Mimi Peri dan Revolusi Hasrat: Tinjauan Skizoanalisis Deleuze dan Guattari
- On 07:18
Mimi Peri dan Revolusi Hasrat:
Tinjauan Skizoanalisis Deleuze dan
Guattari
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Sosiolog Universitas Udayana
Kapitalisme-lanjut sebagai Oedipus
Gilles Deleuze dan Felix Guattari
menempatkan spat-kapitalismus
‘kapitalisme-lanjut’ sebagai suatu sistem “Oedipus”. Terlalu jauh apabila
Oedipus di sini didefinisikan sebagai bentuk “kelainan” seorang anak lelaki
yang terlampau mencintai ibunya, bahkan ingin memilikinya (baca: menikahinya); atau
seorang pemuda yang menggemari wanita-wanita lebih tua darinya—oedipus complex. Istilah Oedipus
sebagaimana digunakan dan dipopulerkan oleh Sigmund Freud sebelumnya, mengacu
pada drama karya Sophocles, Oedipus Rex
yang berkisah tentang carut-marut perasaan benci dan cinta seorang anak
terhadap orangtuanya yang kemudian berperan penting dalam pembentukan nafsu
berikut kepribadian si anak.
Oedipus dalam pengertian ini
lebih ditempatkan sebagai suatu kondisi holy
family ‘keluarga suci’ antara bapak, ibu, dan anak yang saling terikat satu
sama lain dan saling mempengaruhi, terutama sosok orangtua terhadap anak.
Namun, pengaruh atau kontrol yang dituai si anak dari orangtua sehingga
membentuk kepribadiannya, faktual juga dialami sang orangtua dari orangtuanya
terdahulu. Dengan demikian, Oedipus adalah suatu sistem reproduksi yang terus
melanggengkan diri lewat ikatan bapak-ibu-anak dari generasi ke generasi, menjadi
sulit salah satu di antaranya terlepas dari spiral ikatan tersebut: selalu
terdapat jejak yang tertinggal dan memanggil kembali.
Gambar 1. Gilles Deleuze dan Felix Guattari [artforum.com]
Lebih jauh, dalam pemikirannya, Deleuze
dan Guattari mengartikan sistem Oedipus sebagai totalisasi ide, kode, dan
simbol yang diciptakan oleh kapitalisme-lanjut. Ide, kode, atau simbol yang
dimaksud di sini dapat dimisalkan sebagai produksi tanda oleh para agen kapitalisme-lanjut,
atau agen-agen produksi komoditas konsumsi artifisial seperti Nike, Reebok,
Gucci, Louis Vuitton, Kappa, Supreme, dan lain sebagainya yang mewarnai atau
mengontrol kodifikasi masyarakat global. Ide, kode, atau simbol tersebut tak
sebatas pada beragam artefak kebudayaan, tetapi juga terintegrasi langsung
dalam budaya atau jejaring kultural yang diciptakan oleh kapitalisme-lanjut
(kultur kapitalisme); film, musik, karya-karya sastra, cara berbicara dan
berbahasa, cara makan, cara berpikir, bahkan hingga ritus sosial
sekecil-kecilnya: cara melamun, bahkan hingga cara tidur. Tegas dan jelasnya,
seluruh unsur mikroskopik sosial yang berkaitan, berhubungan, atau cukup sekadar
bernuansa kapitalisme-lanjut di mana kita ikut berpraktik di dalamnya: di situlah
kita telah ter-Oedipal.
Manusia sebagai Mesin Hasrat dan Skizofrenia sebagai Batasan
Bagi Deleuze dan Guattari,
manusia adalah sebuah mesin hasrat yang terhubung dengan mesin-mesin hasrat
lainnya. Bolehlah di sini kita gunakan huruf “M” besar pada mesin hasrat
bernama manusia, dan “M” kecil pada mesin-mesin hasrat lain yang terhubung pada
manusia. Mesin-mesin hasrat yang terhubung pada manusia adalah sistem kodifikasi
yang disediakan oleh kultur kapitalisme. Nike menyediakan pada kita tanda atau
simbol menjadi sosok manusia yang dinamis lewat logonya, Adidas hendak mengajak
kita menjadi progresif atau “selalu naik pada level berikutnya”, Kappa menyediakan
kita kode-kode untuk menjadi seksi, Polo menyediakan kode tentang arti
kemapanan, atau bagaimana Calvin Klein menyediakan kita kode untuk menjadi
pintar, muda, dan kaya; tak ketinggalan Supreme yang menyajikan kode akan dominasi
dan superioritas.
Dalam hal ini, sulit mengabaikan
analisis Jean Baudrillard tentang pesan yang terhenti pada medium di era simulasi.
Merevisi pemikiran Karl Marx bahwa suatu komoditas tak hanya terdiri dari nilai
guna dan nilai tukar saja, melainkan turut memuat nilai simbol (tanda);
simbol-simbol yang bermain di ranah medium inilah yang kemudian menciptakan suatu
fantasi akan “kepenuhan” (fulfillness)
dan otentitas sehingga medium (kemasan) menjadi lebih penting daripada pesan.
Simbol-simbol memanipulasi kita dengan cara memunculkan makna ke permukaan;
makna yang seharusnya di dalam, ditampakkan dan dipamerkan sebagai suatu
epifani: sesuatu yang tiba-tiba tersingkap dan kita dibuat tercengang olehnya;
“Honda the power of dreams”, “Yamaha semakin di depan”, “Manisnya hidup dengan
Gulaku”, “Indomie seleraku”, dan lain sebagainya. Makna-makna yang muncul ke
permukaan pun menjadi ihwal yang mengusik dan menggoda, oleh karenanya ia dapat
disebut sebagai “kecabulan”—mengusik dan menggoda kita untuk mengonsumsinya,
membuat kita terus berfantasi untuk memilikinya. Pada tahapan ini, serangkaian
hal tersebut mengejawantahkan dirinya sebagai mesin hasrat yang selalu ingin
terhubung oleh mesin hasrat lain dengan huruf “M” besar bernama Manusia.
Namun demikian, mesin-mesin
hasrat (pemroduksi fantasi) yang diciptakan kapitalisme-lanjut memiliki
batasnya. Batas ini, lewat cara yang paling sederhana, adalah tersingkapnya
fantasi dan otentitas kultur kapitalisme sebagai suatu kepalsuan. Semisal, Slavoj
Zizek merekomendasikan traversing the
fantasy ‘perlintasan fantasi’: “... hanya dengan cara melintasi fantasi,
kita akan mendapati pengalaman bahwa tak ada apa pun di balik fantasi”.
Baudrillard lebih banyak bicara soal otentitas sebagai makna “di dalam” dan
bukannya “di luar”. Sebagai misal, barangkali banyak muda-mudi merasa otentik
(unik) karena membeli dan mengenakan pakaian distro yang dibuat dengan sangat
terbatas—prinsip kelangkaan kapitalisme, namun mereka tak sadar jika keunikan
dirinya sesungguhnya bersifat artifisial (semu) karena keunikannya diciptakan
oleh distro. Hanya lewat tersingkapnya keunikan-keunikan yang rapuh karena
bersandar pada simbol-simbol luar inilah batasan mesin hasrat diketahui: ia
takkan pernah mencipta otentitas yang bersifat murni dari dalam.
Lain halnya Zizek dan
Baudrillard, Deleuze dan Guattari menyematkan skizofrenia atau “kegilaan”
sebagai batasan mesin pemroduksi hasrat dari kapitalisme-lanjut atau kultur
kapitalisme. Dalam arti, kembali ke awal, bagaimana sistem Oedipus sebagai
totalisasi ide, kode, dan simbol tak mampu lagi menampung ide, kode, dan simbol
dari mesin hasrat bernama manusia. Memang, pada tatanan sebelumnya, mesin hasrat manusia selalu dipaksa untuk
sesuai, dan atau, agar menyesuaikan diri dengan sistem Oedipus, seolah
sistem Oedipus mampu memenuhi segala hasrat dan melunasi janjinya, semacam
berhala yang menjamin segala pinta penyembahnya. Namun, pada satu momen ketika
sistem Oedipus tak lagi mampu menampung ide, kode, dan simbol yang dikehendaki mesin
hasrat; ditemukanlah batasan dari sistem Oedipus (kultur kapitalisme), dan
batasan ini adalah kegilaan.
Kegilaan atau skizofrenia dalam
pandangan Deleuze dan Guattari adalah relasi produksi dan reproduksi yang dijalankan
kultur kapitalisme di mana realitas semu manusia dan alam menjadi ekstraknya.
Lewat kemampuannya yang luar biasa, kapitalisme-lanjut mampu memproduksi
akumulasi energi atau aliran skizofrenik yang mengagumkan. Kultur ini sendiri
sesungguhnya menyadari jika skizofrenia menjadi batasannya, maka ia selalu
berusaha menghindarinya, meskipun secara bersamaan, mau tak mau, ia akan menuju
ke sana. Tak dapat dipungkiri, ide tentang skizofrenia yang dicetuskan Deleuze
dan Guattari agak terkesan samar. Apakah ia suatu peristiwa overkonsumsi,
hiperkonsumsi, atau hipersemiotik yang justru mengacaukan simbol-simbol awal
(semiotik). Sebagai perbandingan, kita dapat menilik batasan masyarakat simulasi
seperti diutarakan Baudrillard di bawah ini;
“Jika Anda lebih cantik dari saya,
Anda akan mati; lebih benar dari saya, Anda akan mati; lebih nyata dari saya,
Anda akan tersimulasi; dan jika Anda lebih tersimulasi dari saya: Anda akan
mati.”
“Ke(mati)an” yang dimaksudkan Baudrillard
bisa jadi mirip dengan terma “mengonsumsi kehampaan dalam globalisasi” dari
George Ritzer, atau kehampaan itu sendiri. Di sisi lain, kita dapat
membandingkan skizofrenia Deleuze-Guattari dengan ide madness ‘kegilaan’ Kenichi Ohmae pada masyarakat yang dimabuk
kesejahteraan. Namun, apabila skizofrenia yang dimaksudkan Deleuze dan Guattari
berada di ranah hermeunetis, yakni simbol dan tanda, maka hiperkonsumsi dan
hipersemiotika menjadi lebih relevan. Hiperkonsumsi melahirkan kejenuhan dan
absurditas, sementara hipersemiotika memunculkan kekacauan simbol sekaligus mengungkap
dusta dari simbol-simbol. Pengungkapan dusta ini akan melahirkan simbol-simbol
yang terlantar, dan apabila telah demikian, mereka tak lagi bisa menjadi obyek
pemenuh hasrat sang mesin hasrat. Mesin hasrat mulai bertindak melampauinya, mencari
simbol-simbol lain yang tak dipunyai sistem Oedipus, namun demikian, mesin
hasrat bertindak sedikit licik dengan mengitimasi simbol-simbol Oedipus untuk
kemudian disesuaikan dengan versinya. Mesin hasrat mengakui dan memahami
kondisi skizofrenia itu, tetapi kemudian mencipta agen-agen skizofrenik baru
untuk menghancurkan sang Oedipus, mirip konsep “oto-Imunisasi” Jacques
Derrida—suatu aktivitas penghancuran dari dalam.
Metode Skizoanalisis sebagai Upaya Melahirkan Agen Skizofrenik
Berbeda halnya dengan Freud yang
menempatkan skizofrenia sebagai neurosis (penyakit kejiwaan) dan menolaknya
dengan cara melakukan represi, penekanan, atau pengalihan pada saluran lain
(katarsis)—penghempasan kekalutan pada yang lain—Deleuze dan Guattari justru
berupaya membebaskannya dan sama sekali tak menekannya, hal ini sekaligus
menjelaskan bagaimana metode skizoanalisis bekerja. Mesin hasrat dibiarkan
bermain-main dengan sistem ide, kode, dan simbol yang diciptakan Oedipus, larut
dalam kegilaan yang dibuatnya. Tetapi kemudian, lambat-laun mesin hasrat
menyadari jika sistem Oedipus tak lagi mampu memenuhi hasratnya yang lebih
besar. Ia menjadi lebih gila dari kegilaan itu sendiri, berbekal pengalamannya
bermain dengan sistem Oedipus, ia mulai mengitimasi ide, kode, dan simbol Oedipus;
lalu mengonstruksi dengan caranya sendiri untuk kemudian melawannya. Peristiwa ini
memiripkan wujudnya sebagai “cemburu Papa Besar”, sebentuk penghianatan pada
Oedipus yang awalnya mengayomi dan melindunginya.
Dengan demikian, metode
skizoanalisis tak hanya mengajak subyek untuk menikmati kegilaan
kapitalisme-lanjut, tetapi juga menyadari kegilaan yang dibuat kultur tersebut:
di sinilah agen skizofrenik tercipta. Ia menyadari keberadaannya di
tengah-tengah masyarakat skizofrenik, berbeda halnya dengan manusia-manusia
lain yang ter-Oedipal di mana kegilaan kultur kapitalisme-lanjut dianggap sebagai
kondisi given ‘terberi’, dan mereka
tak menyadarinya. “Agen skizofrenik dengan sengaja menemukan batasan
kapitalisme... Ia memperebutkan semua kode dan ia mengirim balik arus hasrat
yang telah didekode”, tegas Deleuze dan Guattari. Lebih jauh lanjutnya, dengan
skizofrenisasi, kita akan disembuhkan karena hasrat tak lagi ditekan oleh
sistem Oedipus, setelah sebelumnya mesin hasrat dipaksa untuk selalu sesuai dengan
sistem ide, kode, dan simbol Oedipus. Hal ini, sama halnya dengan bentuk
perlawanan terhadap psikoanalisis yang selalu berupaya merepresi, mengalihkan,
atau berkilah dari Id (das es) sebagai sistem libido alam bawah
sadar yang selalu menggeliat dan meminta dibebaskan. Dengan begitu,
psikoanalisis di sini tak ubahnya seperti “polisi” sebagai agen represif mesin
hasrat.
Skizoanalisis justru berupaya
membebaskan hasrat terdalam tersebut, mengakui dan meloloskan segala yang
terpendam. Skizoanalisis memandang hasrat sebagai kekuatan revolusioner: “Ia
adalah kekuatan eksplosif yang menyangsikan tatanan mapan ... dan peran (agen)
skizofrenik adalah menghancurkan kode-kode buatan Oedipus”. Singkat kata, apa
yang menjadi tujuan utama skizoanalisis adalah “revolusi hasrat”, membebaskan
subyek-subyek dari ikatan Oedipal untuk kemudian membiarkan hasratnya berkeliaran
secara bebas. Deleuze dan Guattari membuat perumpamaan agen skizofrenik sebagai
seorang sakit jiwa yang lebih memilih berkeliaran di jalanan ketimbang
terbaring di ranjang psikoanalisis (rumah sakit jiwa). Tegas dan jelasnya
mereka meyakini, subyek yang demikian, yang membiarkan hasratnya bebas
berkeliaran, akan menghasilkan sebuah kekuatan revolusioner yang meledakkan.
Mimi Peri sebagai Agen Skizofrenik
Tak banyak orang tahu siapa
sebenarnya Mimi Peri, terutama asal-usulnya. Ia tiba-tiba menjadi selebgram
(selebritis Instagram) yang meramaikan (baca: mengguncang) jagat dunia maya
tanah air. Ia sering mengaku berasal dari kayangan (langit), sebagi sosok peri
yang terbuang ke dunia, dengan nama lengkap: “Mimi Peri Rapunchelle”. Ia juga
mengaku memiliki keperawanan abadi yang dianugerahi oleh dewa-dewi langit.
Kenyataannya, Mimi Peri adalah sesosok pria bernama “Ahmad Jaelani” yang
berasal dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Selebihnya dalam subbab ini, kita
takkan membincang profil Mimi Peri, melainkan praktik dan tindakannya sehingga
ia layak didaulat sebagai “agen skizofrenik”.
Gambar 2. Mimi Peri alias "Ahmad Jaelani" [twitter.com]
Mimi Peri hadir dengan
hipersemiotika, apabila dalam semiotika kita menduga setiap tanda atau simbol
berikut penggunanya sedang berdusta, maka hipersemiotika memang mengakui jika
ia tengah berdusta, dan sialnya, kita
menerimanya. Hipersemiotika adalah kumpulan tanda-tanda yang ngawur, kacau, sengaja dibuat secara
dusta untuk mendustai, ia tak memiliki struktur lapis semiotik demi lapis
semiotik yang terpola dan dapat diikuti secara sistematis lagi koheren. Jika
semiotika menganggap tanda sebagai ihwal yang menggelincir, maka hipersemiotika
adalah “ketergelinciran itu sendiri”. Kurang-lebih, Mimi Peri hadir di hadapan
kita dengan beberapa pernyataannya sebagai berikut; (1) Memiliki wajah cantik
jelita yang tak tertandingi, (2) Memiliki tubuh seksi yang bakal membuat setiap
pria tergiur, (3) Memiliki keperawanan abadi, (4) Selalu mengikuti fesyen
terkini, bahkan menjadi tren fesyen, (5) Berasal dari kayangan, (6) Kerap pergi
berlibur ke luar negeri, (7) Memiliki hubungan dengan seleb-seleb pria
kenamaan, (8) Kaya-raya, dan lain sebagainya.
Pertama, kita dapat segera
mengonfirmasi bahwa Mimi Peri tak memiliki wajah cantik atau tubuh bohay seperti yang didakunya, tetapi secara
tegas dan jelas ia berulangkali menyatakannya. Di sini, agak sulit menyetujui ide
propagandis Paul Joseph Goebbels: “Kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi
kebenaran” mengingat kebohongan yang dilakukan Mimi Peri begitu jelas dan dapat
dikonfirmasi secara langsung—menilik wajah dan bentuk tubuhnya. Begitu pula, di
sini analisis bernuansa konstruksi sosial akan dihindari, bahwa apa yang
dilakukan Mimi Peri adalah usaha untuk mengacaukan definisi menjadi “cantik”
atau “seksi”. Toh bagaimanapun, apabila ia berupaya melakukan itu: usahanya
jelas gagal.
Gambar 3. Mimi Peri bersama Sehun dan C. Ronaldo [thepicta.com; todayline.com]
Kembali pada konstelasi
masyarakat skizofrenia kultur kapitalisme, apa yang dilakukan Mimi Peri lebih dapat
dilihat sebagai usaha untuk mengejek atau “melecehkan” para wanita yang mengidamkan
wajah cantik yang umumnya ditunjukkan lewat wajah putih, bersih, dan mulus.
Mereka larut dalam kegilaan yang dibuat industri kosmetik, mungkin juga karena
urung memahami logika industri ini: “Semakin mereka menangis, semakin mereka
membeli”. Industri ini meneror para wanita dengan penuaan dini, jerawat, flek—bercak
hitam, dan lain sebagainya. Kode-kode yang ditampilkan dalam setiap iklan industri
ini sangat jelas; menampakkan sosok wanita muda, atau jika ia telah tua,
wajahnya tampak jauh lebih muda ketimbang usianya. Mimi Peri hadir mengacaukan
simbol-simbol itu, meskipun kita juga dapat menduga, sesungguhnya ia juga
berharap memiliki “wajah ideal” yang ditetapkan sistem Oedipus. Dalam
harapan-harapan yang terselubung itu, sesungguhnya Mimi Peri juga telah
ter-Oedipal: tertarik pada ide, kode, dan simbol yang dibuat sistem Oedipus. Namun
demikian, ia paham jika tak mungkin mewujudkannya lewat cara-cara yang telah
ditetapkan sistem Oedipus, maka ia pun bertindak dengan cara melampauinya.
Analisis serupa juga berlaku pada
keseksian tubuh yang diklaim Mimi Peri, hobinya bepergian ke luar negeri,
hubungan spesialnya dengan para seleb pria pujaan wanita, juga kekayaan yang
diklaim dipunyainya. Serangkaian hal tersebut secara jelas menunjukkan jika
Mimi Peri juga telah ter-Oedipal, tetapi kemudian ia membuat sistem ide, kode,
dan simbol versinya sendiri. Satu karakter yang khas dari citra-citra visualnya
yang diunggah di Instagram adalah foto atau video tempelan (baca: editan) dirinya
dengan para figur idola; Mimi Peri berfoto dengan seleb K-Pop Sehun, dengan
pesepakbola terpopuler sepanjang masa Cristiano Ronaldo, dengan si vampir keren
Robert Pattinson, dan lain-lain. Ia sengaja membuat editan citra-citranya mudah
diketahui sebagai kepalsuan, dan sama sekali tak berupaya membuatnya “sehalus
mungkin”, semisal seseorang yang terobsesi pergi ke Perancis kemudian membuat
editan foto yang terlihat sangat alami di depan Menara Eiffel sehingga berhasil
menyembunyikan kedustaan. Melalui citra-citra yang kasar ini, Mimi Peri
sesungguhnya melakukan dekodefikasi terhadap kode-kode yang telah disediakan,
bahkan dipaksakan oleh Oedipus. Dalam hal ini, sesungguhnya terdapat suatu kesan
dan pesan imajiner yang hendak dinyatakan Mimi Peri.
“Jika kamu ingin cantik, jadilah seperti
diriku saja. Jika kamu ingin seksi, jadilah diriku. Jika kamu ingin dekat
dengan idola pujaanmu, aku sudah. Jika kamu ingin populer, aku lebih populer. Jika
kamu bermimpi menjadi pasangan mereka, aku sudah mewujudkannya. Jika kamu ingin
menjadi mega seleb, aku tak tertandingi.”
Kesan dan pesan imajiner ini
menunjukkan kegilaan Mimi Peri yang melampaui kegilaan Oedipus, dengan begitu,
ia telah melewati batasan skizofrenia kultur kapitalisme. Ia mengejek dan
melecehkan kode-kode Oedipus, adapun caranya yang terkesan serius dalam
“pertunjukannya” hanya kian menunjukkan penghinaan yang lebih serius. Teknik
representasi yang dilakukan Mimi Peri menerabas bingkai-bingkai kultur
kapitalisme, jika berbagai editan foto Mimi Peri dapat dilihat sebagai seni,
maka itu adalah “seni sebagai peristiwa”, kode-kode yang keluar dari bingkainya,
kode-kode yang tak bisa ditempatkan dalam lokus tertentu atau satu lokus saja;
acak, kabur, dan terlalu licin untuk ditangkap.
Gambar 4. Mimi Peri dengan fesyen koran [brilio.net]
Analisis mengenai fesyen yang
ditunjukkan Mimi Peri agaknya memerlukan suatu pembahasan khusus. Menyepakati
Roland Barthes yang menyebut fesyen dan mereka yang terlibat dalam industri ini
sebagai “kegiatan main-main” namun mempunyai kode-kode tersendiri, agaknya
begitu pula dengan fesyen Mimi Peri. Apabila kita menilik analisis George
Simmel tentang fesyen sebagai “pembeda” antarindividu, namun unsur pembeda ini
tidaklah boleh benar-benar berbeda dari individu lain, dengan kata lain, harus
memiliki irisan persamaan agar individu pengonsumsi fesyen tak terasing dari
lingkungannya, namun sekali lagi: tidak betul-betul sama; maka Mimi Peri memang
hendak menjadi betul-betul berbeda. Apa yang dilakukan Mimi Peri adalah
“menyangatkan” kode-kode dalam fashion. Jika Anda ingin mengenakan pakaian bernuansa
kertas atau daur ulang, maka Mimi Peri telah memakai kertas koran asli. Apabila
Anda ingin memakai pakaian bertema tumbuhan atau tanaman, Mimi Peri sudah
memakai rerumputan, ilalang, serta daun pisang asli, pun berbagai fesyen lain
yang ditunjukkan Mimi Peri, rentengan kopi sachet
yang juga menjadi fesyennya misalnya.
Gambar 5. Mimi Peri dengan fesyen tumbuhan [lifeloe.net]
Kode-kode fesyen yang disediakan
sistem Oedipus mengenai alam, tumbuhan, kertas, bahan daur ulang, keseksian, feminitas,
kecantikan, keidealan tubuh, dan lain-lain yang telah distilisasi; tak mampu lagi
memenuhi hasrat mesin hasrat bernama Mimi Peri akan semua itu. Lewat kode-kode
yang disangatkan ini, Mimi Peri telah terlepas dari ikatan Oedipal. Ia
mengonstruksi ide, kode, dan simbol dengan caranya sendiri; tepatnya sesuai
hasratnya. Ia membiarkan sang hasrat berkeliaran bebas lewat praktik-praktik
yang ditampilkannya. Pada gilirannya, Mimi Peri pun memiliki aliran energinya
sendiri, tak lagi bertumpu pada energi Oedipus, pun sukses menekan balik polisi-polisi
hasrat yang bertugas merepresinya.
Refleksi: Revolusi Hasrat dan Berakhirnya Revolusi-revolusi Besar
Seperti halnya para pemikir
posmodern atau pos-Struktural lain, Deleuze dan Guattari menolak sebuah solusi
yang bersifat universal, menjamah khayalak luas: “sebuah revolusi agung”. Baginya,
ini dikarenakan dunia yang kita hidupi saat ini telah terfragmentasi sedemikian
rupa; setiap wilayah, setiap masyarakat; memiliki ranah perjuangannya sendiri,
persoalannya masing-masing. Mereka yang masih memimpikan sebuah revolusi kolektif
atau perubahan sosial skala besar dapat didaulat sebagai “orang-orang yang
miskin hasrat”. Mereka belum terlepas dari ikatan Oedipus, atau “masih
ter-Oedipal”, sekadar mengimitasi bahkan meminjam cara-cara lama untuk dipaksakan
pada masa sekarang, atau dengan kata lain: kolektivitas yang tak relevan dan
tak kreatif. Bentuk-bentuk kolektivitas semacam ini, yang biasanya berteriak
antifasis atau anti-Penindasan, biasanya justru menyimpan kefasisan dan kedespostisannya
tersendiri dalam diri. Ini tampak lewat begitu terobsesinya mereka akan terma-terma
terkait, sehingga tak mengherankan cukup banyak kita temui: ketika suatu
kediktatoran tumbang akan segera digantikan oleh kediktatoran-kediktatoran baru
yang mulanya dibangun dari basis massa kolektif.
Lantas, apa yang ditawarkan?
Subyektivitas kolektif sebagai agen revolusioner. Subyektivitas kolektif
sebagaimana dimaksudkan di sini bukanlah kumpulan subyek (individu) yang
terikat pada satu doktrin atau kepentingan yang sama, karena jika demikian, itu
sama artinya mereka ter-Oedipal atau terikat oleh sistem Oedipus. Subyektivitas
kolektif adalah para entitas subyek yang membebaskan hasratnya masing-masing,
membiarkannya berkeliaran sesuai kehendak mesin hasrat. Mereka tak terikat satu
sama lain, juga tak saling mengenal. Mereka adalah suatu gerakan diaspora
individual yang menginfiltrasi relung-relung sosial. Gerakan mereka tak
dikomandoi oleh seorang Papa Besar, juga tak terencana—spontan dan kreatif
sepenuhnya. Spontanitas dan kreativitas inilah yang membuat aliran-aliran
energi mereka tak terduga-duga, mempunyai daya eksplosif yang bisa meledak
sewaktu-waktu, dan begitu agen-agen revolusioner ini meledakkan diri, manusia
massa masih berebah pulas di ranjang psikoanalisisnya.
Mimi Peri sebagai agen
revolusioner skizofrenik, menunjukkan secara jelas kemampuannya melakukan
dekodefikasi ide, kode, dan simbol Oedipus untuk menjadikannya amunisi
perlawanan balik. Poster-poster dan citra-citra populer, termasuk audio-visual Oedipus
seperti Walt Disney dikonversi (baca: dirusak) menjadi kode-kode yang dihasratkannya
secara personal. Ia adalah seorang prajurit perang yang mengetahui betul
posisinya, bahwa kemenangan atau kekalahan suatu perang tidaklah bergantung
pada sebuah keputusan politik, tetapi bagaimana mempertahankan kehidupan diri
sembari membunuh sebanyak mungkin musuh—inilah cermin fragmentasi sosial yang sesungguhnya.
Para pemimpi perubahan sosial sudah selayaknya menerima salam sapa manja sang individual heroik Mimi Peri.
∞
Bacaan
lanjutan:
Buku;
Baudrillard,
Jean. 1988. The Ectasy of Communication
(Semiotext[e]). Cambridge: MIT Press.
Deleuze,
Gilles & Felix Guattari. 2000. Anti-Oedipus:
Capitalism and Schizophrenia. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Noth,
Winfried. 1990. Handbook of Semiotics:
Advances in Semiotics. Bloomington & Indianapolis: Indiana University
Press.
Rihan,
Fadi Abou. 2008. Deleuze and Guattari: A
Psychoanalytic Itinerary. London & New York: Continuum International
Publishing Group.
Jurnal;
Nugroho,
Wahyu Budi. Menyoal Fantasi dan Emansipasi dalam Foodgasm. Jurnal Widya Sosiopolitika, Vol. 6, No. 2 (September, 2015), 21-38.
Simmel,
Georg. Fashion. The American Journal of
Sociology, Vol. 62, No. 6 (May 1957), 541-558.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Revolusi Hasrat mampu hadir atas pembebasan dan keberanian mengekspresikan imajinasi liar kita
ReplyDelete