Ibu
Angga
Wijaya
co-Pegiat Sanglah Institute
Suara gamelan lamat-lamat terdengar dari
komputernya. Lelaki muda itu memejamkan mata, perasaannya bergetar. Dia rindu
pada kampung halaman yang jarang dia singgahi. Wajah ibunya membayang di
pelupuk mata. Juga keluarga besar yang kerap berkumpul saat odalan atau hari
raya. Sudah lama dia tak pernah ke pura. Pakaian sembahyang tersimpan rapi di
lemari dan warnanya mulai pudar. Entah kapan terakhir memakainya dia sudah
lupa. Perasaan bersalah memenuhi benaknya, dia merasa telah jauh dengan
asal-usulnya. Wajah kota besar merubah dirinya sedemikian rupa. Buku-buku yang
dia baca membuatnya cenderung skeptis dan jumawa, meragukan Tuhan yang
dianggapnya hanya dongeng masa lalu.
Pagi ini lelaki muda itu bangun lebih
awal dan mengenakan pakaian kesukaannya. Dia bergegas berjalan keluar dari
rumah kontrakannya menuju jalan besar dan menyetop bus menuju kampung halaman.
Di bus dia termenung, memikirkan jawaban jika ada yang bertanya mengapa dia
jarang pulang. Dia akan menjawab bahwa dia sibuk dengan pekerjaanya di kantor.
Dia yakin kepulangannya kali ini tidak ditanyai ini-itu. Kehadirannya setelah
beberapa tahun tak pulang sudah cukup membahagiakan ibu dan keluarga.
Di
merajan rumahnya, lelaki itu tenggelam dalam sembahyang. Dia terisak,
meminta maaf pada leluhur dan bhatara.
Dia berjanji akan sering menengok ibunya yang kian renta dan sakit-sakitan. Kakak
perempuannya berkata ibu menunjukkan tanda-tanda depresi, setelah ditinggal
mati ayah, dia kesepian dan merasa tak ada yang memedulikannya. Ibu tinggal
dengan kakak ipar, janda dari kakak tertua di keluarga kami yang meninggal enam
tahun lalu. Pada sore hari sehabis hujan, ibu mendekatinya dan mengajak
berbincang.
“Kamu tinggal dengan ibu saja di
kampung, nanti di sini kamu membuka usaha, berjualan entah apa, biarpun
penghasilan tak sebesar gaji yang kamu dapatkan di kota, setidaknya ibu tak
lagi merasa kesepian, ada yang ibu ajak berbagi,” katanya dengan wajah sedih.
“Tapi bagaimana Bu, posisiku di kantor
sudah bagus dan itu aku dapatkan dengan perjuangan yang tak mudah dan sebentar.
Aku juga kini sudah punya kekasih di kota lain,walau saat ini kami berpacaran
jarak jauh,” lelaki muda itu berkata kepada ibunya.”
Ibu diam. Ia tak melanjutkan
perbincangan. Dari wajahnya lelaki muda itu tahu ibu sangat sedih mendengar
kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ibu pasti mengira anaknya egois, tak mau
memperhatikan ibu kandungnya sendiri. Di masa tua ia tak bahagia, sangat
kesepian, anak-anaknya seperti menjauh entah karena apa. Mungkin karena ibu
kurang bijaksana, suka mengadu domba anak-anaknya. Di depan anak satu
membicarakan anak lain, dan di depan anak lain membicarakan anak terdahulu.
Beberapa hari berada di rumah lelaki
muda itu merasa pusing, pikirannya penuh. Mungkin benar kata kakaknya, ibu
mengalami depresi dan yang dia lihat sendiri kesehatan mental ibu memang
terganggu. Tak ada yang tahan lama-lama mengobrol dengannya. Mulutnya seperti
berbisa, ada saja orang yang dibicarakannya, tentang tetangga yang kini menjadi
kaya: anaknya menjadi TKW dan mengirim uang banyak setiap bulan.
Lelaki muda itu dan kakak-kakaknya
bukannya tak memperhatikan ibu mereka. Setiap bulan mereka memberikan ibu uang.
Bagi yang punya uang lebih mengirim lebih banyak, tergantung kemampuan.
Termasuk lelaki muda itu, setiap bulan memberi uang pada ibunya walau tak
banyak. Namun ibu tak pernah merasa cukup dengan pemberian anak-anaknya. Selalu
merasa kurang. Bahkan dari penuturan kakak ipar ibu sering meminjam uang di
koperasi, dibayar setiap hari dengan
jumlah sesuai kesepakatan. Entah untuk apa dan kemana uang yang diberikan
anak-anaknya. Lelaki muda itu merasa heran, kebutuhan ibu tak sebanyak itu,dia
hidup sendiri, untuk makan sehari-hari dan membayar tagihan listrik dan air
setiap bulan ia rasa uang yang diberikan anak-anaknya sudah cukup. Ia curiga
ibu menyimpan sebuah rahasia. Ia ingin mencari tahu.
Dari seorang bibi jauhnya yang tak
sengaja bertemu dengannya saat berbelanja, dia kemudian mengetahui banyak hal
tentang ibunya. Dulu, sebelum mengenal ayahnya ibu pernah menjalin hubungan
dengan seorang lelaki. Mereka menjalin hubungan cukup lama, namun karena
berbeda kasta, orangtua ibu itu tak menyetujui hubungan mereka. Ibu mundur, dan
berjumpa dengan ayah yang satu kasta dan
mereka berpacaran. Pacaran yang singkat, hanya beberapa bulan kemudian
mereka menikah. Konon ibu hamil duluan sehingga mau tak mau ayah mesti
menikahinya. Setelah menikah dengan ayah, ibu ternyata masih sering
berkomunikasi dengan mantan pacarnya. Ayah mengetahui itu namun ia diam, tak
mau ribut atau harus bercerai dengan ibu. Ayah sangat mencintai ibu, walau
ternyata kelakuannya tak baik. Ibu sangat perhatian pada ayah dan mencintai
anak-anaknya. Tak ada yang janggal terlihat, banyak keluarga lain dan tetangga
yang memuji kebersamaan ayah dan ibu, hingga tua terlihat mesra dan romantis.
Namun di balik itu ada sesuatu, dan
hanya ayah dan ibu yang tahu. Hingga menjelang ayah meninggal karena kanker
hati, ibu ternyata masih melakukan komunikasi dengan lelaki itu. Berarti selama
puluhan tahun mereka tetap menjalin hubungan, walau masing-masing telah
mempunyai keluarga. Rahasia yang dipegang erat, seerat genggaman tangan kekasih
di malam yang dingin. Kini dia tahu, mengapa uang yang diberikan anak-anak ibu
tak pernah cukup. Ibu ternyata memberikan sebagian uangnya pada lelaki itu,
Membiayai kebutuhan sehari-harinya seperti beras dan rokok. Pekerjaan lelaki
itu tak jelas, orang mengenalnya sebagai seniman. Kenyataan yang menyakitkan! Kematian lelaki itu setahun
lalu menyebabkan ibu dirundung kesedihan mendalam. Bukan hanya karena kematian
ayah namun juga oleh kematian lelaki itu yang mungkin lebih dicintainya
ketimbang ayah.
Lelaki muda itu syok mendengar penuturan
bibinya. Tenggorokannya tercekat. Peluh membasahi tubuhnya. Ia marah mengetahui
kelakuan ibunya. Ia tak habis pikir apa yang menyebabkan ibu melakukan itu
semua. Ingin sekali ia menanyakan hal tersebut pada ibu, namun mengingat
kondisi mentalnya yang labil ia takut ibu menjadi marah dan lepas kendali, yang
berpengaruh pada kesehatan fisiknya yang digerogoti berbagai penyakit.
Ia memilih pulang ke kota. Sore hari
setelah makan bersama ibu ia menyampaikan bahwa ia harus balik ke kota. Ibu
diam dan tak bicara sepatah kata pun. Mungkin dia masih marah karena
permintaaannya agar anaknya tinggal dengannya tidak dituruti. Lelaki itu itu
mencium kening ibunya dan bergegas pergi. Hatinya berkecamuk antara rasa sayang
dan benci. Sayang karena ibu kini sendiri dan kesepian di usianya yang makin
tua. Benci karena kini ia tahu kelakuan ibu selama ini, mengkhianati cinta
ayahnya dan mencintai laki-laki lain. Tiba-tiba ia merasa muak dengan ibunya.
Malam ini ia tak bisa tidur nyenyak, bayangan ibunya saat di pelukan mantan
pacarnya menyeruak di batinnya. Ingin sekali ia memaki ibunya namun tak bisa.
Beberapa hari setelah pulang dari
kampung halaman lelaki muda itu mendapat kabar dari kakak iparnya bahwa ibu
sakit dan dirawat di rumah sakit dan ia disuruh segera pulang. Ada apa ini, ia
membatin. Setelah meminta izin di kantornya keesokan paginya ia pulang ke
kampung, kota kecil di ujung barat pulau. Sesampainya di rumah ia mendapati
banyak orang berkumpul dengan menggunakan pakaian adat, seperti menyiapkan
sebuah upacara. Didapatinya kakak-kakaknya berkerumun di depan jenasah, jenasah
ibunya. Ibu telah meninggal. Bunuh diri. Mayatnya ditemukan tergantung di
kamarnya. Lelaki muda itu tak menangis, ia hanya memeluk kakak perempuannya
yang terlihat sangat terpukul melihat ibu terbujur kaku, mati tak wajar. ***
Denpasar,
Maret 2018
______
Cerpen ini pernah dimuat di Denpasar
Post (01/04/18) dengan judul Gamelan.
Angga Wijaya
Bernama
lengkap I Ketut Angga Wijaya. Lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar
menulis puisi sejak bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq
da Kansas. Puisi-puisinya pernah dimuat di Warta Bali, Jembrana Post,
Independent News, Riau Pos, Bali Post, Jogja Review, Serambi Indonesia,
tatkala.co, balebengong.id, qureta.com dan Antologi Puisi Dian Sastro for President! End of Trilogy (INSIST Press, 2005)
serta Mengunyah Geram (Seratus Puisi
Melawan Korupsi) yang diterbitkan oleh Yayasan Manikaya Kauci, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jatijagat Kampung Puisi (2017). Buku kumpulan
puisinya berjudul “Catatan Pulang” diluncurkan pada Januari 2018 lalu. Selain
menulis puisi ia kini juga menulis esai dan cerpen. Bekerja sebagai wartawan lepas
di Denpasar.
Tags:
Angga Wijaya
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment