Problem Penyiaran Televisi Nasional
|
(media.npr.org) |
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Disampaikan dalam Workshop Sosialisasi Problem Penyiaran Televisi Nasional
bagi Siswa/i SMA/K se-Denpasar, September 2017.
Kritik
terhadap Penyiaran Televisi Nasional
Upaya untuk memahami penyiaran
media televisi yang mendidik dan mencerdaskan publik dapat dimulai terlebih
dahulu dengan memahami berbagai persoalan yang terdapat dalam penyiaran media
televisi itu sendiri. Di ranah nasional, kita dapat mengidentifikasi beberapa
problem penyiaran media tanah air, antara lain; muatan program-program televisi
yang terlampau “jakarta-sentris”, terlalu kuatnya kooptasi pemodal atau
pengiklan, berbagai acara televisi yang cenderung mengeksploitasi kaum kelas
sosial bawah, irasional, serta yang tak kalah memprihatinkan: begitu bias
politik.
“Jakarta-sentris”
Muatan program-program acara
televisi yang bersifat jakarta-sentris dapat kita tilik lewat acara-acara
seperti FTV atau Film Televisi, sinetron-sinetron, pemberitaan yang dominan
menyorot konstelasi pemerintahan pusat, serta berbagai acara lainnya, tak
terkecuali beragam infotainment.
Apabila kita saksikan, apa yang ditampilkan dalam FTV misalnya, memuat kultur,
gestur, dan prokem (bahasa percakapan) Jakarta yang sangat kental. Semisal
digunakannya sapaan “Loe” atau “Gue”, berikut berbagai frase yang menyertainya.
Begitu pula ihwal bagaimana aktor dan aktris dalam FTV tersebut berpenampilan
serta menjalin relasi sosial dengan pola dan habitus yang sangat jakartais. Meskipun lokasi syuting dari
program FTV ini berpindah-pindah, semisal di Bali, Yogyakarta, atau berbagai tempat
lainnya; namun faktual gestur dan cara bicara yang ditampilkan di dalamnnya
tetaplah dominan berasal dari Jakarta. Hal ini tentu memberi contoh yang kurang
baik bagi generasi muda tanah air mengingat kultur lokal yang bersifat spesifik
dan “khas” dalam hal pembawaan sikap atau gestur berikut pilihan diksi dalam
berkomunikasi di ranah lokal dapat berangsur ditinggalkan.
Kuatnya
Kooptasi Pemodal atau Pengiklan
Semenjak awal abad ke-20, media
bergantung pada pemodal atau pengiklan untuk menjaga kelangsungannya, dan ini
terus berlanjut hingga sekarang di seluruh dunia. Jean Paul Sartre di Perancis
yang pernah berusaha membuat surat kabarnya sendiri tanpa campur tangan pemodal
misalkan, hanya bisa bertahan menerbitkan surat kabarnya dalam beberapa edisi; setelah
itu tutup. Hal ini pulalah yang terjadi di tanah air, bahkan tak diragukan lagi
jika hadirnya stasiun televisi atau radio saat ini ditujukan untuk memperoleh
pemasukan lewat iklan-iklan. Namun parahnya, terjadi relasi tak seimbang antara
pemilik media dengan pemilik modal di mana pemilik modal lebih dominan dalam
relasi tersebut. Bahkan, berbagai acara yang terdapat di media televisi bisa
dikatakan sepenuhnya ditentukan (baca: diminta) oleh pemodal.
Apabila terdapat satu acara
televisi yang digemari masyarakat di sebuah stasiun televisi dan menuai rating
tinggi, maka pemodal akan segera meminta dibuat acara serupa di stasiun
televisi lainnya. Hal ini dilakukan tak lain agar iklan miliknya dikonsumsi (ditonton)
khalayak luas. Oleh karenanya, tak mengherankan jika akhir-akhir ini kita
melihat tayangan acara antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi
lainnya cenderung serupa. Ketika acara kontes menyanyi atau komedi “laku” di
salah satu stasiun televisi, tak menunggu lama akan muncul acara serupa di
stasiun televisi lainnya. Hal ini berdampak pada terjadinya “penyeragaman
penonton”, seakan satu program televisi dapat dan layak dikonsumsi oleh semua
pihak. Parahnya, tak peduli apakah program tersebut mendidik ataukah tidak; ia
akan tetap ditayangkan selama masih menuai rating tinggi. Dalam hal ini, kita
pun dapat curiga pada acara-acara televisi remaja yang menampilkan remaja dengan
“moge” (motor-motor gede) sesungguhnya disponsori oleh produsen motor-motor
besar tanah air guna mempengaruhi mereka untuk turut memilikinya. Sebagaimana
diungkapkan Norman Denzin, media televisi membawa satu muatan utama, yakni
“budaya konsumtif”.
Eksploitasi
Kelas Sosial Bawah
Mungkin kita masih ingat dengan
program televisi salah satu stasiun swasta di mana host (pembawa acara) atau talent
acara tersebut adalah perempuan muda cantik yang berbeda-beda di setiap episode
yang juga tampak berasal dari kota dan dari keluarga berada (kelas sosial
menengah atau kelas sosial atas). Talent
tersebut kemudian menyertai kehidupan salah satu keluarga miskin untuk satu-dua
hari. Mengikuti aktivitas mereka dari pagi hingga malam, serta mengulik
pengalaman hidup berikut perasaan pribadi mereka. Acara ini banyak menuai
pujian karena dinilai “peka” terhadap kehidupan mereka yang kurang beruntung,
bahkan sempat memperoleh penghargaan sebagai salah satu program reality show terbaik. Namun demikian,
analisis sosiologis memiliki penjelasan yang berbeda.
Apabila kita mencermati
berbagai syarat untuk menjadi talent
dalam acara ini, beberapa syarat menyebutkan “Usia 18-25 tahun, lebih tua tidak
apa-apa asalkan tampilan masih muda”, kemudian “Berpenampilan menarik”, syarat
ini turut disertai keterangan lanjutan yang berbunyi: “Maklum ini kan’ untuk
acara televisi”. Lalu terdapat pula ketentuan, “Satu orang talent hanya akan tampil dalam satu episode, format acara memang
seperti itu”. Mencermati beberapa persyaratan tersebut, dapatlah ditilik bahwa
sesungguhnya acara ini sekedar berorientasi pada profit. Tidak setiap anak muda
bisa menjadi talent dalam program ini,
melainkan hanya mereka yang berpenampilan menarik dan berparas muda;
persyaratan ini sudah tentu untuk menarik audiens, khususnya audiens pria.
Persyaratan berikutnya di mana satu orang talent
hanya akan tampil dalam satu episode menunjukkan bahwa simpati dan empati yang
dibangun dalam acara ini bersifat sesaat. Pun tak menutup kemungkinan si talent menjadikan acara ini sebagai batu
loncatan untuk karirnya di layar kaca. Di samping itu, acara ini dapat
dikatakan cenderung membuka luka masyarakat kelas sosial bawah yang mereka
angkat. Tatkala mereka telah bisa menerima kondisi hidupnya, memiliki makna
tersendiri dalam menjalani kesehariannya, tiba-tiba kesemua itu seolah menjadi
tak berarti, dan air mata mereka pun tumpah kembali.
Selain itu, terdapat pula acara
televisi swasta dengan format melunasi hutang pesertanya. Peserta acara ini,
sudah tentu berasal dari kalangan kelas sosial bawah. Sama halnya seperti kasus
program televisi sebelumnya, acara ini turut menuai banyak pujian karena dinilai
membantu mereka yang terlilit hutang. Namun demikian, jarang sekali pihak yang
berpikir jika acara semacam ini justru “mempermalukan” pesertanya. Mereka
“ditelanjangi” dan dipermalukan dengan mengungkap besaran hutang yang
dimilikinya, ditonton ratusan juta pemirsa di tanah air, kemudian
diperlombakan: siapa yang menang akan dilunasi hutangnya. Padahal, lewat durasi
iklan selama lima hingga sepuluh menit saja, stasiun televisi ini dapat
melunasi seluruh hutang mereka yang diperlombakan. Hal yang kemudian membuat
acara ini menjadi sangat tidak humanis adalah skenario-skenario yang tampak
didramatisir, seakan di setiap episode baik host
maupun peserta “wajib” menitihkan air mata.
Berbagai acara serupa lain yang
turut menemui wujudnya sebagai bentuk eksploitasi kelas sosial bawah adalah
program-program dengan format game
‘permainan’ dengan peserta masyarakat miskin perkotaan. Mereka baru akan
memperoleh hadiah atau bantuan setelah memenangkan permainan yang dibuat
stasiun televisi tersebut. Pernah pula, terdapat satu acara televisi yang dulu
sangat terkenal dengan mengambil konsep “bedah rumah”. Acara ini tampaknya
humanis, namun ditilik secara sosiologis, apa yang dipertontonkan dalam acara
ini tidak hanya bagaimana rumah yang jelek kemudian berubah menjadi bagus,
tetapi juga “ke-kikuk-an” keluarga miskin kelas sosial bawah ketika dipindahkan
ke hotel berbintang saat rumahnya direnovasi. Kenyataannya, sikap mereka yang
lugu dan lucu akibat cultural lag
‘kesenjangan budaya’ dan cultural shock
‘keterkejutan budaya’ sengaja disajikan sebagai bahan hiburan—bagaimana mereka
tampak begitu kampungan.
Irasional
Ada satu kenyataan menarik
dalam dunia pesinetronan tanah air, ketika sang penulis cerita kehabisan ide,
maka jalan cerita sinetron akan beralih pada hal-hal bersifat irasional. Apa
yang ditampilkan kemudian adalah ruh, arwah, tokoh yang telah meninggal, pun
tak jarang pula hantu yang kemudian ikut mengintervensi jalannya cerita
sinetron. Tak dapat dipungkiri, eksplorasi ke arah demikian bersifat tak terbatas,
namun tentu tak mendidik dan tak mencerdaskan publik. Hal ini turut menunjukkan
kurang kreatifnya para penulis skenario tanah air, dan bagaimana tayangan yang
ada memang sekadar ditujukan bagi rating. Oleh karenanya, ketika pemirsa mulai
jenuh dan rating tayangan menurun, barulah sinetron-sinetron semacam ini
diakhiri.
Bias
Politik
Patut disayangkan, “demokrasi
media” tampaknya memang tak ditemui di tanah air. Hal ini terbukti lewat
berbagai stasiun televisi swasta yang selalu berafiliasi dengan partai politik
tertentu, bahkan satu partai politik dapat memiliki lebih dari stasiun
televisi. Kenyataan terkait jelas menyebabkan informasi yang tersiar ke publik
cenderung tidak netral dan bias politik. Sebagai misal bagaimana framing atau pembingkaian berita terhadap
suatu kejadian cenderung bersifat “menyerang” ataupun “melindungi” tokoh-tokoh
politik tertentu yang tengah menghadapi suatu kasus. Bentuk-bentuk pemberitaan
semacam ini tentu menimbulkan “kebingungan” pada masyarakat, bahkan tak menutup
kemungkinan menemui wujudnya sebagai provokasi yang dapat memicu timbulnya
situasi sosial-politik yang tak kondusif. Seyogianya, kepemilikan stasiun
televisi swasta diatur undang-undang sedemikian rupa agar kepentingan politik
tak mengontaminasi informasi yang nantinya dikonsumsi khalayak luas.
Rekomendasi
Selama pemerintah masih belum
bisa membatasi dan mengontrol penyiaran media-media tanah air, terutama media
swasta mengingat eksistensi pemerintah sendiri disokong oleh media-media
tersebut; maka seyogianya kita sebagai publik maupun individu memiliki basis
kognitif yang kuat untuk menangkal tayangan-tayangan yang tak mendidik, tak
mencerdaskan, pun cenderung menumpulkan nalar kritis. Sebagaimana diutarakan
Stuart Hall, terdapat tiga posisi audiens dalam menerima berbagai informasi
televisi. Pertama, posisi “dominan
hagemonik”, yakni mereka yang meyakini dan mengamini
begitu saja segala sesuatu yang dikatakan oleh media. Kedua, posisi “negosional”, yakni mereka yang tak sepenuhnya setuju
pada tayangan-tayangan televisi. Ketiga,
posisi “oposisional”, yakni mereka yang sepenuhnya tidak menyetujui informasi
televisi. Dalam hal ini, audiens yang cerdas dan kritis ditunjukkan oleh dua
posisi terakhir; negosional dan oposisional.
*****
Bacaan lanjutan;
Adian, Donny Gahral, 2006, Percik
Pemikiran Kontemporer, Kreasi Wacana.
Agger, Ben, 2006, Teori Sosial
Kritis, Kreasi Wacana.
Barker, Chris, 2009, Cultural Studies, Kreasi Wacana.
Thompson, John B, 2006, Kritik
Ideologi Global, IRCiSoD.
Wirodono, Sunardian, 2005, Matikan TV-mu!, Resist Book.
0 Comments:
Post a Comment