Wajah Pengungsi Gunung Agung
Gede Kamajaya
Pegiat Sanglah
Institute
Sejak
beberapa hari yang lalu Gunung Agung menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanik
bahkan rentang status dari siaga menjadi awas sangat cepat hanya terhitung
beberapa hari. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Kementerian ESDM melalui Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan status awas tersebut pada awak media
terhitung sejak 22 September kemarin. Buntut dari kondisi ini, PVMBG
merekomendasikan kepada masyarakat agar tidak melakukan aktivitas di sekitar
kawah Gunung Agung dan di seluruh area dalam radius 9 kilometer dari kawah puncak
Gunung Agung; serta ada perluasan sektoral ke arah Utara, Timur Laut, Tenggara
dan Selatan-Baratdaya sejauh 12 kilometer harus dikosongkan.
Desa-desa
di kaki Gunung Agung sebetulnya sudah mengungsi sebelum himbauan dari PVMBG
diumumkan secara resmi. Kekhawatiran mereka cukup beralasan. Tahun 1963 Gunung
Agung pernah memprorakporandakan desa mereka, tercatat 1.148 korban meninggal
dan 296 luka, belum terhitung harta benda mereka yang ludes kala itu. Trauma
kejadian tahun 1963 tentu masih membekas diingatan mereka, bahkan anak-anak
yang tidak mengalami langsung kejadian tersebut mewarisi cerita generasi
sebelumnya bagaimana gunung tertinggi di Bali tersebut menunjukkan
keganasannya. Derita, luka dan harapan yang pupus tentu ikut pula terwariskan
lewat tradisi lisan mereka. Trauma ini mendorong masyarakat di sekitar Gunung
Agung berbondong-bondong mengungsi sebelum himbauan resmi diumumkan dinas terkait.
Beberapa desa terdekat yang tidak terdampak langsung erupsi Gunung Agung menjadi daerah tujuan
utama para pengungsi. Tercatat sejak tanggal 21 September desa-desa di
Kecamatan Tejakula sudah mulai kedatangan para pengungsi. Jawa Post mencatat
hampir 11 ribu jiwa pengungsi mulai memasuki Buleleng, kebanyakan dari mereka
berasal dari Kecamatan Kubu.
Trauma
peristiwa tahun 1963 yang meluluhlantakkan desa mereka nampak dari wajah para
pengungsi, kekhawatiran, kerutan dahi, kepanikan dan tangis anak-anak seolah
menyiratkan betapa mereka hampir kehilangan harapan. Kepastian kapan kondisi
kembali seperti sediakala dan bisa berkumpul dengan sanak keluarga tidak bisa
dipastikan membuat kesedihan mereka kian mendalam. Kondisi ini mendorong
masyarakat dan jajaran prangkat desa dengan sigap menerima setiap para
pengungsi yang datang dengan fasiltas sebaik mungkin yang bisa mereka siapkan,
beberapa dari relawan bahkan berinisiatif untuk melakukan pendampingan untuk
memulihkan kondisi psikologis anak-anak dan lansia.
Pasca
status Gunung Agung meningkat ke level tertinggi dalam hitungan jam, hampir seluruh
masyarakat mulai bereaksi. Mereka membentuk pos-pos pengungsi secara pribadi,
menggalang dana, tidak kurang juga banyak pihak yang menyediakan lahan untuk
ternak bagi para pengungsi karena belakangan para tengkulak sedang memanfaatkan
kondisi ini untuk mengambil untung dengan membeli ternak para pengungsi dengan
harga sangat murah. Kenapa kondisi ini memunculkan simpati yang demikian cepat
dari berbagai lapisan masyarakat? Emmanuel Levinas dapat menjawabnya.
Wajah adalah Jejak yang Tak Terbatas
Wajah
yang dimaksud Levinas tidak mengacu pada definisi wajah sebagaimana kita pahami
yang mengacu pada bagian depan tubuh di mana tempat mata, hidung dan mulut; sebaliknya,
wajah merupakan sesuatu yang lebih abstrak namun sangat dalam, yakni
keseluruhan cara orang lain memperlihatkan dirinya kepada kita. Respon cepat
berbagai pihak atas pengungsi Gunung Agung adalah sebentuk tanggapan atas
kehadiran wajah para pengungsi, kehadirannya seolah tidak dapat diabaikan. Hal
ini terjadi karena orang lain atau manusia lain memperlihatkan dirinya dengan
cara berbeda dibandingkan dengan obyek-obyek lain. Pendeknya, banyak pihak
“terusik” oleh kehadiran orang lain karena ia memiliki wajah yang tidak dapat
diabaikan.
Tanggapan
semacam ini muncul tanpa kita perlu melihat atau mengalami sendiri bahwa orang
lain sungguh membutuhkan bantuan. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak
memiliki kepekaan semacam ini? Kata Levinas mereka yang tidak merasa “dituntut”
bertanggungjawab atas kehadiran wajah orang lain dikarenakan kelekatan kita
pada gagasan yang kita miliki mengenai orang lain seringkali membuat kita gagal
melihat para pengungsi Gunung Agung sebagai manusia. Sebagai misal kita
menganggap pengungsi Gunung Agung adalah beban, kelekatan semacam ini
mengantarkan kita pada kegagalan memahami wajah orang lain. Cara pandang
Levinas ini mengajak kita untuk mengalami pertemuan sejati dengan orang lain.
Lewat filsafat wajah ini, Levinas juga semakin mengongkritkan definisi etika
dari pembahasan sebelumnya oleh Ariestoteles, John Stuart Mill lewat utilitarianisme dan teori kewajiban
Immanuel Kant. Bagi Levinas, etika bukan hanya menyangkut baik-buruknya
tindakan tertentu, atau apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh kita lakukan
sebagai manusia, melainkan relasi yang lahir dari pertemuan konkret dengan
orang lain. Dengan kata lain, etika lahir dari pertemuan konkret dengan wajah
orang lain. Karenanya, pertemuan konkret dengan orang lain tidak dapat tidak
melahirkan tanggung jawab (responsibility).
Karena setiap manusia adalah jejak yang tidak terbatas, kematian dan derita
setiap manusia harusnya melahirkan lubang yang menganga bagi mereka yang
melihat dan ditinggalkan.
*****
Tags:
Gede Kamajaya
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment