Cinta,
Cemburu dan Pengorbanan
|
[pic: pexels.com] |
Gede Kamajaya
Pegiat Sanglah Institute
Tak
ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya
rintik rindunya kepada pohon berbunga itu...
(Sapardi
Djoko Damono)
Cinta: dari Filsafat hingga Psikoanalisa
Wacana
mengenai cinta sebetulnya sudah dikupas secara filosofis dengan sangat apik
oleh Plato lewat salah satu karya termasyurnya “Symposium” dalam buku tersebut, Plato menjelaskan makna
cinta sebagai ketertarikan atau hasrat untuk menyatu, penjelsan Plato tentang
cinta kuat dugaan diilhami dari cerita dongeng yang dibawakan Aristophanes
bahwa semula manusia terlahir dengan empat tangan dan empat kaki kemudian
dipisahkan oleh Zeus menjadi dua. Karenya cinta adalah kerinduan penyatuan
kedua tubuh yang awalnya menjadi satu sebelum dipisahkan. Mitos ini mirip
dengan mitologi Hindu tentang dewa-dewi cinta yang menerima hukuman. Dewa
Kamajaya dan Dewi Ratih dihukum oleh Siwa karena mengganggu pertapaannya,
mereka kemudian dihukum turun ke dunia untuk saling mencari, melengkapi dan
hidup dalam setiap diri manusia. Ada motif penyatuan dibalik mitos tentang
dewa-dewi cinta dalam mitologi Hindu tersebut diatas. Seturut dengan itu, Socrates
menyebut cinta adalah cara manusia menghindari kematian. Penjelasan cinta dari
Socrates tersebut diatas erat kaitannya dengan reproduksi fisik pasca penyatuan
cinta lewat kelahiran manusia.
Tidak
sampai disitu, Plato juga memberi gambaran berbagai jenis cinta dalam buku
tersebut. Cinta dibagi ke dalam beberpa jenis: Eros, adalah cinta fisik yang sifatnya sensual, rindu yang dibaluti
sensualitas; Philiia adalah cinta
sebagai sahabat. Cinta model ini adalah
cinta yang tak lagi terikat hanya pada lawan jenis dan jauh dari kata
sensualitas, prinsip cinta Philia
adalah kedekatan dan kesetaraan, memberi dan menerima; Agape adalah cinta murni_cinta yang tak bersyarat ia adalah cinta
yang tak bermodus, ia memberi tanpa meminta mencintai tanpa berharap
sebaliknya. Cinta Agape seringkali
menjadi sajak romantis semisal kata klasik “seperti matahari menyinari tanpa
syarat” atau seperti kata-kata renyah
seorang Dilan kepada Milea. Jenis cinta
yang terakhir adalah Storge, jenis
cinta ini adalah cinta alamiah layaknya cinta orang tua kepada anaknya.
Dalam
ranah psikologis, Freud memberi penjelasan tentang cinta melalui
psikoanalitisnya. Ide cinta sebagai dorongan biologis menjadi titik awal
penjelasan Freud tentang cinta. Teori ini didasari keyakinan bahwa peran libido
beroperasi di tingkat bawah sadar, ia menyimpulkan bahwa kita jatuh cinta
karena kita mengikuti kebiasaan yang terkubur pada level bawah sadar kita.
Gamblangnya, cinta ideal manusia diperoleh dari masa kecil, khususnya dari
kasih sayang kita kepada yang menyayangi kita. Dalam hubungan sebagai orang
dewasa kita cenderung mencari pengganti cinta dan perhatian yang pernah diperoleh
semasa kecil. Penjelasan Freud inilah yang kemudian menjadi pijakan penjelasan
Cinta dalam kajian Psikoanalisa Jacques Lacan bahwa sejatinya tidak ada cinta
murni, cinta yang saat ini dirasakan oleh setiap manusia sejatinya adalah perpaduan
cinta lama (diperoleh dari alam bawah sadar) dengan cinta baru. Cinta ideal
yang menjadi gambaran saat ini adalah hasil dari gambaran cinta masa lalu
setiap manusia.
Kritik Erick Fromm atas Degradasi Makna
Cinta dan Pengorbanan
Akar
dari cinta dalam “The Art of Loving” karya Erich Fromm adalah keterpisahan,
asing, kesepian, sendiri dan kegelisahan menjadikan cinta tetap hidup dan
dibutuhkan dengan kata lain cinta adalah obat atas kondisi psikologis tersebut.
Penjelasan Fromm tentang cinta tidak kalah universal dibandingkan dengan Plato.
Ini dapat dilihat dari arugumen Froom tentang obyek cinta, Fromm bahkan dengan
cukup tendensius menyebut ketika seorang pribadi hanya mencintai satu orang dan
mengacuhkan yang lain, itu bukanlah cinta karena obyek dari cinta adalah
universal. Karenanya, Fromm menyebutkan bentuk dari cinta adalah rasa tanggung
jawab, kepedulian, pemahaman tentang orang lain, dan kehendak untuk
melestarikan lingkungan.
Argumen
Fromm tentang cinta secara teoritis dapat ditemukan benang merah perbedaanya
dengan argumen cinta dalam kajian psikoanalisa. Fromm memulai argumennya dengan
menyebut bahwa cinta adalah sesuatu yang harus dipelajari, ia bukan pembawaan
dari lahir atau hasil dari perpaduan cinta lama dan cinta baru yang bersumber
dari cinta ideal sebelumnya. Itulah kenapa salah satu unsur terpenting dari
cinta menurut Fromm adalah knowledge (pengetahuan) karena cinta adalah sesuatu
yang harus dipelajari, ia tidak tumbuh begitu saja. Pengetahauan ini diperlukan
guna memahami seluk beluk diri sebelum
menjadi subyek cinta.
Bagaimana
pengetahuan dalam cinta itu penting juga nampak dari kritik Fromm atas kondisi
banyaknya manusia salah memposisikan diri dalam urusan cinta. Setiap manusia
hendaknya memposisikan diri sebagai subyek bukan sasaran (obyek) cinta. Jika
kita memposisikan diri sebagai obyek artinya pikiran kita terfokus pada
bagaimana agar dicintai. Berbagai cara ditempuh untuk membuat diri dicintai
orang bukan dengan belajar bagaimana mencintai orang lain. Belajar mencintai
orang mengantarkan manusia menumbuhkan cinta yang membebaskan. Cinta membebaskan
adalah cinta tanpa syarat karena mencintai menjadikan manusia terus
menumbuhkembangan sifat-sifat memberi yang murni. Dalam cinta yg membebaskan
ini ada proses menjadi atau terus menumbuhkan cinta murni. Berbeda jika kita memposisikan diri menjadi
obyek cinta, cinta semacam ini selain bermakna dangkal seringkali juga berubah
menjadi cinta memiliki. Cinta memiliki adalah lawan dari cinta yang
membebaskan, cinta memiliki seringkali berujung menjadi cinta sebagai penindasan.
Dengan alasan kamu adalah milikku sebagai wujud cinta, menjadikan yang dicintai
terbelenggu, tidak memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya dan tidak memberikan kebebasan demi pertumbuhan yang
dicintai, tuntutan demi tuntutan kemudian menjadi aturan baku yang wajib
diikuti. Cinta murni sejatinya tidak tumbuh dalam kondisi semacam ini. Cinta
memiliki ini tidak hanya dangkal namun juga pseudo.
Kesalahan Memahami Pengorbanan
Cinta adalah suatu kegiatan yang aktif.
Karena itu, cinta memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya dan mencintai
adalah memberikan kebebasan demi pertumbuhan yang dicintai. Dengankata lain,
inti cinta adalah memberi, bukan menerima. Makna ini sering disalahartikan
sebagai cinta itu suatu pengorbanan. Padahal sejatinya makna pengorbanan adalah
saat seseorang memberikan cintanya. Ketika
si pemberi memberi sesuatu, yang hilang dari dirinya hanyalah keegoisan. Tindakan
memberi justru memperkaya si pemberi (secara batin) karena dapat menumbuhkan
rasa sebagai individu yang bebas dan aktif, memberi pada kontkes ini
justru menumbuhkan kesadaran bahwa si pemberi memiliki sesuatu yang berharga
dalam dirinya untuk diberikan atau dibagi kepada orang lain. Aspek yang paling
penting dari memberi adalah kita memberikan diri kita, hidup kita, suka duka
minat dan pengetahuan, pemahaman dan perhatian kita sebagai subyek cinta.
Dewasa ini pengorbanan betul-betul
mengalami pengdangkalan makna. Memberi tidak lagi membebaskan, arena
menumbuhkan kesadaran dan meniadakan ego. Pengorban dewasa ini dimaknai sebagai
tindakan yang harus mendapatkan balasan yang sama. Seringkali kita jumpai orang
menyesal berkorban karena tidak mendapatkan balasan yang sama atau bahkan lebih
ekstrem lagi pengorbanan menjadi alasan mengikat seseorang. “Aku sudah
berkorban untukmu cinta, ini semua kulakukan karena aku mencintaimu”. Kalimat
klise ini menunjukkan bahwa pengorbanan telah berubah menjadi aturan mengikat
untuk cinta. Sekali lagi pengorbanan harusnya meniadakan ego kini berubah
menjadi arena tumbuhnya ego si pemberi. Pengorbanan yang menuntut balasan yang
sama dan mengikat dengan alasan cinta bukanlah pengorbanan tetapi tuntutan.
Pengorbanan semacam ini secara tidak sadar semakin meyuburkan cinta memiliki
yang sebetulnya melahirkan penindasan terselubung atas nama cinta.
“Kewajiban” memberi coklat, bunga,
boneka atau sejenisnya di hari Valentine adalah salah satu contoh apik dari
kasus ini. Ada semacam tuntutan setiap pasangan untuk mendapatkan atau memberi
hadiah karena pernah menerima, pernah memberi atau sekedar ungkapan perasaan. Jika
tidak memberi aau menerima hal sama, maka kelak ini akan menjadi alasan cukup
tajam bagi pasangannya bahwa ia tidak berkorban atau memberi perhatian sesuai
yang diharapkan. Pada kasus semacam ini pengorbanan telah betul-betul berubah
menjadi arena tumbuhnya ego yang menindas. Pemberian kemudian menjadi aturan
wajib.
Cemburu
Pembahasan sisi lain dari cinta yaitu
cemburu dikupas panjang lebar oleh Margaret Mead, seorang antropolog kelahiran
Philadelphia. Maed memulai argumennya dengan menyebutkan bahwa cemburu adalah
sisi egoistik dari cinta yang secara kasat mata memiliki tujuan spesial dari
kepemilikan ekslusif terhadap objek yang dicintai namun jika ditelusuri lebih
jauh tidaklah demikian. Mead mengakui bahwa rasa cemburu sulit didefinisikan
melalui perasaan yang terkandung di dalamnya yang terkadang malah lebih condong
menjadi takut, sedih dan malu pada satu sisi dan amarah, curiga dan rasa
terhina pada sisi lainnnya, kita masih bisa mendifinisikan cemburu berdasarkan
tujuan dan fungsinya.
Sebagai seorang antropolog penjelasan
Mead tentang cemburu sangat kental berlatar belakang perspektif kultural. Mead
memberi serentetan argumennya berdasarkan contoh kasus dari beberapa suku. Salah
satunya, dalam masyarakat yang menekankan pentingnya keperawanan, seorang ayah
bisa cemburu karena kehormatan putrinya, namun dalam kasus yang berbeda,
seorang ayah dari suku Maori yang menawarkan putrinya kepada tamu terhormat,
sementara putrinya menolak melayani tamu tersebut maka adat-istiadat akan
memperbolehkan tamu tersebut untuk mengikat sebatang pohon dengan tanaman
merambat, lalu menamai pohon tersebut dengan nama gadis yang menolaknya.
Menyeretnya ke seluruh desa tuan rumah dan melampiaskan kemurkaannya pada pohon
itu. Ayah yang demikian, meskipun keperawanan anaknya tetap utuh, akan tetap
tertuntuk malu. Dalam penjelasan ini Mead hendak mengajak kita semua memulai
mendifinisikan cemburu sebagai kondisi dimana harga diri dan ego yang
terlukalah penyebab timbulnya rasa cemburu. Namun demikian, menurut Mead garis
antara kepantasan dan kecemburuan adalah sesuatu yang menarik, semacam garis
yang luput dari perhatian para pembela rasa cemburu.
Laki-laki maupun perempuan yang cemburu
kadang-kadang datang membawa paket bunga ataupun coklat dengan tatatapan mata
yang mempringatkan penerimanya atas penaklukan terhadap “pesaingnya”. Saat si
pemberi memilih paket bunga ataupun coklat motifnya bukan lagi untuk
menaklukkan hati pasangannya, tetapi untuk memperbaiki harga diri yang telah
terluka. Konteks ini secara tersirat menyingkap titik dimana sang pecinta tidak
lagi bertindak dalam rangka menenangkan pasangan yang dicintainya, tetapi
menenangkan harga dirinya dari rasa takut akan kehilangan atau harga diri yang
tersakiti. Dengan alasan ini pendapat
“ia senang bila laki-lakinya cemburu kepadanya” terasa demikian konyol.
Atau kalimat lain yang tidak kalah konyolnya “cemburu tanda cinta”. Cemburu
bukan barometer pengukur seberapa dalam cinta dapat dibaca, tetapi memperlihatkan
seberapa harga diri seseorang terluka, dan ia hendak membela harga dirinya
bukan menenangkan pasangannya. Tidak ada orang lain yang hendak diperjuangkan
atau diupayakan kesenangannya karena cemburu adalah cara memperbaiki harga
diri, dan ego yang terlampau tinggi dari si pencemburu.
Bacaan
lebih lanjut
Chandra,
Justa.2013. Cerdik Mencintai, Cinta Tak Gentar Dusta. Jakarta. Gramedia Pustaka
Utama
Freud, Sigmun. 2017. Cinta yang Tak
Semestinya. Surabaya. Ecosystem Publishing
Fromm,
Erich. 2014. The Art of Loving. Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama.
Kriyeh,A.M.
2009. Anatomi Cinta Risalah Jalan Cinta, Arti Cinta dan Kekuatan Cinta.
Jakarta. Komunitas Bambu
Plato.
2017. Simposium. Yogyakarta. Basa Basi
Tresider,
Megan. 2009. The Languange of Love and Passion, Anatomi, Bahasa dan Filosofi
Cinta. Surabaya. Selasar publishing
Widodo,
Martinus Satya. 2005. Cinta dan Keterasingan Masyarakat Modern. Yogyakarta.
Narasi
Menarik, cukup jelas, dan menginspirasi.Selanjtunya, Ijinkan saya menaruh beberapa perhatian atas apa yang telah diuraikan. Menurut saya, pemodelan cinta yang diuraikan sdr. Gede kamajaya saya ajukan sebagai pemodelan tradisional. Sudut pandang mengenai bagaimana cinta bekerja pada kehidupan manusia disetiap jamannya dan pola perkembanganya dalam beberapa model masayarakat tertentu yang telah diuraikan menurut beberapa ahli diatas memiliki wilayah kegagalan. Wilayah kegagalan pemodelan yang saya maksud ini dibentuk dari beberapa realitas bahwa, pada masa sekarang dengan kadar modernisasi dan globalisasi dalam arus hidup manusia dan yang kemudian melahirkan tekanan sosial, ekonomi, dan budaya yang melebihi beberapa jaman sebelum ini (jaman plato, sokrates, Fromm, Mead, dll) berkorelasi dengan “pendangkalan makna” yang disebutkan. Saya mengajukan pemahaman (pemaknaan) cinta dalam ruh kesetaraan. Saya pikir, cinta ini bukan sebatas mengenai kedalaman makna dan kemuliaanya semata, cinta harus membuktikan keberadaanya dengan manfaat. Akan tetapi bukan berarti cinta adalah keseluruhan saling memanfaatkan. Namun, kesetaraan, dan bagaimana cinta menjadi arus manfaat bersama baik level antarindividu maupun antarkelompok manusia ini saya pikir jauh lebih mampu menjawab tantangan jaman ketimbang memaksakan pemaknaan seperti pemodelan tradisional diatas. Sebab, trend “single” pada masyarakat perkotaan, munculnya kembali arus LGBT yang semakin meraup dukungan dari berbagai kalangan, trend single parent, pelecehan sexsual, dan lainya yang berhubungan dengan “bagaimana cinta bekerja masa kini” merupakan pembuktian kegagalan pemaknaan cinta secara tradisional dan konservatif-Idealis, bahkan saya mencium aroma hampir metafisis. Mungkin perlu penelitian lebih lanjut, sebagi bukti argumen saya. Akan tetapi, jika secuil contoh perempuan yang menikah saat ini cenderung lebih meninggalkan pola “ibu rumah tangga” menuju wanita produktif bekerja. Minimal “ibu rumah tangga” yang produktif dirumah. Kesetaraan yang saya ajukan menunjukan kadar kerjasama tim dalam menjalani kehidupan yang lebih nyata adalah sangat penting dalam eksistensi cinta. Hal ini bukan bermetamorfosis ataupun menghilangkan pandangan “tradisionalis” yang saya ajukan. Eksistensi model pemaknaan tradisionalis seperti yang terurai dalam artikel ini juga penting, hanya saja kehadirannya dalam ruang dan waktu sosial baik dalam level mikro dan makro maupun ranah psikologis dan budaya perlu ditempatkan ulang.
ReplyDelete