikultural. Struktur sosikultural di mana tubuh berada memaksa
tubuh memasung dimensi instingtif tubuh biologis. Kita tidak bisa meludah
sembarangan, kawin sesuka hati, makan dengan gaya tertentu, dan seterusnya;
adalah penggambaran paling sederhana bagaimana tubuh berdimensi sosial. Dalam
masyarakat Bali, tubuh setelah menjadi mayat mendapat perlakuan luar biasa, ia
harus dikembalikan pada unsur pembentuk aslinya (Panca Maha Bhuta) dengan harapan Atman (Anta Karana Sarira) menyatu dengan sang pencipta atau Brahman karena tubuh sejatinya adalah
simbol kehadiran Tuhan. Tubuh sosial inilah yang diperlakukan sedemikian rupa
lewat seni, agama, dan diupacarai yang kita sebut dengan Ngaben. Jika tubuh manusia hanya berdimensi tubuh biologis, ia akan
diperlakukan layaknya tubuh binatang, dibiarkan membusuk, dan mengering begitu
saja...
******
Bacaan
lebih lanjut;
Abidin,
Zainal. 2014. Filsafat Manusia Memahami
Manusia melalui Filsafat. Rosda. Bandung.
Atmadja, Bawa
Nengah. 2015. Ngaben+Memukur=(Tubuh+Api)+Uparengga+mantra)=(Dewa
Pitara+Surga) Perspektif Teori Sosial Ketubuhan terhadap Ritual Kematian di
Bali. Pustaka larasan. Denpasar.
J. Lee, Martin.
2015. Kebudayaan Kosumsi dan Komoditas,
sebuah Kajian Politik Budaya Konsumen. Kreasi wacana. Yogyakarta.
Meliliana,
Annastasia. 2013. Menjelajah Tubuh
Perempuan dan Mitos Kecantikan.LKIS. Yogyakarta.
Prabhupada, Sri-Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2000. Bhagavad Gita Menurut Aslinya. Hanuman Sakti. Jakarta.
Raditya, Ardhie.
2014. Sosiologi Tubuh, Membentang Teori
di Ranah Aplikasi. Kaukaba. Yogyakarta.
Rai Sudharta,
Tjocorda, puja Gede. 1995. Manawa dharmasastra.
Paramitha. Surabaya.
Sanderson, Stephen
K. 2011. Makro Sosiologi Sebuah
Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Rajawali Pers. Jakarta.
Synnott, Anthony.
1993. Tubuh Sosial. SImbolisme, Diri, dan Masyarakat. Jalasutra.
Yogyakarta.
Wolf, Naomi.
2004. Mitos Kecantikan Kala Kecantikan
Menindas Perempuan. Niagara. Yogyakarta
Tags:
Gede Kamajaya
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment