Tentang
Letusan Gunung Berapi
Sedikit
Berbagi Pengalaman
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah Institute
Abu Vulkanik
Sebagai
orang Jogja yang telah tiga tahun lamanya menetap di Denpasar, saya bisa
dikatakan sudah cukup berpengalaman dengan letusan gunung berapi. Bagi mereka
yang tinggal di luar radius berbahaya, ihwal yang sarat diwaspadai adalah abu
vulkanik. Sudah berulangkali dalam hidup saya; pagi-pagi ketika membuka pintu,
lingkungan sekitar dan sejauh mata memandang, atap-atap rumah berikut jalanan;
semuanya tertutupi abu vulkanik menyerupai salju. Ini mengingat, Gunung Merapi
di Jogja yang selalu mengalami puncak keaktifan (erupsi) setiap dua hingga lima
tahun sekali.
Apabila
tanda-tanda hujan abu vulkanik sudah tampak, maka yang perlu dipersiapkan
adalah; (1) Masker, (2) Kertas koran, (3) Air, (4) Stok makanan, serta (5)
Jaringan internet. Masker jelas digunakan untuk melindungi saluran pernapasan
agar terhindar dari ISPA, kertas koran diperlukan untuk menutupi lubang-lubang
ventilasi rumah agar tak kemasukan abu vulkanik. Sedangkan air, di samping
untuk minum, juga digunakan untuk menyiram halaman dalam rangka mengurangi efek abu vulkanik. Soal stok makanan, saya
terbantu oleh retail-retail seperti Indomaret dan Alfamart yang tetap buka
meskipun seluruh wilayah Jogja diselimuti abu vulkanik—salut. Oh ya, usahakan juga
kendaraan selalu terisi bahan bakar sebelumnya. Adapun jaringan internet
diperlukan untuk terus mengikuti perkembangan letusan gunung berapi.
Di
Jogja, setiap Gunung Merapi meletus, Tim SAR (BASARNAS) dan para relawan selalu
menyediakan live streaming via internet
(website) untuk mengabarkan perkembangan
terkini menyangkut; arah guguran lava pijar, aliran lahar dingin, hembusan arah
angin yang membawa abu vulkanik, serta bilamana terjadi letusan-letusan susulan;
bahkan kita bisa secara langsung dan terus-menerus mendengarkan komunikasi
mereka lewat handy talkie (HT). Ini
mengingat, televisi dan radio yang tak mungkin menyiarkan perkembangan letusan
gunung secara terusan. Dahulu ketika saya menjadikan rumah yang terletak di
Jogja Selatan sebagai tempat mengungsi kawan-kawan UGM yang indekos di
sekitaran Jalan Kaliurang (Jogja Utara); kami sangat terbantu dengan adanya live streaming internet dari Tim SAR dan
para relawan, tak hanya itu saja, kami juga merasa “aman” karena dapat ikut
memantau perkembangan letusan vulkanik secara langsung dan terus-menerus—ketakutan manusia adalah ketakutan pada
hal-hal yang tak diketahui dan dikenalinya.
Mitos Dilawan
dengan Mitos
Ada
satu hal menarik ketika letusan Gunung Merapi terjadi beberapa tahun lalu. Masyarakat
Jogja (Sleman) yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana enggan mengikuti
arahan Ketua BMKG, Bapak Murono untuk segera mengungsi—saya lebih suka menyebut
beliau “Mbah Murono”, sebagai tandingan Mbah Maridjan. Namun uniknya, ketika
muncul awan berbentuk Petruk (anggota Punakawan dalam dunia pewayangan) dari Merapi,
masyarakat sekitar segera berbondong-bondong mengungsi. Mengapa? Ini
dikarenakan masyarakat Jawa memiliki mitos dan cerita tentang “Petruk Menuntut
Balas”. Dengan demikian, adakalanya diperlukan mitos agar masyarakat mau
mengikuti arahan pihak berwenang demi keselamatan mereka. Saya sepakat dengan
perkataan sosiolog J.F Warouw bahwa kini di dunia yang serba mengandalkan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, seyogianya kearifan lokal tetap
dipertahankan. Tugas kita kemudian adalah mengawinkan antara ilmu pengetahuan
modern dengan kearifan lokal agar saling mengisi satu sama lain. Ingat,
kehidupan modern bukanlah keharusan,
melainkan salah satu alternatif pilihan
saja.
Mengapa Mbah
Maridjan Memilih Menghembuskan Nafas Terakhir
bersama Hembusan
Awan Panas?
Hal
menarik lain dari letusan Merapi beberapa tahun lalu adalah Mbah Maridjan yang
bersikukuh untuk tetap tinggal dan memilih menghembuskan nafas terakhir bersama
hembusan awan panas Merapi—disebut wedhus
gembel (kambing gembel) karena awannya berbentuk seperti bulu kambing yang
tak terurus. Tak sedikit pihak yang menganggap Mbah Maridjan tolol, atau “mati
konyol”. Namun, analisis sosiologis menunjukkan pemahaman lain. Mengingat Mbah
Maridjan ditempatkan sebagai “juru kunci Merapi” yang dengan demikian mempunyai
status dan peran sebagai penjaga Merapi, maka justru menjadi hal yang memalukan
apabila Mbah Maridjan ikut mengungsi bersama masyarakat sekitar. Dengan kata
lain, martabat dan harga dirinya sebagai juru kunci justru akan jatuh di mata
masyarakat jika ia meninggalkan Merapi—juru
kunci yang takut pada yang dijaganya.
Dalam
perspektif sosiologi durkhemian, apa yang terjadi pada Mbah Maridjan dapat
disebut sebagai fenomena “bunuh diri akibat dukungan masyarakat” yang tergolong
dalam tipe bunuh diri altruis. Apa yang dilakukan Mbah Maridjan tak ubahnya tindakan
kapten kapal Titanic yang lebih memilih tenggelam bersama kapalnya ketimbang
diselamatkan. Hal ini mengingat, jika ia selamat sementara ribuan penumpang Titanic
mati tenggelam; ia justru akan dicemooh masyarakat seumur hidupnya—kapten harus tenggelam bersama kapalnya!
Terkait kasus Mbah Maridjan, terbukti hingga kini nama dan riwayat hidupnya
sebagai juru kunci Merapi tetap baik (baca: harum) di tengah masyarakat Jogja.
Ada Keberkahan di
Balik Letusan Gunung Berapi
Realitas
selalu sama, sudut pandang kita dalam menanggapinya lah yang berbeda-beda, atau
apabila kita menggunakan bahasa yang
lebih canggih mengutip Alfred Schutz: “Setiap manusia memiliki ‘makna
khusus’ terhadap setiap ‘realitas puncak’ yang disebut obyektivitas”. Letusan
gunung berapi tentu membawa beragam dampak kerugian seperti rusaknya tempat
tinggal dan berbagai bangunan lain, matinya ternak, kegagalan panen, serta
terganggunya aktivitas keseharian masyarakat. Namun, apabila kita menggunakan
sudut pandang lain, letusan gunung berapi bisa menjadi keberkahan tersendiri.
Saya selalu ingat perkataan ayah saya yang merupakan lulusan geologi: “Letusan
gunung berapi itu tandanya Tuhan sedang mengeluarkan seluruh kekayaan di perut
bumi agar bisa dimanfaatkan manusia”.
Dan
memang, hanya lewat letusan gunung berapilah, pasir dan segala macam bebatuan
muncul ke permukaan. Di Jogja misalkan, letusan Gunung Merapi tak lagi dianggap
sebagai ancaman atau “kutukan”. Letusan Merapi berarti akan semakin banyak dan
tersedianya pasir berikut bebatuan sebagai bahan bangunan, termasuk bakal semakin
murahnya harga berbagai material tersebut. Di samping itu, terbuka pula
lapangan kerja baru, yakni mereka yang hendak berprofesi sebagai bego atau “penambang pasir”—diambil dari
kata backhoe, menunjuk pada mesin
eskavator untuk menggali pasir. Dari segi pariwisata, bentang alam baru yang
diakibatkan letusan gunung berapi tak kalah menarik untuk dijadikan obyek
wisata baru, bahkan di Jogja muncul wahana wisata berupa “Lava Tour” dan
“Museum Hartaku” yang berisi sisa-sisa harta masyarakat lereng Merapi pasca
dihantam awan panas. Pun melalui sudut pandang ilmu pengetahuan modern,
berbagai material yang dimuntahkan gunung berapi adalah sumber kekayaan baru pengetahuan
yang tak ternilai harganya di bidang geologi sebagai bahan penelitian termutakhir.
Menilik
serangkaian “keberkahan” yang dapat hadir lewat batuknya gunung vulkanik sebagaimana dipaparkan di atas, sudah
sepatutnya kini kita bisa menyangsikan ucapan
penulis Perancis Albert Camus: “Bencana adalah evil karena ia membunuh siapa pun, tak peduli orang baik ataupun
jahat”; sebaliknya kita dapat berkata: “Gunung berapi tak pernah ingkar janji
menyejahterakan kita”. Semoga bermanfaat.
Denpasar, 23
September 2017; 08.54 AM.
*****
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
Berteman dengan bencana
ReplyDeleteRing fire of Indonesia :)
ReplyDelete