[pic: britannica.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha…”
(Q.S Al-Isra: 1)
Pendahuluan: Israj Miraj
sebagai Peristiwa Agung bagi Umat Islam
Pada malam 27 Rajab yang penuh berkah, Jibril
bersama Buraq[1] datang
menghampiri Nabi Muhammad s.a.w yang tengah tertidur di antara Hamzah,
pamannya, serta Jafar ibn Abu Thalib, sepupunya.[2]
Segera setelahnya, Jibril membuka atap rumah tanpa menjatuhkan debu, batu, atau benda-benda lainnya. Dibangunkannya Nabi
Muhammad s.a.w, dan dimulailah peristiwa paling agung dalam sejarah umat Islam seantaro dunia: Israj
Miraj, Nabi Muhammad s.a.w naik ke langit tertinggi untuk bertemu dengan
Allah s.w.t. Bersamaan dengannya, turun perintah dari Allah s.w.t pada seluruh
umat Islam untuk menunaikan kewajiban ibadah shalat lima waktu dalam sehari (Darul-Fatwa,
2011).
Kini, lebih dari seribu tahun sudah peristiwa
agung Israj Miraj terjadi, seiring berjalannya waktu, penafsiran atasnya pun menjadi
demikian beragam. Beberapa di antara umat terjebak pada pembicaraan yang kurang
bermanfaat, layaknya teka-teki ihwal ruh ataukah jasad-hidup Nabi Muhammad
s.a.w yang naik ke langit tertinggi. Namun demikian, tak sedikit pula dari umat
yang berupaya mengontekstualisasikannya dalam ranah kontemporer dan
menjadikannya berdayaguna baik secara spiritual maupun sosial. Satu dari sekian
banyak upaya tersebut hadir melalui studi “ilmu sosial profetik” yang terus
menunjukkan perkembangannya hingga saat ini.
Sekilas mengenai Ilmu
Sosial Profetik
Terminus profetik
yang melekat pada istilah “ilmu sosial profetik” berasal dari bahasa Inggris, prophet ‘nabi’. Artinya, ilmu sosial
profetik adalah ilmu yang membawa misi-misi kenabian, yakni pembebasan manusia dari
berbagai hal yang menindasnya (Kuntowijoyo, 2006: 15). Namun demikian, perlu
dicatat bahwa istilah profetik tak ajeg
diidentikkan dengan hal-hal yang berbau transendental (ketuhanan)—terlebih
Islam. Faktual, Robert W. Friedrichs
(dalam Poloma, 2009: 13-14)
turut menggunakan istilah tersebut guna menandai berbagai tokoh filsafat Barat
yang beragam pemikirannya dikembangkan berikut mengalami percabangan sedemikian
luas pada generasi-generasi setelahnya. Beberapa di antara filsuf Barat yang
kiranya dapat terklasifikasi di dalamnya seperti; Auguste Comte, Nietzsche, Karl
Marx serta Sigmund Freud.
Dalam tradisi keilmuan Islam sendiri, istilah ilmu
sosial profetik untuk pertama kalinya digunakan oleh Muhammad Iqbal dalam Membangun Kembali Pemikiran Islam, serta
Roger Garaudy[3] melalui Filsafat Profetik usungannya. Dalam
eksemplarnya, Iqbal (dalam Kuntowijoyo, 2006: 97) memulai titik tolak
penjelasannya mengenai ilmu sosial profetik melalui persitiwa Israj Miraj yang
dialami Nabi Muhammad s.a.w. Menurutnya, peristiwa tersebut menunjukkan eksistensi
dimensi pembebasan dalam Islam. Mengapa?
Hal tersebut mengingat, pasca Nabi Muhammad s.a.w naik ke langit tertinggi dan
bertemu Allah s.w.t, beliau kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas
kerasulannya. Beliau sama sekali tak tergoda dengan pengalaman maha mistik di
atas sebagaimana didambakan oleh para sufi.[4]
Di sisi lain, melalui filsafat profetik usungannya,
Garaudy (dalam Kuntowijoyo, 2006: 98) menegaskan bahwa filsafat Barat sesungguhnya
telah membunuh Tuhan dan manusia. Anggapan pertama—membunuh Tuhan—kiranya dapat
kita tinjau kembali dalam buah karya Nietzsche, Thus Spoke of Zarathustra, di mana di dalamnya ia berkata secara
tegas, “Allah telah mati!”. Melalui
ucapannya, Nietzsche hendak menjelaskan bahwa apabila sebelum abad ke-15
berbagai pembicaraan (studi, diskusi atau debat publik) kental dengan nuansa teosentris
(ketuhanan), maka setelahnya sama sekali tergantikan oleh pembicaraan mengenai
manusia (antroposentris). Hal tersebut disebabkan oleh mulai beralihnya manusia
pada ilmu pengetahuan dan teknologi, bukannya Tuhan lagi (Deleuze, 2002:
214-220).[5]
Namun demikian, pasca manusia meninggalkan
Tuhan, faktual ia—manusia—justru menemui kehancurannya. Hal terkait sebagaimana
diungkapkan pemikir sosial kenamaan Inggris, Anthony Giddens (2009: 183-184,
201), bahwa saat ini kita hidup dalam runaway
world ‘dunia yang berlari kencang’. Apa yang dimaksudkannya adalah, dewasa
ini manusia sekedar memenuhi hasrat libidinal-nya tanpa memperhatikan berbagai batasan yang
ada, baik batasan (nilai) sosial, moral, bahkan ketuhanan. Sebagai misal,
kemajuan pesat teknologi persenjataan tanpa dibarengi muatan nilai sosial dan moral
di dalamnya hanya akan menjadikannya sebagai mesin pembunuh massal bagi sesama umat
manusia. Begitu pula, kemajuan pesat teknologi informasi yang tak dilandaskan pada
nilai-nilai ketuhanan hanya akan menimbulkan beragam penyimpangan; penyebarluasan
pornografi, prostitusi terselubung, fitnah, tindak penipuan dan lain sejenisnya.
Pun, muncul dan menyeruanya fenomena global warming dewasa ini turut
disebabkan oleh tak terkontrolnya hasrat libidinal manusia—overproduksi
industri komoditas konsumtif. Guna mengatasi berbagai persoalan di atas, yakni kehancuran
manusia akibat telah membunuh (baca: meninggalkan) Tuhan, Roger Garaudy mengemukakan
pentingnya umat manusia—terutama kaum intelektual—untuk kembali pada wahyu
Allah (Islam). Dalam filsafat profetik usungannya, Garaudy berupaya menjawab
pertanyaan, “Bagaimana wahyu (Islam) itu
dimungkinkan?”, sebagai negasi atas landas-dasar pertanyaan dalam filsafat
Barat berupa, “Bagaimana pengetahuan itu
dimungkinkan?”. Kenyataannya, Giddens (2009: 201) pun turut menggugat
proyek pencerahan Barat yang menjanjikan kepastian berikut kebaikan hidup bagi
seluruh umat manusia, namun justru berimplikasi sebaliknya: umat manusia menuju
pada kehancurannya.
Islamisasi Pengetahuan
sebagai Manifestasi Nilai-nilai Israj Miraj dalam Ranah Akademik
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, faktual penelaahan
seksama atas peristiwa Israj Miraj melalui perspektif ilmu sosial profetik memuat
nilai-nilai pembebasan di dalamnya. Terkait dengan ranah akademik, tak dapat
dipungkiri bahwa saat ini berbagai perguruan tinggi di tanah air—bahkan
berbagai negeri muslim lainnya—terhagemoni oleh konstruksi keilmuan Barat.[6]
Keberadaan ilmu-ilmu eksakta Barat layaknya matematika, fisika, astronomi atau
kimia kiranya tak menjadi soal bagi umat Islam, bahkan berbagai disiplin tersebut
berpotensi untuk membuktikan kebenaran hukum-hukum Allah sebagaimana termaktub
dalam kitab suci.[7] Namun,
persoalan menjadi jauh berbeda manakala kita dihadapkan pada berbagai konstruksi
keilmuan sosial-humaniora ala Barat.
Disadari atau tidak, berbagai pemikiran yang
terdapat di dalamnya berpotensi besar mengancam akidah umat (para pelajar
muslim). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut: Pertama, lahirnya konstruksi keilmuan
sosial-humaniora Barat dilatarbelakangi oleh peristiwa renaissance ‘Pencerahan Eropa’ yang beresensikan pada
“semangat anti-Tuhan”—tergantikannya Tuhan oleh rasio atau akal-budi manusia
(ilmu pengetahuan); Kedua, konstruksi
keilmuan tersebut selalu menekankan pada dimensi rasio serta empiris
(pengalaman terindera manusia). Dimensi terakhir, empiris, berimplikasi pada
dinafikkannya hal-hal berbau “gaib” layaknya Tuhan, malaikat, iblis, atau Hari Pembalasan.
Ketiga, landas-dasar keilmuan
sosial-humaniora Barat berpijak pada epistemologi[8]
suspicious ‘prasangka’ (Romein, 1956:
67-73). Artinya, segala sesuatu yang tak memenuhi kedua prinsip di atas (rasio
dan empiris), sarat disingkirkan jauh-jauh. Di samping bakal melahirkan pola
pikir yang selalu su’udzon ‘berburuk
sangka’, dimensi suspicious keilmuan
sosial-humaniora Barat dapat berimplikasi pada hadirnya bentuk-bentuk pemikiran
“skeptis-radikal” serta nihilisme.[9]
Karl Marx, salah seorang pemikir
sosial-humaniora Barat yang lahir melalui rahim renaissance, mengatakan perihal agama sebagai candu masyarakat—the opium of society. Menurutnya, agama sekadar
menghadirkan kesadaran (baca: ketenangan) palsu bagi kelas tertindas dan melemahkan
pergerakan mereka untuk melepaskan diri dari ketertindasannya. Setidaknya,
terdapat tiga esensi utama dari pemikiran Marx (marxisme) yang cukup kontroversial, antara lain; anti-Kapitalisme, revolusi
sosial melalui pertumpahan darah, serta penciptaan tata kehidupan masyarakat
yang sama rasa dan sama rata (Smith & Raeper, 2004: 117-118).
Sekelumit contoh pemikiran Marx di atas kiranya menunjukkan
ancaman nyata terhadap konsistensi iman berikut akidah para pelajar muslim
kita. Pertanyaan yang hadir kemudian adalah, apa yang dapat dilakukan guna
menangkal efek negatif berbagai pemikiran tersebut? Agaknya, solusi guna
menjawab pertanyaan tersebut telah dikemukakan oleh Ismail Raji Al-Faruqi pada
awal dekade 1980-an melalui konsep “Islamisasi pengetahuan” yang ditawarkannya (Kuntowijoyo,
2006: 7).
Menyadari besarnya potensi pemikiran ilmu
sosial-humaniora Barat yang dapat mendistorsi akidah umat Islam, Al-Faruqi
menekankan pentingnya “penyaringan” berbagai ilmu tersebut sebelum “dikonsumsi”
oleh umat Islam. Dalam hal ini, konsep Islamisasi pengetahuan Al-Faruqi
bergerak sedari ranah konteks pada teks. Artinya, berbagai ilmu di luar
Islam yang ditemui di lapangan (konteks), sarat disesuaikan dengan nilai-nilai
Islam (teks). Penyesuaian tersebut dapat berupa rekonstruksi atau pemaknaan kembali
secara Islami. Berikut adalah bagan pemetaan konsep terkait (Kuntowijoyo, 2006:
53-54).
Agama à Teo-Antroposentrisme à Dediferensiasi à Ilmu Integralistik
(Profetik)
Tahapan “agama” ditandai dengan keyakinan bahwa
wahyu Allah merupakan mabda ‘jalan
hidup’, yang dengan demikian melingkupi seluruh sendi kehidupan manusia. “Teo-Antroposentrisme”
menyiratkan bertemunya wahyu Allah dengan pemikiran manusia sehingga antara
yang satu dengan yang lainnya tak saling mengenyahkan. Tahapan selanjutnya,
“dediferensiasi”, menunjuk pada terwujudnya keharmonisan tahapan
Teo-Antroposentrisme di mana ditemui kesesuaian antara wahyu Allah dengan
pemikiran manusia. Sebagai misal, apabila Allah mewahyukan peristiwa siang dan
malam sebagai sesuatu yang saling berpasangan, maka begitu pula dengan
manusia—tak menganggapnya sebagai sesuatu yang saling bertentangan. Pada
akhirnya, terpenuhinya serangkaian tahapan di atas akan melahirkan “ilmu
integralistik” atau ilmu profetik yang bernuansakan pembebasan. Dalam ilmu integralistik/profetik,
berbagai pemikiran manusia takkan dikerdilkan Tuhan, begitu pula sebaliknya, pemikiran
manusia pun takkan mengerdilkan Tuhan—layaknya sekularisme.[10]
Adapun contoh konkret dari aktualisasi konsep
Islamisasi pengetahuan di atas kiranya telah ditunjukkan oleh Ali Syariati, seorang
pemikir sosial asal Iran. Dalam eksemplarnya, Sosiologi Islam, Syariati mencurigai berbagai sendi utama pemikiran
Marx yang dinilainya mirip dengan Al-Quran, bahkan Syariati menyatakan secara
tegas bahwa Marx telah mencuri ide-ide Islam. Sebagai misal, pemikiran
anti-Kapitalisme Marx sesuai dengan bunyi Q.S Al-Baqarah: 275 tentang larangan
Islam untuk mengambil riba secara berlebihan. Selanjutnya, hasutan Marx pada
kaum tertindas untuk menyusun pergerakan dan melakukan revolusi tak jauh
berbeda halnya dengan konsep jihad
dalam Islam. Terakhir, konsep sama rasa-sama rata usungan Marx, menurut
Syariati, sesungguhnya merupakan manifestasi dari konsep infaq/sedekah berikut
zakat dalam Islam (Bayat, 1990: 22).
Tak pelak, pasca berbagai pemikiran Marx di atas
mengalami rekonstruksi berikut pemaknaan kembali oleh Ali Syariati, maka
ia—marxisme—tak lagi mengancam dan berbahaya bagi akidah umat. Melalui
Islamisasi pengetahuan, Syariati mampu mengeleminasi kentalnya muatan matrealisme
dalam marxisme, ia berhasil membalikkan berbagai esensi pemikiran Marx pada nilai-nilai
transendensi. Secara tak langsung, Syariati turut menunjukkan pada kita bahwa
untuk menjadi pembela hak-hak kaum tertindas, seorang muslim tidaklah perlu
menjadi seorang marxis mengingat turut ditemuinya dimensi pembebasan dalam
Islam. Dalam hal ini, pemikiran Marx sekedar ditempatkan sebagai pengurai penjelasan
ihwal cara kerja kapitalisme yang demikian eksploitatif, dan penjelasan
tersebut dapat dipastikan bersifat obyektif mengingat berada pada tataran
operasional.[11]
Kesimpulan & Penutup
Melalui berbagai uraian singkat di atas, dapatlah
ditilik secara eksplisit bahwa ilmu sosial profetik berikut Islamisasi
pengetahuan sebagai salah satu varian yang terdapat di dalamnya sejalan dengan
nilai-nilai pembebasan yang termuat dalam peristiwa Israj Miraj Nabi Muhammad
s.a.w. Secara tak langsung, hal tersebut turut menunjukkan implementasi dari
nilai-nilai Israj Miraj dalam ranah akademik, yakni pembebasan ilmu
sosial-humaniora Barat dari belenggu rasionalisme dan matrealisme yang demikian
mengerdilkan nilai-nilai ketuhanan. Kiranya, upaya yang dapat kita lakukan guna
menjaga konsistensi implementasi nilai-nilai Israj Miraj dalam ranah akademik adalah
dengan turut aktif berpartisipasi mengembangkan berbagai studi profetik Islam,
berikut menggalakkan konsep Islamisasi pengetahuan di segala bidang keilmuan.
*****
Referensi:
Buku;
Deleuze, Gilles, 2002, Filsafat Nietzsche, Ikon.
Giddens, Anthony, 2009, Konsekuensi-konsekuensi Modernitas,
Kreasi Wacana.
Kuntowijoyo, 2006, Islam sebagai Ilmu, Tiara Wacana.
Poloma, Margaret M, 2009, A Sociological Study of the Great
Commandment in the Pentecostalism: The Practice of Godly Love as Benevolent
Service, Edwin Mellen Press.
Romein, J. M., 1956, Aera Eropa, GANACO N.V
Smith, Linda & William
Raeper, 2004, Ide-ide Filsafat dan Agama:
Dulu dan Sekarang, Kanisius.
Jurnal;
Bayat, Assef, 1990, Shariati
and Marx: A Critique of an “Islamic” Critique of Marxism, Alif: Journal of Comparative Poetics, (10), 1990, pp. 19-41.
Internet;
Darul-Fatwa, 2011, Al Isra wal Miraj, http://darulfatwa.org.au/languages/Indonesian/Al-Isra_wal_Mi%5Eraj.pdf (18/06/2012).
[1] Sejenis hewan
surga yang ukurannya lebih besar ketimbang keledai namun lebih kecil daripada
kuda. Ia mampu melompat sejauh matanya memandang.
[2] Saat itu Nabi
Muhammad s.a.w tengah berada di rumah putri Abu Thalib, Ummu Hani binti Abu
Thalib.
[3] Filsuf Perancis
yang menjadi muallaf.
[4] Dengan kata
lain, Nabi Muhammad s.a.w tak lantas memilih untuk tinggal di langit dan enggan
kembali ke dunia.
[5] Hal terkait tak
lepas dari traumatik masyarakat Barat atas kanonisasi lembaga gereja di Abad
Pertengahan yang demikian menindas rakyat sehingga memunculkan peristiwa renaissance pada abad 15-18. Peristiwa
tersebut berekses pada lahirnya sekularisme, yakni paham yang berupaya
memisahkan antara kehidupan agama dengan pemerintahan. Sekularisme menandai
mulai ditariknya agama sedari ranah publik pada ranah
privat.
[6] Berbagai
perguruan tinggi Islam pun tak luput dari infiltrasi epistemologi keilmuan
Barat, hal tersebut tampak melalui hadirnya arus pemikiran “Islam liberal”.
[7] Sebagai misal
demonstrasi yang dilakukan Harun Yahya dalam setiap karyanya.
[8] Secara sederhana
dapat didefinisikan sebagai “kerangka berpikir”.
[9] Skeptis-radikal
adalah pola pikir yang selalu meragukan segala sesuatu, para “skeptisis
radikal” adalah sebutan bagi mereka yang memiliki keraguan akut. Pada akhirnya,
pola pikir yang demikian dapat menghantarkan pada nihilisme atau
ketidakbermaknaan hidup. Nietzsche misalkan, akibat pola pikir skeptis-radikal
yang selalu diusungnya, filsuf kenamaan Jerman tersebut sarat menghabiskan sisa
hidupnya dengan kegilaan medis.
[10] Ilmu-ilmu
sekular mensaratkan seseorang berdiri di atas garis tegas yang saling memisahkan
antara satu sama lain: menjadi pengikut Tuhan, atau tidak sama sekali. Tak
pelak, karakteristik ilmu yang demikian sangatlah membatasi aktualisasi mental berikut
kognitif manusia.
[11] Cara kerja
kapitalisme berupa alienasi nilai guna, nilai lebih, manipulasi nilai benda dan
lain sebagainya, merupakan perihal yang dapat ditinjau dan dibuktikan bersama.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment