Di sisi konsumerisme, Jean Baudrillard[16] melihat logika nilai guna komoditas bukan berdasarkan kepuasan individual saja, melainkan logika produksi dan manipulasi yang bermakna sosial. Proses klasifikasi dan pembedaan sosial, serta proses pemaknaan dan komunikasi yang yang didasarkan pada kode di mana praktik konsumsi dikondisikan dan mempunyai makna. Perspektif ini mau menunjukkan bahwa konsumsi adalah sistem pertukaran yang sejajar dengan bahasa: objek selalu dimanipulasi sebagai petanda yang membedakan atau masuk ke suatu kelompok. Maka komoditas akan menjadi bernilai atau menjadi sumber hasrat ketika sudah menjadi tanda integrasi sosial, prestise, atau kekuasaan. Konsep tanda yang menjadi distinction dalam konteks ‘meninggi’, dan juga pembalikan tanda formal sebagai distinction yang ‘merendah’ terhadap keberadaan orang orang lain. Dalam konteks yang ‘merendah’ disebut sebagai strategi condescendance, yang mana yang merendah malah bermotif menunjukkan kelasnya.
Bermetamorfosis dalam Metaforisitas
Fadel Yasrawi
Mahasiswa Sosiologi UGM 2016
Editor: Wahyu Budi Nugroho
. . .
Keywords: Bahasan Bahasa, Sosiologi Bahasa,
Bahasa Sosiologi, Uncategorized
Animal
symbolicum, animal rationale, animal educandum, homo sapiens, homo ludens, homo
faber, homo homini socius... “Kamu bicara apa?” Dasar binatang homo! Awal
ber-ada saja sudah ada tensi! Katanya manusia adalah binatang tapi adalah tidak
binatang. “Biarlah, cuma masalah sebutan saja, kok”. Katanya manusia adalah
makhluk mulia tapi adalah tidak makhluk mulia. “Itu tergantung kitalah” Katanya
manusia adalah bebas tapi adalah tidak bebas. “Ya ... gimana, ya” Katanya
manusia adalah dari bumi tapi adalah tidak dari bumi. “Hei nyinyir! Hati-hati
kalau bicara!” Kata-katamu hati-hati tapi kata-katamu adalah tidak hati-hati “Hmm..”
Eh.. kata-katamu itu adalah hati-hati atau tidak, ya? “Diam!” Dasar binatang
homo! Awal ber-ada saja sudah ada tensi!
Metafor sebagai Kondisi Antropologi,
dan dalam Artian Semantik[1]
Mengenai
pemberian arti terhadap manusia yang begitu beragam, secara sederhana bisa
dilihat bersifat oposisi-oposisi komplementer dari sisi ‘ketidakberdayaan’
sebagai entitas yang keberadaannya memiliki banyak ketidaklengkapan di hadapan
alam, serta sisi ‘keberdayaannya’ dalam kreativitas memanipulasi kenyataan alam dengan
kemampuan uniknya menciptakan dunianya sendiri, yaitu dunia simbol. Sehingga,
hubungan manusia dengan alam selalu tidak langsung, tertunda, selektif, dan
metaforis. Dari sini tergambarkan posisi vital metaforisitas sebagai kondisi
antropologi manusia; bahwa pada dasarnya dalam memahami dirinya dan alam,
manusia tidak mempunyai akses langsung murni, dan rasionalitas sendiri pada
dasarnya insufficient, bukanlah
sesuatu yang pada dirinya sendiri memadai bagai cermin untuk memahami realitas.
Akibatnya, cara manusia untuk memahami alam dan dirinya hanyalah melalui
metafor, yaitu mempersamakanya dengan hal lain yang lebih dimengertinya, yang
sebenarnya bukan hal itu sendiri.
Jika
ditarik lagi, bahasa bukanlah sesuatu yang bisa disejajarkan seperti suatu
penemuan alat untuk berburu atau bertani oleh manusia. Lebih mendasar lagi
bahasa adalah hubungan fundamental linguistik manusia dengan dunia. Dari
kenyataan yang sangat mendasar, bahwa semua kata dan nama adalah buatan manusia
sendiri, sebuah transferensi dari manusia yang tidak secara murni berasal dari
alam. Dalam perspektif hermeneutik[2],
bahasa dilihat sebagai pusat gravitasi. Seperti halnya dalam definisi Yunani klasik
bahwa manusia adalah makhluk bercerita, pengada yang memiliki logos. Segala hal yang ditangkapnya dari
alam luar itu ditafsirkan ulang olehnya dan diubahnya menjadi ungkapan dari
dalam dirinya sendiri. Transformasi impresi eksternal ke ekspresi internal
membuat realitas alamiah yang asing menjadi lebih dapat dipahami dan dimengerti
oleh manusia.
Kemudian,
metafor dalam arti sempit atau makna semantik tertentu sebenarnya juga tidak
hanya ornamen memperindah belaka, hal ini karena mendasari anggapan fungsi substitutif
metafor saja. Sedangkan yang terpenting dari metafor adalah deviasi atau
kesalahan kategori, yang bukan hanya menghancurkan tata logika tertentu,
melainkan justru menemukan tatanan logika baru pula. Menurut Paul Ricoeur lebih
jauh, bahwa untuk menangkap nilai metafor seperti itu, kita harus melihat
metafor tidak hanya dari sudut ‘kata’, melainkan dari sudut ‘pernyataan’,
bahkan lebih jauh lagi dari sudut ‘diskursus’ atau keseluruhan wacana. Setelah
itu Ricoeur menyimpulkan bahwa metaforisitas
sebenarnya terletak dalam kopula kata “adalah” yang menghubungkan subjek dengan
predikat. Dari sana konsepnya tentang acuan terbelah (split reference) menemui bahwa kebenaran metaforisitas itu sendiri
mengandung ketegangan atau dengan kata lain bersifat tensive.
Dari sana,
keunggulan fungsi transformatif bahasa melampaui urgensi fungsi
deskriptif-representatifnya. Permasalahanya di sini adalah paradigma fungsi
deskriptif bahasa menyebabkan bahasa memiliki keterbatasan dalam menjelaskan
dunia. Akibatnya terdapat anggapan-anggapan akan hal transenden yang bersifat
ekstralinguistik. Sebagai akibat dari cita-cita filsafat tradisional yang
berupaya menjaga konsep-konsep universalitas bahasa yang deskriptif, logis dan
ketat-tertutup serta menjunjung univoisitas. Berhadapan dengan pluralitas
kehidupan real dan keragaman
permainan bahasa yang bersifat ekuivokal. Atau lebih terjelaskan lagi dalam
perbandingan kubu-kubu yang menjujung bahasa denotatif-literal berhadapan
dengan yang menyetujui kemurnian metaforis.
Dari
kegagalan ‘cermin besar’ fungsi deskriptif tersebut yang berakar dari
representasionalisme dan fondasionalisme, maka lalu lintas reflektif bahasa
digantikan dengan fungsi transformatifnya. Ketika pandangan hermeneutika
menjelaskan bahwa memahami sesuatu berarti menafsirkanya, berarti ketika kita merefleksikan
suatu pengalaman atau teks, bukan berarti kita merepresentasikannya, melainkan
mentransformasikannya pada diri kita. Ricouer berkata: “Pendeknya ini adalah soal bagaimana teks (atau yang sejajar dengan
teks) itu memberikan dimensi
subjektivitas: pada saat membaca saya tidak menyadari diri. Membaca itu
memperkenalkan saya pada berbagai variasi ego. Metamorfosis dunia dalam
permainan teks adalah juga metamorfosis ego”.
Kebenaran yang Bersifat Konvensional[3]
Yang
metaforis dan yang literer semakin memicu tensionalitas antara pandangan realisme
metafisik dengan relativisme. Realisme metafisik di satu sisi bergagasan bahwa
dunia terdiri dari totalitas objek-objek yang pada dasarnya tidak tergantung
akal-budi. Relativisme dari sisi lain adalah gagasan yang menganggap bahwa
tidak mungkin ada standar rasionalitas dan kebenaran yang mengatasi linguistik
dan budaya partikular. Pemaknaan makna mana yang kita bela[4]
menjadi kemenangan subjektivitas yang dikhawatirkan terperangkap ke dalam nominalisme
atau relativisme radikal, bahkan nihilis. Tapi tetap saja, upaya dialogal penyeimbangan
bineral-bineral yang terlanjur terbuat ataupun mungkin memang bersifat kodrati tersebut
perlu disiasati.[5]
Dalam
kerangka permainan bahasa, kesadaran (yang tidak terlepas dari bahasa) dan
bahasa (atau yang analog dengan teks ), atau dalam bahasa tradisional: “subjek”
dan “objek” saling menentukan satu sama lain. Konsekuensinya, tidak
memungkinkan adanya metode yang kokoh dan pasti “objektif murni” di luar dialog
itu sendiri, jadi yang terpenting adalah menjaga kesinambungan dialog itu saja.
Walaupun kemudian proses dialogal itu sendiri terus berkesinambungan dan
memiliki banyak kemungkinan, jusru hal tersebut membuat ketidakterukuran
permainan bahasa yang membuatnya juga relatif, tegasnya, pluralitas permainan
bahasa itu sendiri sebenarnya dapat terjembatani.
Kemudian,
masalah keabsahan intersubjektif dalam kesinambungan dialog tadi menjadi urgen.
Keabsahan—atau dalam bahasa ilmiah yang lebih rendah hati yaitu “probabilitas
tingkat kebenaran tertinggi”—bisa dilacak dalam pembahasan Habermas. Di sisi kritis[6]
dan juga ‘lentur’, Habermas menarik permasalahan kebenaran intersubjektif atau
lebih ke arah norma-norma konsensual dari
kerangka filsafat tradisional yang berpusat kepada ‘kesadaran’ menuju konsep
bahasa sebagai komunikasi. Gagasan sentralnya yang melakukan distingsi dua
dimensi praxis, yaitu kerja dan komunikasi sebagai hal
mendasar yang menentukan bagaimana manusia sebagai spesies bergerak dan hidup
di kehidupannya. Atau yang lebih sentral, usaha pertalian antara teori dan praxis melalui kanal komunikasi dan juga
konsensus. Habermas mengedapankan analisis kompleks terhadap masyarakat
kapitalis dan akibat yang dibawanya sebagai efek dari rasionalitas instrumental
melalui etika wacana dan emansipasi komunikatif.[7]
Bicara rasionalitas,
usaha metaforis telah jauh dilakukan dalam sosiologi dan diakui Max Weber dengan konsepnya mengenai ideal type[8].
Ketika dunia real memiliki
kompleksitas yang tinggi, tidak transparan, dan bahkan chaotic, tetap diperlukan pengonstruksian model ‘pegangan’ tipe
representasi ideal untuk mengkaji kenyataan. Dengan memasukkan aspek-aspek
karakter dan mengeksklusi hal-hal yang tidak esensial dari realitas yang dikaji. Dari gambaran itu
saja, terlihat bahwa usaha-usaha ekstraksi realitas literal sebelumnya dengan
memilah ciri-ciri tertentu sebagai upaya klasifikasi generalisasi menemukan
keberartian metafor menjadi disadari. Tetapi Weber sendiri juga terbuka dengan
menganggap bahwa tipe ideal yang dimodelisasi juga tidak setara dengan realitas
itu sendiri, lebih terbuka lagi, Weber memposisikan usahanya tersebut sebagai
kemungkinan yang paling mungkin dilakukannya dalam sosiologi.
“Lah..
berarti kebenaran itu apa?” Konon kata Nietzsche, tiada lain hanyalah sepasukan
metafor, metonimi, dan antropomorfisme; pendeknya sejumlah hubungan manusiawi
yang secara puitik dan retorik telah diintensifkan, dimetamorfose dan dipuja sehingga
setelah lama lantas dibakukan dalam kanon yang meningkat. Kebenaran, jadinya,
adalah ilusi-ilusi yang segi ilusinya telah dilupakan orang; metafor yang telah
usang dan tak lagi mampu membangunkan rasa; uang logam yang permukaanya telah
aus hingga tinggal berupa logam belaka... “Wah gak bener tu orang”
Membaca yang Sosial
Jika kita
melihat garis pemisah antara sosiologi yang individual metodis dengan holistis
metodis, atau yang lebih kentaranya antara weberian dengan durkhemian[9],
‘garis imajiner monologal’ tersebut akan semakin hilang jika dilihat lebih
dekat. Di sisi Weber, anggapan jika suatu konsep sosiologis general tidak bisa
menjelaskan kondisi kemungkinan individu bertindak dengan cara tertentu, maka
konsep tersebut harus disingkirkan. Di sisi Durkheim, menurutnya ketika fakta
sosial direduksi ke dalam fakta individual, maka eksplanasi tersebut adalah
salah. Pemisahnya tak lain hanya menjadi perbedaan pendekatan jika dilihat
sedikit lebih jauh. Yang pertama tidak terlepas dari yang ‘diobjektifkan’
seperti bahasannya tentang rasionalisasi dan birokrasi, dan yang kedua juga
memandang yang ‘disubjektifkan’ seperti kemungkinan individual ketika berada
dalam keadaan anomie.
Konon,
sudah menjadi perdebatan abadi antara pandangan-pandangan dualistis dalam
melihat fenomena sosial: agensi-struktur, individualisme-kolektivisme,
kebebasan-determinisme, kreatifitas-pengondisian, ‘kesadaran subjektif’-‘realitas
objektif’, autonomi-sosialisasi, dst. Mungkin juga konon, bahwa beberapa teori sosiologi
telah ‘berhasil melampaui’ dikotomi-dikotomi tersebut, seperti Pierre Bourdieu
dalam penyajian dialektika ‘externalising
the internal’, dan ‘internalising the
external’ dalam masyarakat. Kemudian juga ada Anthony Giddens yang melihat
bahwa struktur sosial adalah ‘the medium’
dan ‘the outcome’ sekaligus dari
tindakan sosial, dan bahwa agensi dan struktur adalah hal konstituen yang
bersifat mutual dengan status ontologi yang setara.
Adam B.
Seligman dalam tulisanya mengenai penafsiran modernitas dalam postmodernitas,[10]
menganggap bahwa persoalan mengenai hubungan antara partikular dan universal
jelas merupakan masalah yang lebih bersifat sosiologis daripada filosofis. Demikian
terdapat ajakan untuk melampaui perdebatan-perdebatan ‘abstrak’ terhadap
isu-isu tersebut; seperti serangan terhadap eksistensi universalitas dan
perdebatan mengenai filsafat subjek. Bahwa perhatian terhadap individu dalam
matriks sosial ini ‘membumikan’ suatu upaya memikirkan yang partikular (dalam
hal ini individu), dalam hubungannya dengan kerangka kerja universal (sosial).
Baginya, hal tersebut merupakan sebuah refleksi lain dari persoalan sosiologis cum filosofis mengenai partikular dan
universal yang menjadi inti perdebatan kontemporer mengenai modernitas.
Di dalam
dikotomi-dikotomi itu sendiri sebenarnya juga terdapat konsep-konsep
kontradiktif dan ambigu dalam membaca pandangan teoritis tertentu. Seperti
contoh populernya dalam membaca pemikiran Marx[11];
di satu sisi dikatakan positivis tetapi juga ada yang menganggap antipositivis,
pemikiran Marx dikatakan terlalu reduktif dengan determinismenya, di
seberangnya ada serangan bahwa pemikiran tersebutlah yang terlalu reduktif dan
pembacaan yang kurang memadai disalahkan sebagai penyebab anggapan bahwa
pandangan Marx terlalu determinisme terhadap ekonomi. Lebih jauh, bahwa Marx
juga diserang dengan anggapan bahwa upayanya terlalu menghilangkan dimensi ide dari kehidupan, bahkan jawabannya
juga lebih jauh: tidak mungkin Karl Marx menghabiskan sangat banyak waktunya di
British Library mempelajari banyak literatur, bahkan Smith dan Ricardo jika
Marx tidak percaya dengan keberdayaan ide.
Bahasa dalam
hal ini juga terlihat bukan lagi masalah penamaan saja jika konsep acuan yang
menjadi mendium acuan real-nya pun
juga memiliki implikasi rigoris yang selalu bisa dipermasalahkan. Maka suatu
upaya melewati fungsi deskriptif dalam artian mengikuti objektifikasi konsepsi
yang ditemukan dan kemudian memasuki ruang subjektifitas dengan dijembatani
fungsi transformatif bahasa untuk melampaui kebuntuan monologal dalam diskursus
realitas sosial. Paul Ricouer mengatakan, “Bila
wacana masih menjadi problem bagi kita saat ini, maka ini dikarenakan
pencapaian-pencapaian utama linguistik yang sangat perhatian terhadap bahasa
sebagai struktur dan sistem, bukan kepada penggunaan bahasa tersebut”.
“Kebarat-baratan
sekali gaya anak zaman sekarang” Hmm ... maksudmu anak-anak tetanggamu sekarang
suka makan di Burjo? “Lah?” Atau jangan-jangan maksudnya adek-adekmu suka baca
Lévinas? “Kamu sehat?” Keponakanku yang masih anak-anak tidak suka Burjo dan
tidak tau Lévinas, kok. “Dasar kuper!” Saya bergurau tapi kenapa tidak lucu,
ya?” Makannya berinteraksi sama orang banyaklah! Jangan sibuk sendiri”
Kata-katamu menarik! “Biasa saja kok ... sudah menjadi saran orang banyak” Saranmu
memang menarik, tapi kata-katamu dari awal lebih menarik. “Maksudnya?” Menariknya
kenapa yang menarik seperti itu sudah biasa saja kok, ya? “Maksudnya?” Hmm ...
mbuh..
Relasi Kebahasaan; Relasi Kekuasaan
Di Prancis
tahun 1960-an, muncul aliran strukturalisme yang mereaksi humanisme yang
terlalu optimis mengatakan bahwa subjek manusia adalah bebas dan sepenuhnya bertanggung
jawab atas apa yang mereka lakukan. Akibat pencapaian linguis Swiss Ferdinand
de Saussure[12] yang sangat
dipengaruhi Durkheim, Saussure mempertimbangkan linguistik sebagai cabang sosiologi[13].
Lewat analisis struktur bahasa, strukturalisme menunjukkan bahwa bukan manusia
yang membentuk lingkungan mereka, namun justru sebaliknya: manusia dibentuk!
Bahwa bahasa yang kita pakai secara alamiah merupakan cermin dari kultur
pemakainya. Kemudian direspon oleh pos-Strukturalis dengan kritik bahwa konstruksi
biner dan hierarkis bukanlah sesuatu yang alamiah dalam bahasa (dan struktur
masyarakat), melainkan sesuatu yang dibuat oleh manusia.[14]
Di antaranya
ada Michael Foucault, yang antifinalis, yang dengan pendekatan arkeologis
melihat bahwa semua wacana yang memiliki pretensi obyektifitas ilmu adalah
wacana seseorang yang memiliki kekuasaan. Dari sisi ini, kekuasaan bukan lagi
mengacu pada suatu sistem dominasi umum oleh suatu kelompok terhadap yang di luarnya,
tetapi nama yang diberikan kepada suatu strategis kompleks dalam suatu
masyarakat, yang ada dimana-mana, bukan dalam artian kekuasaan mencangkup
semuanya, tetapi kekuasaan datang dari mana-mana. Jadi kekuasaan awalnya bukan
represi (Freud) atau pertarungan kekuatan dan manipulasi ideologi (Marx)[15],
tetapi sesuatu yang tidak dapat dilokalisir, tatanan disiplin (dalam artian teknologi
kekuasaan) dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan,
tidak represif tetapi produktif, yang
menempatkan konflik dalam berbagai institusi sosial, dalam ekonomi, dalam
bahasa, bahkan di dalam tubuh kita masing-masing.
Di sisi konsumerisme, Jean Baudrillard[16] melihat logika nilai guna komoditas bukan berdasarkan kepuasan individual saja, melainkan logika produksi dan manipulasi yang bermakna sosial. Proses klasifikasi dan pembedaan sosial, serta proses pemaknaan dan komunikasi yang yang didasarkan pada kode di mana praktik konsumsi dikondisikan dan mempunyai makna. Perspektif ini mau menunjukkan bahwa konsumsi adalah sistem pertukaran yang sejajar dengan bahasa: objek selalu dimanipulasi sebagai petanda yang membedakan atau masuk ke suatu kelompok. Maka komoditas akan menjadi bernilai atau menjadi sumber hasrat ketika sudah menjadi tanda integrasi sosial, prestise, atau kekuasaan. Konsep tanda yang menjadi distinction dalam konteks ‘meninggi’, dan juga pembalikan tanda formal sebagai distinction yang ‘merendah’ terhadap keberadaan orang orang lain. Dalam konteks yang ‘merendah’ disebut sebagai strategi condescendance, yang mana yang merendah malah bermotif menunjukkan kelasnya.
Pendekatan
lain yang lebih sempit dalam konteks wacana telah dikembangkan sebelumnya oleh
filsuf Inggris J.L Austin. Fokusnya bermula dari menjauhnya
pernyataan-pernyataan ‘assertoric’
dalam filsafat yang menyatakan sesuatu tentang dunia ke arah ucapan-ucapan
‘performatif’. Judith Butler lebih jauh menganalisa retorika dalam wacana
politik, Habermas berbicara etika wacana, dan kemudian pembahasan yang lebih
luas ditemukan salah satunya dalam uraian karya Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe,
yang menyintesis aspek pos-Strukturalisme, psikoanalisis, marxisme, dan
beberapa aspek karya Wittgeinstein, untuk membuat wacana yang koekstensif
dengan masyarakat, dan dimensi konstitutif dari semua masyarakat.[17]
“Saya
sebenarnya marxis, saya sangat antikapitalis” Seperti apa itu, marxis? “Ya
paham saya berdasar pandangan-pandangan Marx” Seperti apa itu pandangan Marx?
“Komunisme” Paham yang berdasar komunisme itu seperti apa? “Antikapitalis!” Sudah
baca German Ideology atau Das Kapital? “Tidak boleh kamu bertanya seperti itu...
ini soal kepercayaan, bukan sekadar seorang yang mengkaji teks-teks Marx!”
Marxis ortodoks, bukan? “Ya, intinya saya setuju antikapitalisme” Paling tidak Communist
Manifesto atau Tesis tentang Feuerbach?” Banyak tanya! Saya keluar dulu
sebentar mau beli Morlbaro di Indemaret” Tunggu dulu ... antikapitalisme
maksudmu seperti apa? “Mana kunci Fortuner saya?!”
Bahasa ‘Biasa’ dan Bahasa ‘Akademis’
Pierre
Bourdieu yang juga berpandangan bahwa relasi kebahasaan selalu merupakan relasi
kekuasaan (rapports de force) suatu
ketika secara implisit menampilkan suatu ilustrasi tentang distingsi bahasa ‘literer’
dan bahasa ilmu sosial—yang juga menjadi kritik internal pelanggengan kapital
budaya akademisi—serta tulisan akademis lainya: “melalui gaya ‘promosi’ status
suatu wacana ditampilkan.. orang tidak bereaksi atas kalimat seperti ini: ’memburuknya
tempat tinggal sebenarnya terletak di dalamnya, di mana kematian selalu mencari
sesuatu yang baru demi hunian yang alami, sehingga mereka harus terus belajar
untuk tinggal’, dengan cara yang sama orang akan bereaksi atas suatu pernyataan
dalam bahasa umum, seperti: kondisi perumahan semakin buruk..”.[18]
Pada
dasarnya, Bourdieu lebih dalam lagi mengemukakan konsepnya tentang bahasa
sebagai kritik terhadap karya Saussure dan Chomsky, dan dari pengembangan karya
antropologis serta studinya tentang pendidikan dan konsumsi budaya, dia
menyimpulkan bahwa pembagian antara linguistik dan sosiologi berbahaya bagi
kedua disiplin tersebut.[19]
Lebih jauh lagi, kaitan antara habitus bahasa dengan pasar bagi produknya.
Tetapi dari uraian singkat di atas, terdapat pembahasan berupa kritik Bourdieu
ke dalam legitimasi para akademisi dengan konteks kekuasaanya melalui bahasa
akademik itu sendiri. Walaupun pada akhirnya Bourdieu menyatakan antisipasi
terhadap suatu wacana yang terlalu disederhanakan dan terlalu menyederhanakan
tentang dunia sosial, di luar sisi ambiguitasnya, di sini menjadi menarik bahwa
cara penyajian wacana di dalam dunia akademik sendiri pun juga diproblematisasi
secara internal.
Di ‘seberang
Frankfurt’, Niklas Luhmann pernah mengungkapkan ketergangguannya dari orang-orang yang menyederhanakan refleksi
yang ada di dalam diskursusnya, bahkan dikomodifikasi. Kesalahpahaman pun
menurutnya tak akan terhindar jika suatu teori dikomodifikasi sebagai produk
instan melalui reduksi dan simplifikasi.[20]
Memang sepertinya dilematis ketika usaha-usaha ‘reduktif’ para teoritis besar
dalam membahasakan masyarakat harus disimplifikasi kembali dalam upaya
pembahasaanya kembali kepada masyarakat. Dilematis ketika bahasa teori yang seharusnya
membawa yang ingin mempelajarinya terganggu dan terjaga dalam artian ikut
hanyut dan menumbuhkan rasa ingin tau, malah tidak laku dan membuat
‘mengantuk’.
Di luar
maupun di dalam keadaan dilematis tersebut, fungsi bahasa yang memiliki explanatory power yang kuat dan sudah
ditradisikan oleh disiplin sosiologi maupun dalam upaya-upaya disiplin keilmuan
lainya sangat tidak bisa dikatakan tidak berperan. Sistem kategorisasi dan pengonstruksian
tipe-tipe ideal dalam usaha memahami maupun ‘pembebasan’ masyarakat terus
mengiringi dialektika masyarakat itu sendiri. Kesadaran kita sebagai individu yang
ingin mempelajari paling diperlukan dalam upaya ikut serta dalam proses
dialogal-transformatif dan peleburan ego di dalam budaya tersebut. Sampai di sini,
teringat kata-kata Deleuze bahwa “Tugas ‘filsafat’ pada dasarnya adalah membuat
nama-nama atas realitas”. Kata-kata tersebut menjadi lebih diterima dengan
keterbukaan dan penghargaan.
Manuver
lamban yang terus berimplikasi memberi ruang terhadap proses yuridikasi akan
memberi kebebasan bagi oknum yang secara eksplisit terus mencoba mengintervensi
prosesnya dan berpretensi untuk... “Bapak ini bahas apa, sih? Ganti siaranya! Lebih
bermanfaat menambah wawasan nonton acara delapan fakta unik tentang dunia daripada
mendengarkan berita ini” Seriously? “Atau nonton kontes dangdut saja” Ya sudah
dangdut saja.. “Ya sudah” Tapi saya sedang bingung mengenai modernisme dan modernitas,
kemudian posmodern, posmodernisme, dan posmodernitas, serta strukturalis dan pos-Strukturalis
di antaranya... “Sudah!”
Ketidaksimpulan: Setelah penulis menulis dan membaca
kembali tulisan ini, kesan yang paling dominan terasa kemudian—sebagai mahasiswa
awal sosiologi—adalah bahwa secara langsung ataupun tidak langsung—dalam kerangka
rasionalitas sebagai practical matter—tulisan
ini meminta (entah kepada siapa) semacam ‘pengantar sosiologi’ (entah seperti
apa) bagi orang-orang yang bersedia terganggu dalam masyarakat dan secara sadar
merasa diganggu ketika berada di dalam teori-teori sosial. Khususnya bagi
manusia-manusia yang ‘bermetafor’ dengan, dan di dalam bahasa Indonesia.
Kemudian, di luar perdebatan antara kematian atau tidak matinya posmodernitas, terbayangkan sebentuk pengantar sosiologi
yang ‘melampaui posmodernitas’ (entah bagaimana kongkritnya) tanpa menurunkan
gambaran para precursors klasik, yang
terasa masih digambarkan secara ‘membosankan’ di dalam buku-buku pengantar sosiologi
di Indonesia pada umumnya. Dengan harapan bahwa sosiologi tidak lagi berkesan
seperti sekedar produk impor yang dicangkok dan dicocok-cocokkan dengan keadaan
sosial kita sendiri. Harapan hadirnya suatu pengantar sosiologi yang terbuka,
dan tentu saja membuka pemikiran tubuh-tubuh sosial untuk menyadari bahwa “sosiologi
ada”, bahkan ‘di kehidupan biasa kita sehari-hari’. Harapan bahwa kita tidak
terasing dalam pengasingan diri mengkaji keterasingan sebagai upaya melawan
pengasingan masyarakat, dan tentu saja diri sendiri. Harapan bahwa kita bisa
secara sadar bermetamorfosis dalam metaforisitas
yang lebih menumbuhkan kesadaran. Itu saja.
*****
[1]
Pembahasan dalam subjudul
ini didasarkan dari Prof. Dr. Bambang Sugiharto, dalam bukunya yang berjudul Posmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius, 1996. Dan sebagai inspirasi utama tulisan ini.
[2] Untuk kajian yang lebih
diakronis tentang hermeneutika, lih. Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher
sampai Derrida, Yogyakarta:
Kanisius, 2015.
[3] Untuk membaca sejarah
perkembangan gagasan-gagasan modern (Barat) yang cukup komprehensif, lih.
Brinton, Crane. Pembentukan Pemikiran
Modern. Mutiara: Jakarta, 1981.
[4]
Penggalan lirik lagu
Barasuara yang berjudul Bahas bahasa, sebuah single yang rilis
pada tahun 2015.
[5] Lih. Channel Youtube: Komunitas
Salihara yang berjudul Kelas filsafat.
Seni Ketidaksepahaman: Habermas dan Hermeneutika Kritis, dengan pembicara
F. Budi Hardiman. Dipublikasi tanggal 22 Agustus 2016.
[6] Lih. Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan
dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas. Kanisius: Yogyakarta. 2009.
[7] Lih. Osborne, Richard, dan Borin
Van Loon; Introducing Sociology. Totem
Books: Malta, 2005.
[9] Lih. Channel Youtube: University
of Amsterdam dalam playlist Session 7:
Max Weber (1864-1920), dengan pembicara Bart van Heerikhuizen, Ph.D.,
dengan update terakhir pada tanggal 11 Agustus 2011.
[10] Lih. Turner, Bryan. Teori-teori Sosiologi: Modernitas dan
Posmodernitas. Pustaka Pelajar: Yogyakarta 2008.
[11] Lih. Channel Youtube: Yale
Course yang berjudul Marx's Theory of Historical Materialism
(cont. , dengan
pembicara Professor Ivan Szelenyi. Dipublikasi
tanggal 4 maret 2011.
[12] Lih. Kridalaksana, Harimurti. Ferdinand De Saussure: Peletak Dasar
Strukturalisme dan Linguistik Modern, Yayasan Obor: Jakarta.
[13]
Lih. Ricoeur, Paul. Teori Interpretasi, IRCiSoD: Yogyakarta,
2012.
[14] Diambil dari teks pengantar
kuliah kelas filsafat LSF Cogito oleh A.Setyo Wibowo dengan judul Problem Pikiran/Bahasa dan Dunia: KhÔra .2017.
[15] Lih. Fromm, Erich. Beyond the Chain of Illusion: Pertemuan Saya
dengan Marx dan Freud. Octopus: Yogyakarta, 2017.
[16] Lih. Haryatmoko. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis
Pos-Strukturalis, Kanisius: Yogyakarta. 2016, hal: 63-85.
[17] Lih. Scott, John. Sociology: The Key Concepts. Raja Graffindo
Persada: Jakarta, 2013.
[18] Lih. Jenkins, Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi
Wacana: Yogyakarta, 2016.
[19] Ibid. at 246.
[20]
Diakses dari
rumahfilsafat.com, Teori Sistem
Masyarakat Niklas Luhmann
Tags:
co-Pegiat
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment