Konstruksi Sosial “Siwaratri”
dan Kegagalan Memaknai Dimensi Keaktoran
Gede Kamajaya
Pegiat Sanglah Institute
Pelaksanaan Siwaratri
Siwaratri
diperingati setahun sekali, yaitu pada hari ke-14 paruh gelap bulan ketujuh (Panglong ping 14 Sasuh Kapitu) dalam
kalender Bali. Secara sederhana, Siwaratri
bermakna malam pemujaan Siwa atau malam peleburan kegelapan menuju terang
kembali. Pelaksanaannya meliputi beberapa hal mulai dari Jagra, Upawasa, dan Monabrata. Jagra secara umum dipahami sebagai kondisi terjaga dari tidur atau
menahan kantuk semalaman. Namun sebetulnya, ada pemahaman yang lebih dalam
mengenai Jagra ini. Jagra adalah kesadaran. Untuk memahami Jagra dalam ajaran Siwa, kita bisa merujuk Wrhaspati Tatwa, sebuah kitab yang berisikan dialog antara guru
spiritual Sang Hyang Iswara dengan seorang Bhagawan bernama Wrhaspathi. Dialog
ini berisikan tentang ajaran menuju moksa
atau keterlepasan diri dari dunia.
Lebih
lanjut dalam Wrhaspati Tatwa,
dijelaskan bahwa kenyataan tertinggi di dunia terdiri dari dua hal, yaitu Cetana yang artinya kesadaran dan Acetana yang artinya ketidaksadaran.
Kedua hal ini adalah unsur halus yang menjadi sumber segala sesuatu (Dunia,
2009). Sedangkan Upawasa dapat
ditelusuri dalam kitab Agni Purana.
Konon kitab ini ditulis langsung oleh Dewi Agni dan menurunkannya kepada Rsi
Vasistta. Secara gamblang, Upawasa
dapat diartikan sebagai “kembali suci” sebuah proses pelepasan indera pencecap
dari kenikmatan rasa. Sejalan dengan itu, Upawasa
dalam Kakawin Arjuna Wiwaha
merupakan satu kesatuan tapa brata yoga untuk mengendalikan pancaindera
(mediahindu.com). Terakhir adalah Monabrata,
Monabrata secara sederhana dapat
diartikan sebagai pengendalian perkataan. Dalam Nitisastra dijelaskan, mengendalikan perkataan (wacika) dapat mendatangkan kebahagiaan
atau justru sebaliknya. Penjelasan tentang Mona
tidak jauh berbeda dapat ditemui dalam Nyaman
Brata atau “Sepuluh Macam Pengendalian Diri”. Mona dalam Nyama Brata berarti
membatasi perkataan.
Siwaratri: dari Mpu Tanakung hingga peristiwa
1965
Sumber utama upacara Siwaratri di Bali
secara umum merujuk pada sebuah Kekawin
Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Siwaratri
Kalpa adalah terjemahan dari
bagian Utarakanda dalam Padma Purana. Si pemburu dalam Padma Purana bernama Nisada sedangkan
dalam kekawin Siwa Ratri Kalpa si
pemburu bernama Lubdhaka padahal dalam bahasa Sansekerta Lubdaka, artinya pemburu bukan nama si
pemburu. Dalam kekawin tersebut
dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka tengah bermalam di hutan, agar tidak
dimakan binatang buas ia kemudian memanjat pohon Bilva (aegle marmelos) sembari memetik
daunnya dan menjatuhkannya pada sebuah telaga agar tetap terjaga dari tidur.
Pada hari yang sama, adalah hari tergelap dalam setahun, hari di mana penganut
Hindu percaya bahwa hari tersebut adalah hari dimana Siwa melakukan tapa brata
untuk keselamatan dan kesejahteraan semesta. Ketika Lubdaka meninggal dan
menuju hari penghakiman, dosa-dosanya dapat diampuni meski ia adalah seorang
pembunuh binatang karena pada hari di mana Siwa sedang melakukan tapa brata ia
tanpa sengaja ikut melakukan tapa brata Jagra.
Terdapat silang
pendapat tentang sosok Mpu Tanakung ini. Poerbatjaraka seorang pakar sastra
jawa kuno menduga Mpu Tanakung adalah seorang pegawai kerajaan yang hidup pada
era kerajaan Tumapel dengan raja termasyurnya adalah Ken Arok. Mpu Tanakung
diduga menciptakan kekawin Siwaratri kalpa untuk
mengambil hati raja Ken Arok sebagai seorang yang pernah menjadi perampok dan
merebut istri rajanya sendiri, yaitu Tunggul Ametung. Berbeda dengan
Poerbatjaraka, Zoetmulder dan Teuw seorang guru besar sastra Jawa Kuno asal
Belanda menjelaskan Mpu Tanakung bukanlah seorang sastrawan yang hidup pada
zaman Ken Arok. Mpu Tanakung adalah seorang Rakai yang hidup pada zaman
Majapahit akhir, yaitu antara tahun 1466-1478 M. Ini ditarik dari hasil
penelitian “Waringin Pitu” yang berangka tahun 1447 M dan prasasti Pamintihan yang
berangka tahun 1473 M (Teeuw, A. dan Th.P.
Galestin, S.O. Robson, P.J. Worsley, P.J. Zoetmulder, 1969).
Pelaksanaan Siwaratri
secara masal di Bali baru dilakukan pada tahun 1966, setahun setelah peristiwa
hura-hara politik yang berujung pada pembantaian “manusia merah” dan runtuhnya komunisme
di Indonesia. Pada saat itu, Siwaratri
baru dilaksanakan oleh beberapa pemuka agama di Bali dan Lombok. Siwaratri makin dikenal setelah PHDI
(Parisada Hindu Dharma Indonesia) dan pemerintah daerah lewat Departemen Agama
memasyarakatkan atau mempopulerkan pelaksanaan Siwaratri di seluruh Indonesia bagi umat Hindu (hindu-dharma.org, 2013).
Ada beberapa kemungkinan yang bisa ditarik dari peristiwa mulai dilaksanakannya
Siwaratri secara masal bagi umat Hindu, terutama di Bali. Kemungkinan pertama,
ini adalah sebentuk upaya dari dalam untuk meningkatkan kesadaran rohani bagi masyarakat
Hindu setelah peristiwa huru-hara politik yang konon memakan ratusan ribu nyawa,
di mana Bali tercatat sebagai daerah dengan korban cukup banyak bahkan beberapa
sumber mencatat jumlah korban di Bali mencapai 100 ribu jiwa.
Kemungkinan kedua, ini
adalah sebentuk upaya terstrtuktur dari penguasa lewat lembaga-lembaga terkait
untuk memanipulasi, atau dengan kata lain mengaburkan kesadaran masyarakat Bali
tentang kekejaman yang pernah terjadi di tanah Bali lewat cara-cara imaterial
(keagamaan, kerohanian, atau ketuhanan). Penguasa sengaja mengaburkan peran
negara di balik peristiwa 1965 lewat cara-cara religius dan memberangus
kesadaran kritis warga, bahwa seorang “pendosa yang paling kejam” pun dapat
diampuni dosanya jika ia melakukan tapa brata Siwaratri—dengan kata lain, ini adalah bagian dari cara penguasa
menebus dosa. Perlahan, wacana Siwaratri
sebagai malam penghapusan dosa pun makin terkonstruksi.
Konstruksi Sosial Siwaratri
Siwaratri dapat ditempatkan sebagai
“konstrusksi sosial” dengan merujuk pada cara berpikir Peter L. Berger dalam usahanya
mendefinisikan kembali pengertian kenyataan dan pengetahuan dalam konteks sosial.
Pengetahuan menurut Berger adalah kegiatan yang menjadikan suatu kenyataan
menjadi kurang-lebih diungkapkan, sedangkan kesadaran menjadikan saya lebih
mengenal diri sendiri yang sedang berhadapan dengan kenyataan tertentu.
Kenyataan menurut Berger dapat dilihat lewat pengalaman bermasyarakat.
Kenyataan sosial tersebut tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan
secara sosial lewat berbagai tindakan.
Lewat berbagai tindakan
inilah kenyataan sosial dapat menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat
tertentu terbentuk secara terus-menerus.
Pendek kata, konstruksi sosial didefinisikan sebagai proses sosial melalui
tindakan dan interaksi di mana individu menciptakan secara terus-menerus
realitas yang dimiliki dan dialami secara subyektif (Poloma, 2010). Teori ini
berakar dari kritik Berger pada metode positivis yang kerap kali dipakai untuk
meneliti gejala-gejala sosial sehingga ilmu-ilmu sosial seringkali terjebak pada hukum-hukum perkembangan masyarakat yang
baku, dan pada gilirannya dapat dikuasai dan diarahkan menurut proyeksi
perkembangan masyarakat seperti model perencanaan di bidang sains dan
teknologi, padahal kenyataan sosial bersifat dinamis (Berger, 1990).
Bagaimana realitas
terbentuk secara terus-menerus oleh Berger dijelaskan secara apik lewat
dialektika ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Ekternalisasi
merupakan pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik mental
maupun fisik. Proses ini adalah sebentuk usaha eksistensi individu dalam
masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk individu.
Objektivasi merupakan hasil yang telah dicapai berupa realitas obyektif.
Objektivasi berada di luar dan berlainan dari individu sebagai penghasilnya.
Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas obyektif atau interaksi
dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan. Sementara, internalisasi adalah
penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran. Melalui internalisasi
manusia menjadi hasil dari masyarakat.
Pada konteks Siwaratri, eksternalisasi nampak ketika
Mpu Tanakung sebagai individu menulis Siwaratri
Kalpa sebagai bentuk pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia
baik mental maupun fisik lewat karya sastra yang kelak menjadi rujukan utama
dalam pelaksanaan Siwaratri bagi umat
Hindu Bali. Ketika Siwaratri Kalpa
menjadi rujukan masyarakat Hindu Bali melaksanakan Siwaratri, ia (Siwaratri
Kalpa) sudah berada di luar atau berlainan dengan produsennya (Mpu
Tanakung) dan menjadi realitas objektif yang terlembagakan. Siwaratri Kalpa diserap kembali ke dalam
kesadaran masyarakat sehingga pada tahap ini subyektif individu dipengaruhi
oleh struktur dunia sosial, dan melalui momen internalisasi, individu kemudian
menjadi produk masyarakat.
Melalui proses
internalisasi ini juga individu seringkali larut terjebak memahami struktur dan
meninggalkan pemahaman tentang ke-aktor-an yang sebetulnya merupakan produsen
utama dari struktur. Ketika Siwaratri
terlembagakan dan menjadi realitas obyektif, kita seringkali melupakan dimensi
keaktoran sosok Mpu Tanakung sebagai penulis yang tulisannya menjadi rujukan
utama pelaksanaan Siwaratri. Siapa
Mpu Tanakung, bagaimana pergulatan batin dan spiritual seorang Mpu Tanakung
hingga melahirkan karya semonumental itu.
*****
Bacaan lebih lanjut
Buku;
Berger, Peter L. & Thomas Luckman. 1990.
Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta:
LP3ES.
Dunia, I Wayan. 2009. Kumpulan Salinan Lontar. Surabaya:
Paramitha.
Teeuw, A. & Th.P.
Galestin, S.O. Robson, P.J. Worsley, P.J. Zoetmulder. 1969. Siwaratrikalpa of mpu Tanakung. The
Hague: Martinus Nijhoff.
Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali
Pers.
Internet;
https://www.mediahindu.com/ajaran/aturan-upawasa-atau-puasa-dalam-hindu.htm
http://www.hindu-dharma.org/2013/01/hari-raya-siwaratri/
Tags:
Gede Kamajaya
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment