Problem Nasionalisme Kita
dan Pengendaliannya
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas
Udayana
Disampaikan dalam Konferensi
Nasional Sosiologi VII:
“Tantangan Kebhinekaan
di Era Digital”, 07 Mei 2018
Problem Nasionalisme Kita
Konsep nasionalisme yang dianut
para founding fathers kita berasal
dari pemikiran Ernest Renant dan Otto van Bauer. Disebutkan oleh mereka bahwa
setidaknya terdapat dua syarat utama terbentuknya sebuah bangsa. Pertama, kesamaan riwayat sejarah, dan Kedua; keinginan untuk bersatu. Namun
demikian, pemikiran tersebut saat ini menuai tantangan, yang utama adalah
kenyataan bahwa generasi terus berganti sehingga cukup sulit membayangkan
generasi kini mampu merasai “atmosfer ‘45” sebagaimana generasi terdahulu.
Begitu pula, generasi yang terus berganti mengisyaratkan semakin tertinggalnya
fakta-fakta sejarah sehingga besar kemungkinan peristiwa-peristiwa penting pemondasi rumah kebangsaan kita terlupakan, atau bahkan sama sekali dianggap
tidak ada.
Pada perkembangannya, muncul konsep
nasionalisme baru yang dicetuskan oleh Benedict Anderson. Ben mengatakan bahwa
bangsa adalah sebuah imagined communities,
artinya suatu kelompok atau komunitas yang hanya bisa dibayangkan. Ini menilik
kenyataan, sebagai misal, kita sebagai seorang warga negara tidak mungkin bisa mengenal,
mengetahui, atau menemui setiap anggota warga negara (bangsa) di sepanjang usia
hidup kita. Misal konkretnya, kita tidak mungkin bertemu dengan setiap warga
negara dari Sabang sampai Merauke selama kita hidup. Dengan demikian, bangsa
kemudian sekadar menjadi komunitas yang hanya bisa dibayangkan. Kekuatan dari
“bangsa yang hanya bisa dibayangkan” ini terletak pada kapitalisme cetak atau kapitalisme media, yakni bagaimana media
menjadi sarana utama dalam merekatkan hubungan antaranggota bangsanya. Sebagai
contoh, seorang anggota bangsa yang tak pernah menginjakkan kaki di Papua tetap
merasa dan meyakini Papua sebagai bagian dari kesatuan bangsanya dikarenakan ia
mengetahui dan memahami Papua melalui media—berbagai pemberitaannya, teks-teks,
visualisasinya, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, konsep nasionalisme ala
Ben Anderson ini kiranya masih menyimpan polemik tersendiri. Apakah ia
memperjelas definisi mengenai suatu bangsa, atau justru kian mengaburkannya.
Apabila kita menilik salah satu definisi klasik mengenai bangsa menurut W.E.B
Dubois, dinyatakan bahwa bangsa adalah kumpulan manusia dengan ciri fisik dan
karakter khas yang sama, termasuk dalam hal budaya, bahasa, dan
adat-istiadatnya. Tak dapat dipungkiri, pengertian bangsa oleh Ben kian membuka
lebar ruang interpretasi mengenai apa itu bangsa, dan bagaimana suatu bangsa itu bisa
terbentuk.
Internasionalisme sebagai Tantangan
Tantangan nasionalisme kita
selanjutnya adalah internasionalisme yang kian menguat dari waktu ke waktu. Telah
sejak lama para internasionalis mengkritik begitu dangkalnya pemahaman
nasionalisme. Sebagai misal, premis-premis seperti wrong or right my country yang mengisyaratkan pembelaan membabibuta
atas negara atau bangsa sendiri di hadapan bangsa lain tanpa mempertimbangkan
pihak-pihak yang memulai provokasi terlebih dahulu; hal semacam ini tentu
menunjukkan dimensi irasionalitas dari nasionalisme. Selanjutnya, betapa
sulitnya memberi garis pemisah antara nasionalisme dengan chauvinisme (pemahaman
cinta berlebih terhadap bangsa), dan pada gilirannya, apabila chauvinisme
dipraktekkan pada level institusi negara, ia akan menjadi fasisme sebagaimana
Jerman dahulu di bawah pimpinan Adolf Hitler, Italia di bawah Benito Mussolini,
dan Jepang di bawah kepemimpinan Kaisar Hirohito—sebuah ideologi yang menganggap
bangsa lain lebih inferior, oleh karenanya berhak ditindas dan dijajah.
Lebih jauh, internasionalisme
yang menjadi tantangan nasionalisme kita dewasa ini mengambil dua wajah, yaitu internasionalisme
yang dibawa oleh proses globalisasi, dan internasionalisme yang bertopengkan gerakan-gerakan
agamis transnasional. Internasionalisme globalisasi membawa kultur kosmopolit
yang serba boleh, yang pada banyak segi cukup banyak bertentangan dengan
kebudayaan lokal, sebagai misal lunturnya penghormatan terhadap generasi tua,
pergaulan bebas, budaya candu, dan lain sejenisnya. Hal ini juga mengancam salah
satu butir Tri Sakti, terutama butir ketiga, yakni “berkepribadian dalam
budaya”. Di samping itu, praktek internasionalisme teritorial seperti mulai
lunturnya batas-batas antarnegara juga menyimpan persoalan tersendiri—semisal
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Apabila kelak seorang warga negara Indonesia
bisa tinggal di negara lain dalam satu kawasan ASEAN untuk bekerja, kemudian
berkeluarga, hingga tutup usia dan dikuburkan di negara itu, pertanyaannya:
masihkah Pancasila dan UUD 1945 diperlukan.
Berbagai Sarana Pengendalian Nasionalisme
Setidaknya, kita dapat
menggunakan tiga bentuk sarana pengendalian nasionalisme, yakni fisik,
material, dan simbolik. Sarana pengendalian fisik berwujud “ancaman terhadap
tubuh” semisal sanksi bagi mereka yang kontra-NKRI atau hendak mengganti
ideologi negara. Di samping itu, sarana ini juga tercermin lewat program bela
negara dan wajib militer. Sarana kedua, yakni material, mewujud dalam bentuk
barang dan jasa. Semisal, mengangkat pegawai honorer yang terbilang banyak di
tanah air menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dalam hal ini, kiranya para PNS
dapat ditempatkan sebagai agen-agen nasionalisme terkonkret di tanah air. Pertama, PNS tersebar di seluruh penjuru
tanah air; Kedua, PNS diharamkan
berpolitik atau menjadi anggota partai politik tertentu berikut simpatisannya;
dan Ketiga, para PNS adalah agen
pemerintah pusat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat luas, dengan kata
lain, mereka merepresentasi hadirnya negara di tengah warganya.
Sarana pengendalian lain yang tak
kalah penting adalah pembangunan dan pemerataan pembangunan. Pembangunan yang
dimaksud di sini termasuk di antaranya penciptaan lapangan kerja. Sebagaimana
kita yakini bersama, ketidakadilan pembangunan berikut ketimpangan sosial yang
kian tajam dapat mengancam integrasi nasional. Sarana pengendalian nasionalisme
berikutnya, yakni simbolik, adalah sarana yang terabstrak dibandingkan berbagai
sarana lainnya. Sarana ini dapat dimisalkan secara mudah lewat bentuk-bentuk
penghargaan yang diberikan pemerintah kepada warga negara yang berjasa atau
berprestasi—seperti kalpataru, bintang rajasa, satya lencana, dan lain-lain.
Tak hanya itu saja, penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi mereka yang
memang layak menerimanya juga terkategori dalam sarana pengendalian ini. Perlu
dicatat, bentuk-bentuk penganugerahan semacam ini dapat menjadi strategi
politis jitu guna merawat ingatan kolektif suatu bangsa.
Lebih jauh, sarana pengendalian
fisik dapat terkategori sebagai coersive
power, sarana pengendalian material sebagai utilitarian power, sedangkan sarana pengendalian simbolik sebagai normative power. Namun urgen untuk
diingat, berbagai bentuk sarana pengendalian tersebut menjadi kurang efektif tanpa
menyertakan dimensi “pervasifitas”, yakni daya serap atau penyerapan
nilai-nilai nasionalisme sejak dini. Dengan demikian, dapat disusun sebuah proposisi
sebagai berikut: “Semakin tinggi pervasifitas, maka semakin efektif pula penerapan
sarana-sarana pengendalian nasionalisme; sebaliknya, semakin rendah
pervasifitas, maka semakin kurang efektif pula penerapan berbagai sarana
pengendalian nasionalisme”.
*****
Bacaan lanjutan;
Anderson,
Benedict. 2008. Imagined Communities:
Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka
Pelajar.
Etzioni,
Amitai. 1985. Organisasi-organisasi
Modern. Jakarta: UI Press.
Grosby,
Steven. 2011. Sejarah Nasionalisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syahrian,
Ery. 2003. Fasisme Terorisme Negara. Yogyakarta:
Pondok Edukasi.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Menarik untuk disimak pak wahyu, persoalan nasionalisme hingga kini memang masih menjadi wacana yang menarik untuk diperbincangkan
ReplyDeleteada satu hal yang menjadi kegusaran kita bersama, bilamana nasionalisme sekadar menjadi tren penghias peradaban, karena ke depan jika kita tilik, masyarakat dunia bergerak menuju kesatuan masyarakat global (internasionalisme). trims untuk tanggapannya, Wati.
ReplyDelete