KISAH YANG TERJUAL
Marvin Alexa
Pegiat Sanglah Institute
Sebut saja Nama-Mu
Pasukan
itu terus meneriakkan nama-Mu
pantang
menurunkan nada yang terlewat lantang.
Bukannya
aku tak lagi percaya akan nama-Mu, Tuhan,
namun
sebab merekalah yang membuatku beralih pandang.
Nama-Mu
telah tergadaikan, Tuhan
oleh
orang-orang yang haus dan lapar akan tahta, rakus akibat hasrat liar mereka
rela
melacur untuk memenuhi libido kuasa, hanya dengan menyebut nama-Mu
lantang
menggemakan ketidakadilan atas umat, atas segala ketertindasan akibat penguasa
yang dianggap dzalim. Konon katanya,
nama-Mu
telah dijual, Tuhan…
untuk
memenuhi perut lapar mereka, membeli seluruh kebahagiaan dunia,
hanya
dengan mengucap nama-Mu
negeri
ini sudah diambang kekacauan, Tuhan
Nama-Mu
kini tak lagi sakral, tak lagi ada artinya.
Kisah yang Terjual
Hidupmu
sudah terlampau susah, Mak, Pak.
Jangankan
untuk makan sesuap nasi, benih padi untuk kau tanam pun sukar kau dapat.
Seketip
dua ketip kau kumpulkan untuk menghidupi anak-anakmu,
dengan
harapan kelak akan hidup enak di hari esok.
Keringat
tak mampu lagi kau peras, senja telah menghampiri dirimu.
Mestinya
kau dapat menikmati masamu, Mak, Pak
Merebahkan
tubuhmu yang lelah karena kami, anak-anakmu.
Namun
tidak, kenyataan pahit merasuki isi kepalaku yang suwung ini,
merambat
memasuki rongga telinga yang terlalu lama ku sumbat.
Kulihat
engkau mencoba untuk mengadu nasib,
di
balik layar kaca yang sedang ku tatap di tiap petang.
Matamu
berkaca-kaca, mengurai kisah pilu sepanjang masa tuamu.
Bukan,
aku bukanlah satu-satunya pendengar kisah pilu itu!
Berjuta
pasang indera telah menjadi saksi atas kisah itu!
Apalah
dayaku yang tak tahu diri ini …
membiarkan
engkau bersusah payah bertahan hidup.
Sedang
diriku, segumpal darah yang kau besarkan sejak dalam buaian,
kini
hidup bergelimang nikmat dunia.
Karenaku,
kau rela jual kisahmu.
Demi
sekantung ketip, dengan harap hidup akan terus berlanjut.
Kau
rela menguras air mata, Mak, Pak …
agar
engkau bisa membeli sekarung beras,
mengisi
perut agar masa tuamu tak berakhir.
Di
balik itu semua, Mak, Pak,
tanpa
sadarmu mereka menumpuk pundi-pundi.
Air
matamu, Mak, Pak,
telah
diubahnya jadi permata yang tak terhitung harganya.
Kisah
pahitmu, Mak, Pak,
telah
berubah rupa menjadi tambang kekayaan.
Tak
penting baginya betapa sedih kehidupanmu, Mak, Pak …
air
mata yang menetes darinya, tak ubah sebuah rasa iba sesaat.
Setelahnya,
kau tak lagi berarti, Mak, Pak …
di
matanya, kau tak lebih dari sebuah sapi perah.
Perahan
yang berubah menjadi setumpuk uang,
saat
ia jual-jual tanpa perasaan.
Ruang berdinding kuning, 14 Mei 2018.
Kehendak-Mu kah?
Aku tahu, semua ini terjadi bukanlah
keinginan
siapa pula yang menginginkan kehilangan?
Malam ini tragedi kelam terjadi, lagi
kemudian menjelma menjadi sebuah isyarat,
kepada tiap insan yang kini
medeklarasikan ketidakgentarannya pada sebuah ancaman.
Tidakkah merasa bahwa kasih sayang telah
hilang dari dasar nurani?
Sadarkah jika ego yang mengalir dalam
tubuhmu telah meluluhlantakkan segalanya?
Lihatlah! Lihat!!
Sadarlah! Cobalah renungi tiap raga yang
kini tak bernyawa itu!
Apa yang kau cari dari semua ini?!
Pantaskah jika kusebut engkau sebagai
makhluk berakal?!
Tidak! Tuhan pun mungkin lupa bila ia telah
menciptakan makhluk sepertimu.
hingga akhirnya, aku pun tak kunjung
mengerti dengan semua yang telah terjadi.
Surga manakah yang ia cari?
Surga manakah yang ia maksud?
Dalam perjalanan menuju surga-Nya pun,
menumpahkan darah menjadi jalan yang mulia.
Di malam yang mencekam ini aku mulai bertanya
kepada semesta,
saksi bisu atas tragedi hilangnya bagian
terkasih dalam hidupku, dan juga mereka.
Jika surga dan neraka tak tercipta,
akankah pertumpahan darah tetap terjadi?
Jika surga dan neraka itu tak pernah
ada, akankah meregang nyawa menjadi pilihan suci menuju kehadirat-Mu?
Andai semua itu terjadi, aku ingin surga
dan neraka tak pernah ada dalam ingatan
dan juga dalam sanubari tiap insan di
muka bumi ini, Tuhan.
Bila Engkau ingin tahu sebabnya, aku dan
segala makhluk ciptaan-Mu tak ingin saling bermandi darah
hanya karena ingin mendapat tempat
terbaik-Mu.
Denpasar, 14 Mei 2018.
Puisi ini dibuat sebagai bentuk duka atas tragedi bom
bunuh diri yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo pada tanggal 13 Mei 2018.
Semoga keluarga yang ditinggalkan bisa mengikhlaskan
kepergian orang terkasihnya. Dan pada akhirnya, untaian kata tak cukup untuk
mengobati luka yang tercipta akibat tragedi yang terjadi.
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment