Dekonstruksi dan
Metafisika Kehadiran DERRIDA
I Gusti Agung Ayu
Brenda Yanti
co-Pegiat
Sanglah Institute
Editor: Wahyu Budi Nugroho
Dekonstruksi
Dekonstruksi merupakan
salah satu paradigma yang muncul pada masa pos-Strukturalis
sebagai kritik terhadap teori-teori strukturalisme yang dianggap terlalu kaku
karena terlalu terpaku pada
struktur dan sistem tertentu. Secara harfiah, dekonstruksi berarti penataan ulang dengan
cara menghancurkan dan
menyusun kembali dengan
cara yang berbeda. Salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah dekonstruksi ini
adalah Jacques Derrida. Memahami
dekonstruksi ala Derrida sangat tidak mungkin dilakukan hanya dengan membaca
pengantar singkat atau rangkuman-rangkuman pemikirannya. Salah satu hal yang
membuat karya Derrida ini sulit dicerna karena pembaca akan diajak untuk
mempertanyakan segala hal yang selama ini telah diterima begitu saja. Hal ini
sendiri telah diamini oleh Derrida saat diwawancarai oleh salah satu wartawan
untuk mendefinisikan dekonstruksi secara singkat (in a nutshell), dan ia mengaku tidak bisa melakukannya. Hal
tersebutlah yang akhirnya membuat salah satu buku pengantar berjudul Deconstruction in a Nutshell karya Caputo (1997)
menjadi begitu terkenal (Zehfuss, 2009:185).
Metode dekontruksi
Derrida muncul sebagai upaya pengamatan makna teks dari sisi pinggir,
sebagaimana sifat teks dan bahasa yang mengambang atau arbiter. Dalam proses
pembacaannya, Derrida melakukan pembacaan ulang, jadi bukan hanya untuk
memaparkan apa saja yang dimaksudkan penulis, tetapi juga menciptakan makna
baru. Hal ini dilakukan dengan cara meniadakan tafsir dominan yang telah
disetujui bersama, dan membuat
tafsir-tafsirnya sendiri. Derrida berusaha
mengubah makna dari suatu teks untuk dapat memiliki makna baru (transformation), jadi pembaca tidak hanya
terpaku pada makna awal yang diberikan oleh penulis (description), gabungan
keduanya inilah yang menjadi dekonstruksi. Meski demikian, Derrida tidak
pernah secara gamblang memberikan definisi dari konsep dekonstruksi itu
sendiri. Di sini
pembaca dibiarkan merumuskan makna dari teks. Maka dari itu dapat dikatakan
hakekat dari dekonstruksi bersifat plural, dan tidak satu pun makna utuh yang dapat menjelaskan makna
terdalam dari dekontruksi (Wattimena, 2009).
Dekonstruksi selalu dikaitkan
dengan bahasa dan teks. Namun teks atau bahasa itu sendiri tidak selalu soal tulisan,
tetapi juga kenyataan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Derrida bahwa tidak
ada yang nyata di luar
bahasa. Kenyataan terdiri dari berbagai “teks” dengan kebenaran yang plural
(Puja, 2011). Hal ini sejalan dengan pernyataan Levi Straus yang menganggap
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam arti diakronis, yakni bahasa
mendahului kebudayaan, karena melalui bahasa manusia menciptakan dan
mempelajari budaya. Oleh karena itu, baik budaya, sejarah, atau serangkaian
kebenaran yang selama ini diterima sebagai bagian dari realitas hanyalah teks dan tidak ada kebenaran universal.
Bahasa dan simbol digunakan manusia untuk memahami kenyataan. Namun karena
ketidakpastian bahasa dan simbol inilah maka kenyataan berubah-ubah pula dan tidak pasti.
Metafisika Kehadiran
Derrida menolak dikotomi
konseptual antara “kehadiran” (presence)
dan “absensi” (absence). Ini berarti, kehadiran suatu subjek terjadi karena
ketiadaan subjek lainnya. Dengan menolak dikotomi tersebut berarti memberikan
peluang masuknya subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis
oleh filsafat Barat. Adanya tatanan hierarki dalam sebuah dikotomi membuat
seakan-akan istilah kedua atau absesnce
menajdi negatif, korup, dan menjadi
versi yang tidak diinginkan. Derrida meneliti ini dalam hubungannya dengan
konseptualisasi “berbicara” lebih unggul daripada “menulis”. Derrida mengklaim,
“berbicara” dipandang sebagai sesuatu yang autentik dan primer, sedangkan
“menulis” dilihat sebagai yang sekunder dan sudah terbiaskan. Hal ini bukan hanya membingungkan para filsuf, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari orang
kerap merasa sulit mengetahui apa yang sebenarnya
tersirat
dari sebuah pesan tertulis. Mengungkapkan-nya
secara lisan dainggap sebagai cara yang lebih baik untuk berkomunikasi guna menghindari ketidakpastian
pesan yang didapat melalui tulisan saja. Berbicara menuntut kehadiran kedua
belah pihak atau minimal melalui perantara alat komunikasi lisan, kehadiran
bersama inilah yang dianggap dapat memastikan bahwa keduanya dapat menangkap
arti dari komunikasi mereka. Derrida menyebut ini sebagai logocentrism (logosentrisme), yakni di mana kehadiran sangat penting adanya.
Selama ini, pikiran orang-orang
didasarkan pada nilai “kehadiran”, adanya penunjukkan, pengungkapan, dan penjelasan. Hal ini
didasarkan pada fondasi, asal-usul, atau semacam “kehadiran” pada akar dari
sejumlah hal. Derrida (dalam Zehfuss, 2009:185-187) menyebut
ini sebagai “metafisika kehadiran”.
Derrida menjadi seorang
anti-Logosentrisme karena menganggap
logosentrisme sendiri salah kaprah. Logosentrisme menekankan kepastian
keberadaan dari simbol dan bahasa yang selama ini digunakan di alam berpikir.
Dari sudut pandang logosentrisme, memahami dunia dapat dilakukan melalui simbol
dan kata, di mana semua itu
dianggap mewakili sesuatu yang nyata di dunia, yang bisa
dirumuskan dan diketahui secara pasti. Padahal sebenarnya simbol dan bahasa
yang digunakan tersebut tidak otomatis mewakili apa yang secara nyata di dunia.
Simbol dan bahasa tersebut adalah suatu sistem mandiri yang dibangun lewat
pikiran dan komunikasi. Oleh karena itu, Derrida kemudiann mencoba melampaui
logosentrisme dengan melihat ke sisi lain dari kenyataan atau mengalihkan
perhatian dari pusat ke pinggiran dengan metode dekonstruksi (Wattimena, 2015).
Kedua kemungkinan yang
diberikan logosentrisme tidak memberikan ruang untuk subjek-subjek di luar dikotomi tersebut muncul. Namun
Derrida mencoba mengubah konsep peniadaan pada “ketidakhadiran” oleh “kehadiran” tersebut dengan cara mencari jalan tengah, yakni
bagaimana suatu hal dapat “hadir” dan “tidak hadir” secara bersamaan. Jadi, ia
memperkenalkan istilah différance untuk
menggambarkan ketidakmungkinan dalam bahasa untuk merepresentasikan makna
karena adanya penggelinciran makna secara terus-menerus. Letche (dalam Arif,
2008) menjelaskan différance sebagai ‘perbedaan dan ketertundaan’ (difference and deferral). Perbedaan
perbedaan yang di-tunda (defer)
karena dalam bahasa Perancis, kata kerja yang sama (différer) bisa berarti
membedakan atau (to differ) atau
mengangguhkan (to defer).
Différance persis
merupakan ‘garis batas’ (border) yang mendivisi setiap dualitas dan
oposisi biner, tapi sekaligus memungkinkan dualitas dan oposisi itu dilampaui
satu sama lain. Batas yang memiliki fungsi ganda membelah oposisi sekaligus
melanggarnya. Batas ini, meskipun
begitu, tidaklah ‘eksis’ secara riil, melainkan muncul secara virtual dalam
setiap oposisi biner. Ia adalah gerbang virtual yang memungkinkan ‘luar’ dan
‘dalam’ dibedakan, tapi sekaligus yang memungkinkan keduanya saling memasuki,
melanggar, dan berlintasan satu sama lain, mirip dengan konsep gerhana
(Al-Fayyadl, 2012). Bagi Derrida, inti dekontruksi adalah mengaburnya dikotomi
yang diciptakan oleh manusia, terutama yang bersifat oposisi. Oposisi bersifat
tidak stabil, dan memiliki potensi untuk diubah serta
ditambahkan dengan apa yang sebelumnya
tidak ada.
Dengan konsep différance, Derrida meruntuhkan sistem
oposisi biner. Oposisi biner yang menempatkan “kehadiran” pada kedudukan
superior yang diasumsikan melalui strukturnya. Derrida meruntuhkan oposisi ini
dengan menghancurkan hierarkinya, melakukan pembalikkan terma sehingga memberi ruang pada “konsep” baru
yang tidak dipahami dengan cara pandang oposisi. Dengan demikian, Derrida tidak
hanya menggambarkan makna awal dari teks, tetapi juga mengubahnya menjadi teks
yang memiliki makna baru (Khalik, 2017: 5).
******
Referensi:
Buku;
Barker, Chris. 2000. H. Purwanto (Ed.) Cultural
Studies: Teori & Praktik.
Nurhadi (terj.) 2004. Bantul: Kreasi Wacana
O’Donnel, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: PT.
Kanisius.
Zehfuss,
Maja. 2009. Jacques Derrida dalam T.
Radike (Ed.) Teori-Teori Kritis Menentang
Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Teguh Wijaya Kusumo (terj.)
2013. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Internet;
Al-Fayydl, Muhammad. 2012. Bergerak dari Titik Perbatasan: Perihal Dekonstruksi dan Yang Nyata. Diunduh
dari https://indoprogress.com/2012/09/bergerak-dari-titik-perbatasan-perihal-dekonstruksi-dan-yang-nyata/#
pada 31 Maret 2018
Arif. 2008. Jacques Derrida. Diakses dari https://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/
10/09/jacques-derrida/ pada 31 Maret 2018
Puja. 2011. Akar Pemikiran Derida. Diakses dari http://sastra-indonesia.com/2011/07/akar-pemikiran-derrida/
pada 31 Maret 2018
Wattimena, Reza A.A. 2009. Derrida dan
Dekonstruksi. Diakses dari https://rumahfilsafat.com/2009/11/29/derrida-dan-dekonstruksi/
pada 30 Maret 2018
___________________. 2015. Dekonstruksi dan
Kebenaran. Diakses dari https://rumahfilsafat.com/2015/05/26/dekonstruksi-dan-kebenaran/
pada 31 Maret 2018
Tags:
I.G.A Ayu Brenda Yanti
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete