Pendidikan Tinggi, Ekonomi Mapan: “Kenapa
bisa jadi teroris?”
(Sebuah Catatan tentang Lari dari Kebebasan)
|
[pic: insight.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah
Institute
It’s the terror of knowing what this world is
about
Watching some good friends screaming, ‘Let
me out’
Pray tomorrow gets me higher
Pressure on people, people on streets.
—Under
Pressure, QUEEN
Pasca terjadinya
bom bunuh diri satu keluarga di Surabaya yang menyasar beberapa gereja, banyak
pihak dibingungkan; bagaimana bisa seseorang—dalam hal ini pasangan suami-istri—yang
memiliki pendidikan tinggi dan kehidupan finansial tergolong mapan, bahkan lebih
dari cukup, memutuskan melakukan aksi teror keji semacam itu. Saya ingin
mencoba menjawabnya dengan bantuan pemikiran Erich Fromm yang tertuang dalam
karya Lari dari Kebebasan. Erich
Fromm adalah salah seorang pemikir generasi pertama Aliran Frankfurt (Sekolah
Frankfurt) yang terkenal dengan berbagai kajian bernuansa psikonalisis kritis.
Bagi Fromm,
kebebasan manusia adalah utopia berwajah ganda. Manusia sesungguhnya tidak bisa
benar-benar bebas dan benar-benar terbelenggu. Fromm mengawali analisisnya dari
era kegelapan Eropa (The Dark Ages)
di mana kala itu gereja berkuasa dan begitu menindas rakyat. Setelahnya, renaissance atau “pencerahan Eropa”
seakan memberi harapan baru bagi masyarakat Eropa untuk lepas dari
ketertindasan itu, atau dengan kata lain: “menyongsong kebebasannya”. Namun kenyataannya,
pencerahan yang kemudian melahirkan modernisasi atau kehidupan modern, justru
menjadi alat penindasan baru. Inilah mengapa para pemikir Frankfurt lain seperti
Theodor Adorno dan Horkheimer berkata, “Pencerahan
ingin menghapuskan mitos, tetapi ia—pencerahan—justru melahirkan mitos baru”.
|
Erich Fromm [writingcities.com] |
Lalu, dimana
letak relevansinya dengan kondisi masyarakat kita (Indonesia)? Mungkin kita memang
tak pernah menuai pengalaman pahit Abad Kegelapan seperti yang terjadi di Eropa
sana, tetapi produk kandung pencerahan berupa kehidupan modern juga turut kita
rasakan, bahkan oleh hampir seluruh masyarakat dunia. Inilah produk pencerahan yang
tak terbantahkan di mana kita ikut hidup di dalamnya. Terdapat dua prinsip
utama yang dibawa modernisasi, yakni efisiensi dan efektivitas. “Efisien” berarti
praktis, atau apabila hendak dijabarkan lebih jauh; hemat waktu, hemat energi,
serta hemat biaya. Sementara, “efektif” berarti tepat guna atau tepat
sasaran. Faktual, kedua prinsip ini menjiwai aktivitas ekonomi masyarakat
modern.
Dalam kehidupan
modern, manusia ditempatkan sebagai homo
economicus, artinya segala tindakan manusia terkerangka dalam kalkulasi
untung-rugi. Manusia ditempatkan sebagai “alat” pencapaian target-target
ekonomis yang berada di luar dirinya. Sebagai misal, bagaimana seseorang
yang bekerja di bagian marketing sebuah
bank diwajibkan memperoleh sejumlah nasabah dalam jangka waktu tertentu,
seorang sales motor ditargetkan harus menjual beberapa unit motor dalam sekian waktu,
seorang dosen wajib mengajar sekian SKS, melakukan penelitian, dan meluluskan sekian
mahasiswa dalam satu semester; seorang dokter diharuskan menangani sekian
pasien agar memperoleh gaji yang layak, dan lain sebagainya.
|
Lari dari Kebebasan edisi bahasa Indonesia, judul asli: The Fear of Freedom
[bukalapak.com] |
Menurut pemikir
Aliran Frankfurt lainnya, Jurgen Habermas, hal di atas menunjukkan bagaimana
semangat pembebasan pencerahan justru digantikan oleh mekanisme kontrol
terhadap manusia. Manusia tak lagi diposisikan sebagai subyek, melainkan
sebagai obyek yang bisa dimanipulasi secara teknis. Dengan kata lain, “rasionalitas”
(akal budi) yang muncul dan menjadi primadona pencerahan, kini menjelma menjadi
proses birokratisasi kehidupan. Ukuran-ukuran mengenai seorang karyawan, dosen,
atau dokter yang baik dapat ditentukan secara statistik-kuantitatif, yakni
ketika mereka memenuhi kualifikasi-kualifikasi birokratis yang disyaratkan.
Lebih jauh bagi
Fromm, inilah yang menyebabkan manusia hendak lari dari kebebasannya, yakni dari
kehidupan modern yang mulanya begitu didambakannya. Dalam kehidupan modern,
manusia kehilangan spontanitasnya, bahkan yang terparah, ia kerap kehilangan
dimensi kemanusiaannya—bahkan sengaja menghilangkannya. Keseharian hidupnya terkerangka
dalam aktivitas kerja; berangkat pagi, pulang malam. Ia istirahat pada malam
hari untuk bekerja keesokaannya, ia menjalin relasi dengan manusia lain untuk meningkatkan
karir atau menjalin relasi bisnis. Tegas dan jelasnya, manusia modern hanya
menjadi alat, mesin, atau robot tanpa jiwa karena segalanya telah
termonetisasi.
Dampak dari
kehidupan modern yang garing dan gersang ini adalah alienasi (keterasingan), reifikasi
(kepalsuan), serta yang terparah: nihilisme (ketiadaan makna hidup). Menurut Fromm,
sarana pelarian dari serangkaian gejala tersebut adalah “otoritarianisme”. Ia mengambil
contoh pengalaman fasisme Eropa ketika masyarakat Jerman diterpa keputusasaan
akut akibat kekalahan dalam Perang Dunia I (1914-1918). Setelahnya, masyarakat Jerman
memilih jalan otoritarianisme guna menggantikan perasaan ketidakberdayaan-nya, yakni
dengan mendukung hadirnya sosok Adolf Hitler. Langkah ini pun melahirkan dampak
lanjutan berupa destruktivitas atau “pengrusakkan” pada dunia luar.
Dalam konteks
masyarakat tanah air, kehidupan modern yang mekanistik melahirkan kegersangan,
ketiadaan makna hidup, dan pada akhirnya dahaga spiritual—“Saya sudah kaya, punya banyak uang dan harta; lalu apa?”. Serangkaian
hal tersebut menyebabkan seseorang mendapati perasaan “kurang” dalam hidupnya;
yakni pada sesuatu yang lebih bersifat esensial, sesuatu yang absolut dan tak
terbantahkan; yang nyatanya tak bisa diraih atau dicapai lewat uang: ihwal yang
melampaui semua itu. Dalam kondisi dahaga akut spritual semacam ini, mereka sangat
mungkin terjebak pada pemahaman-pemahaman agama yang bersifat saklek, dangkal, radikal, tak
bertanggung jawab, dan cenderung mengarah pada destruktivitas terhadap dunia
luar, bom bunuh diri adalah salah satu contoh konkretnya.
|
[pinterest.com] |
Di satu sisi,
bom bunuh diri menyiratkan kerentanan, keputusasaan: sebentuk respon total
terhadap dunia luar berupa all or nothing
‘semua atau tidak sama sekali’. Namun di sisi lain, bom bunuh diri juga
menyiratkan optimisme terhadap kebebasan baru, yakni sebuah kehidupan yang
lebih baik dan jauh lebih indah dibandingkan kehidupan sebelumnya. Tak menutup kemungkinan pula, tindakan
ini ditempatkan sebagai wujud “penebusan dosa” atas segala aktivitas silam
pelaku yang begitu hedonistik dan jauh dari nilai-nilai syar’i, bahkan bisa jadi, dahulu ia sarat mengorbankan nurani dan
kehidupan manusia lain akibat tuntutan sistem (umumnya dalam ekonomi
kapitalistik). Hal inilah yang menimbulkan rasa bersalah yang teramat-sangat
terhadap Tuhan; dan, wujud penebusan dosa tertinggi itu adalah pengorbanan
dirinya. Dengan demikian, aksi bom bunuh diri adalah tindakan pembersihan diri
dari dosa, penghukuman sepihak terhadap diri (tubuh duniawi), sekaligus sarana
merengkuh kehidupan yang paripurna. Secara psikoanalisis
kritis, keyakinan ini adalah usaha mengelakkan realitas (kebebasan lama) dan
menggantinya dengan ilusi yang dinilai jauh lebih bermakna. Sementara, akar
dari segala persoalan ini sesungguhnya cukup sederhana: kehidupan modern yang
gersang dan menjadikan manusia tak ubahnya robot.
“Tanpa kerja, semua kehidupan akan membusuk.
Tetapi jika kerja tak berperasaan: kehidupan sesak dan mampus.”
[Albert Camus]
*****
Bacaan lanjutan;
Fromm,
Erich, 1997, Lari dari Kebebasan,
Pustaka Pelajar.
Habermas,
Jurgen, 2007, Teori Tindakan Komunikatif:
Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Kreasi Wacana.
Horkheimer,
Max & Theodor W. Adorno, 2002, Dialektika
Pencerahan: Mencari Identitas Manusia Rasional, IRCiSoD.
Jay,
Martin, 2005, Sejarah Mazhab Frankfurt:
Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Kreasi Wacana.
Schumacher,
E.F., 2008, Kerja Bermartabat, Kreasi
Wacana.
0 Comments:
Post a Comment