Politik Digital di Tahun Politik
Wasisto Raharjo Jati
Peneliti LIPI
Berkaca
pada kasus Pilkada DKI 2017 lalu, penggunaan media sosial akan semakin menguat
dalam tahun politik ini. Terlebih lagi pada tahun 2018 ini sudah dimulai
tahapan politik untuk pemilu 2019 dan juga pemilu serentak di 171 daerah
pemilihan kabupaten / kota. Hal itulah yang akan mendorong aktivisme klik
mendapatkan momentumnya baik sebagai aktivis independen maupun aktivis
partisan. Konteks masyarakat majemuk dan
kini ditambah frekuensi tinggi terhadap internet dan media sosial membuat
primordialisme dan politik identitas menjadi tumbuh subur dalam masyarakat.
Kemajemukan mendorong masyarakat untuk melihat dan berpandangan bahwa mereka
berbeda satu sama lain. Sedangkan Internet dan media sosial mendorong publik
untuk membuka ruang privat menjadi konsumsi publik. Kondisi itulah yang membuat
potensi alienasi dan persekusi baik
secara viral maupun riil akan membuat pemilu ini bukan lagi dimaknai sebagai
ajang suksesi kekuasaan namun ajang intimidasi kekuasaan.
Kondisi
itulah yang berpotensi menimbulkan kerawanan di daerah lainnya yang masih
terbayang suasana hingar binger intoleransi dalam Pilkada DKI 2017. Asumsi yang
dibangun kemudian adalah Pilkada ini kemudian dikonstruksi sebagai perang
hidup-mati maupun perang harga diri. Media sosial telah merubah secara
paradigmatik pemilu secara mendasar bahwa pemilih maupun kandidat harus
berdasarkan pada satu identitas sama. Menguatnya populisme digital akan
identitas itu terindikasi dari maraknya warganet Indonesia yang senantiasa
gandrung akan masalah pribadi setiap orang dalam linimasa mereka. Kondisi
tersebut yang berdampak pada terbentuknya pandangan sempit yang menempatkan
perbedaan itu dalam pandangan keimanan maupun kesamaan. Hal itulah yang membuat
orang kemudian menjadi bias perspektif yang merambat kepada masalah nurani dan
moralitas. Kondisi tersebut bukan karena kesalahan media sosial, namun kita
sendiri secara psikis masih menganggap diri kita berbeda meskipun mendaku orang
yang berbhineka secara normatif. Faktor keamanan dan terancam menjadi alasan
klasik yang selalu berulang bagi masyarakat Indonesia. Pada ujungnya kita
dihadapkan pada berbagai macam kutub yang berusaha menarik kita menjadi bagian
dari salah satunya. Maka mdia sosial
kemudian menjadi arena yang dimanfaatkan untuk melampiaskan perbedaan itu
menjadi kekuatan politik.
Pilkada
serentak 2018 dan Pemilu 2019 bukan mustahil lagi dimaknai sebagai pelampiasan
rasa terancam dan juga menguatnya keamanan diri maupun kelompok. Oleh karena
itulah media sosial kemudian dimaknai sebagai alat tepat untuk menghimpun dan
memupuk kebencian menjadi faktor pendukung. Dalam berbagai tempat di Indonesia,
Pilkada serentak 2018 ini adalah hasil kloning tidak sempurna dari Pilkada DKI
2017 dimana perayaan keakuan dirayakan secara viral dan riil. Berbeda halnya
dengan warganet Jakarta yang terbelah karena media sosial selama Pilkada DKI
2017 lalu, para warganet daerah justru berupaya membangkitkan kembali
chauvinisme dan lokalitas sebagai perbincangan politik. Hal tersebut mencegah
adanya generalisasi kekuatan politik Jakarta merembet kepada daerah.. Perasaan
trauma dan cemas menjadi dasar bagi warganet daerah berupaya menguatkan diri
unsur sentimen kedaerahan guna membendung aksi intoleransi itu masuk. Namun
ironisnya justru hal itu mereduksi kebhinekaan yang menjadi dasar masyarakat
Indonesia
Langkah
Bawaslu untuk menangkal potensi SARA di media sosial melalui tiga cara yakni 1)
bekerjasama dengan Kominfo untuk sanksi, 2) membuat nota kesepahaman dengan
platform media sosial seperti Facebook dan Twitter, dan 3) bekerja sama dengan
Divis Cyber Crime Polri sebenarnya sudah bagus. Namun kita perlu melihat pula
bahwa kecenderungan warganet Indonesia jika semakin ditekan penguasa, maka akan
semakin radikal pula pergerakannya di dunia maya maupun dunia nyata. Kondisi
tersebut mirip sebenarnya dengan kegagalan rezim sensor di negara-negara Arab
yang justru melahirkan adanya revolusi. Mereka bekerjasama dengan penyedia
internet luar negeri atau proxy yang
memudahkan untuk berkoneksi dan melanjutkan aksi. Hal sama bisa jadi akan
seperti itu dalam tahun politik ini, dimana polarisasi warganet yang sudah
terbentuk paska 2014 akan saling sikut menyikut mengusung agenda kepentingan
politik masing-masing. Pemilu adalah ajang eksistensi dan mencari sensasi bagi
para warganet Indonesia dengan serangkaian aktivisme yang mereka lakukan.
Sangatlah
ironis apabila politik digital dalam pemilu serentak 2018 dan nanti pemilu 2019
mendatang hanya dipenuhi dengan aksi mencari sensasi dan eksistensi. Sebenarnya
ada banyak hal lain yang bisa disampaikan melalui aktivisme politik digital di
media sosial seperti halnya ajakan tidak menjadi golongan putih, tolak politik
uang, maupun pilih kandidat yang bersih yang harusnya menjadi semangat yang
perlu dikedepankan dalam politik digital bagi warganet Indonesia. Secara terus
terang saja, warganet awam itu juga akan menjadi bosan dan kerdil dengan setiap
kali hujat menghujat dalam konteks pemilu terulang kembali. Masalah keimanan
dan kesamaan tidak lagi menjadi indikator penting dalam perbincangan warganet
2018 karena itu hanyalah masalah bersifat kosmetik yang nanti juga akan pudar
karna politik.
*****
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment