Era Internet dan
Hadirnya “Masyarakat Aktif”
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas
Udayana
Disampaikan dalam peluncuran website Valapraja di Fakultas Kedokteran,
Universitas Udayana, Denpasar pada 27 November 2017.
Gelombang Revolusi Peradaban Manusia
Menurut Alvin Toffler, terdapat
tiga gelombang revolusi peradaban manusia. Pertama,
Revolusi Pertanian, terjadi pada rentang 500 SM hingga 1500 M. Kedua, Revolusi Industri, terjadi pada
rentang 1500 M hingga 1970 M; dan Ketiga,
Revolusi Informasi, terjadi pada rentang 1970 M hingga 2000 M (sekarang). Sebagai
suatu peristiwa, Revolusi Informasi dimulai pada awal tahun 1980-an ketika
internet mulai digunakan secara masif di Amerika Serikat. Penggunaan internet
yang terus meluas hingga saat ini, termasuk di tanah air,[1]
menyebabkan kita sarat meredefinisi banyak hal. Sebagai misal, apabila dahulu
“pasar” didefinisikan sebagai tempat bertemunya penjual dengan pembeli, kini
dengan hadirnya pasar online (online shop), antara penjual dengan
pembeli tak perlu lagi bertemu secara langsung untuk bertransaksi. Misal lain,
aktivitas perkuliahan yang awalnya mensaratkan tatap muka langsung antara dosen
dengan mahasiswa, kini dengan adanya format perkuliahan online, kedua belah pihak tak perlu lagi bertatap muka secara langsung
dalam proses transfer pengetahuan, dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Di ranah ilmu sosial-humaniora,
hadirnya Revolusi Informasi didaulat beberapa ahli sebagai gerbang masuknya
masyarakat pada era pos(t)modern. Istilah postmodern
sendiri berasal dari dua kata, post
dan modern. Post berarti “sesudah”, “setelah”, atau “pasca-“, sedangkan modern
berarti “sekarang” atau “saat ini”. Dengan demikian, posmodern dapat diartikan
sebagai “era sesudah sekarang”. Anthony Giddens misalkan, mengidentifikasi
perbedaan karakter antara era modern dengan era posmodern. Apabila dalam era
modern produksi manufaktur (barang/benda) lebih masif ketimbang produksi
informasi, maka di era posmodern produksi informasi jauh lebih masif daripada
produksi manufaktur. Hal ini turut ditunjang dengan hadirnya media-media sosial
di mana pembaharuan informasi terjadi setiap detik secara serentak di seluruh
penjuru dunia.
Implikasi Politis Revolusi Informasi
Telah disinggung sebelumnya
bagaimana era informasi menyebabkan kita harus meredefinisi banyak hal, faktual
hal ini turut berimplikasi pada ranah politik pemerintahan. Apabila dahulu
menjadi cukup sulit bagi konstituante untuk berkomunikasi atau menyampaikan
aspirasinya secara langsung pada para wakilnya (baca: pemimpinnya), kini dengan
perantara media sosial, hal tersebut dapat dilakukan secara langsung.[2]
Tak pelak, hal ini berpotensi mengoreksi demokrasi yang bersifat
prosedural-administratif menjadi demokrasi deliberatif yang dapat memperkuat legitimasi
demokrasi itu sendiri. Warga negara (konstituante) diberi kesempatan untuk
terlibat dalam diskursus suatu kebijakan, setidaknya melalui berbagai respon
dan komentar yang diberikannya dalam ruang-ruang publik dunia maya. Hal ini
tentu mendukung terciptanya demokrasi yang bersifat inklusif (terbuka), dan
semua itu kian mudah diwujudkan lewat basis infrastruktur era informasi.
Selain terwujudnya demokrasi
bernuansa deliberatif, era informasi turut mendukung terciptanya pemerintahan
yang transparan. Sebagai misal, bagaimana mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok
(Basuki Tjahaya Purnama) menerapkan sistem e-budgeting
di mana setiap warga Jakarta, bahkan seluruh masyarakat tanah air, dapat
mengawasi rancangan maupun realisasi APBD secara langsung. Boleh jadi, apabila
dahulu masyarakat merasa teralienasi dari struktur (baca: pemerintahan) yang
mengaturnya, dalam arti tak tahu-menahu
bagaimana cara mereka bekerja, agaknya alienasi tersebut cukup-banyak telah
tereduksi lewat hadirnya era informasi. Hampir setiap tindak-tanduk para
birokrat terekspos, proses pengambilan keputusan dapat diikuti secara seksama
lewat proses transmisi media dalam waktu aktual, juga sosialisasi terhadap
berbagai kebijakan yang semakin mudah diakses.
Apa yang dilakukan para mahasiswa
Universitas Udayana yang meluncurkan website Valapraja (ini) sesungguhnya tak
berbeda halnya dengan apa yang dilakukan Ahok, yakni sebagai upaya
meminimalisir, atau bahkan menghilangkan sama sekali praktek-praktek
penyelewengan dana, hanya saja website ini berada di ranah kampus, berkaitan
dengan pengelolaan dana kegiatan-kegiatan mahasiswa. Di satu sisi, hal ini
turut menunjukkan hadirnya “masyarakat aktif” sebagaimana dikemukakan Amitai
Etzioni. Dijelaskan oleh Etzioni, masyarakat aktif adalah masyarakat yang bisa
mengendalikan dunia sosial mereka. Ini berbeda, sebagai misal, pada masyarakat
tradisional atau modern. Masyarakat tradisional diatur oleh hukum-hukum adat,
monopoli kekuasaan pemimpin adat, hal-hal magis, dan lain sebagainya.
Sementara, masyarakat modern diatur oleh birokrasi, juga kontrak-kontrak sosial
berbagai institusi modern. Masyarakat aktif yang dimaksudkan Etzioni agaknya
lebih mencirikan masyarakat posmodern, dan memang, salah satu karakter
masyarakat aktif adalah penguasaan informasi atau pengetahuan secara otonom di
samping komitmen dan akses terhadap kekuasaan.
Hadirnya website Valapraja
kiranya menunjukkan secara jelas bagaimana mahasiswa Universitas Udayana dapat mengatur
dirinya sendiri, terutama dalam hal pengelolaan dana kemahasiswaan berikut strategi
yang diterapkan guna menghindari fraud
‘kecurangan’ atau “kebocoran” penggunaan dana. Secara tidak langsung, hal ini turut
menunjukkan komitmen perilaku antikorupsi dari mahasiswa yang patut
diapresiasi. Terkait dengan akses kekuasaan, agaknya apa yang dilakukan para
mahasiswa pencetus website Valapraja turut dilegitimasi oleh pemerintah pusat,
dan terutama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)—upaya untuk memberantas budaya
korupsi di tanah air sedini mungkin. Kehadiran website Valapraja seolah
merupakan umpan balik terhadap berbagai program dan cita-cita pemerintah yang
dibuat secara swadaya-kreatif di ranah lokal.
Teknofilia vs Neo-Luddite
Namun demikian, sebagaimana diyakini
banyak pihak jika teknologi ibarat mata uang yang memiliki dua sisi; terdapat
pihak-pihak yang optimis atas kehadirannya, juga mereka yang pesimis. Mereka
yang optimis terhadap kehadiran teknologi disebut sebagai kaum teknofilia,
istilah ini untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Fredric Jameson, kaum
teknofilia menganggap teknologi dan perkembangannya dapat membawa kebaikan
hidup pada manusia. Sebaliknya, kaum neo-Luddite beranggapan jika kehadiran
teknologi mengancam keberadaan manusia. Pemikiran ini berkelindan dengan
asal-mula istilah neo-Luddite sendiri, yakni seorang pekerja tekstil bernama
Ned Ludd. Pada abad ke-19, ia dan kelompoknya mempelopori penghancuran
mesin-mesin pabrik di sepanjang Yorkshire dan Nottinghamshire, Inggris karena
menilai keberadaan mesin-mesin tersebut akan mengacaukan pola hidup mereka, dan
menghilangkan pekerjaan mereka. Pada perkembangannya, nama Ned Ludd pun
digunakan untuk menandai mereka yang bersikap pesimis, bahkan anti terhadap
kehadiran teknologi.
Dapatlah ditilik, mereka yang
cenderung pesimis atau menolak kehadiran teknologi umumnya dikarenakan menganggap
teknologi mengancam kepentingan mereka. Nyatanya, mekanisasi yang dibawa
Revolusi Industri pada abad 18-19 memang telah banyak menidurkan tenaga manusia—kemudian
menggantinya dengan mesin. Begitu pula, kita perlu mewaspadai pihak-pihak yang
cenderung anti terhadap penggunaan teknologi informasi demi terwujudnya
pemerintahan (pengelolaan) yang lebih transparan. Oleh karenanya, tantangan
yang dihadapi para mahasiswa pencetus website Valapraja tak sekadar menyoal
bagaimana website atau sistem ini bisa berjalan dengan semestinya, tetapi juga
pihak-pihak yang berupaya melumpuhkannya. Dengan kata lain, para mahasiswa
pencetus website Valapraja juga harus siap dibenci dan dimusuhi.
*****
Bacaan lanjutan;
Giddens,
Anthony. 2009. Konsekuensi-konsekuensi
Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Hardiman,
F. Budi. 2014. Demokrasi Deliberatif:
Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas.
Yogyakarta: Kanisius.
Hartanto,
Budi. 2013. Dunia Pasca-Manusia:
Menjelajahi Tema-tema Kontemporer Filsafat Teknologi. Jakarta: Penerbit
Kepik.
O’Donnel,
Kevin. 2002. Postmodernisme.
Yogyakarta: Kanisius.
Poloma,
Margaret. 2004. Sosiologi Kontemporer.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sondang,
Yesaya. 2013. Dari Filsafat ke Filsafat
Teknologi. Yogyakarta: Kanisius.
[1]
Internet mulai masif digunakan di Indonesia pada awal tahun 2000-an, ditandai
dengan menjamurnya warung-warung internet (warnet) di kota-kota besar tanah
air.
[2]
Saya masih ingat ketika pada tahun 2016 duduk satu panel bersebelahan dengan
Ridwan Kamil, beliau tampak serius membaca komentar-komentar netizen pada akun facebook-nya.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Menarik untuk disimak
ReplyDeleteterima kasih untuk tanggapannya, Mengda. Salam hangat dari Denpasar.
ReplyDelete