Homo Ludens Ilustration by Katrin Korfmann |
Problem Homo Ludens dan
Penciptaan Subyek Antikorupsi
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah
Institute
Disampaikan dalam Festival Integritas KPK
di Hotel Grand Mirah, Denpasar 11 Oktober 2017
Manusia sebagai Homo Ludens
Ada satu pandangan menarik dari
Johan Huizinga mengenai manusia sebagai “homo ludens”. Homo ludens berarti,
“manusia sebagai makhluk yang suka bermain-main”. Menurut Huizinga, segala
tindakan manusia terkerangka dalam aktivitas “permainan”. Penemuan-penemuan
penting dalam sejarah umat manusia misalkan, seperti bagaimana manusia primitif
menemukan cara untuk berkomunikasi melalui asap, hingga penciptaan-penciptaan
penting lain dalam dunia modern seperti kapal selam atau helikopter; tak lebih
sebagai aktivitas “coba-coba” manusia. Tak hanya itu saja, diplomasi
antarnegara bagi Huizinga juga menemui bentuknya sebagai tindakan “saling goda”
dan “saling jajal” antardiplomat untuk melancarkan kepentingan negaranya
masing-masing. Dalam dunia percintaan, mereka yang berselingkuh juga bisa
merepresentasi eksistensi manusia sebagai homo ludens—bermain dengan perasaan.
Hanya saja, aktivitas “permainan”
ini menjadi tak masuk akal dan berbahaya jika dilakukan di ranah pemerintahan
yang lekat dengan kekuasaan. Boleh jadi kita kerap bertanya tentang para koruptor
yang sudah memiliki harta melimpah namun tetap saja melakukan tindakan korupsi.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui perspektif homo ludens. Orientasi utama
dari para pelaku tersebut bukanlah uang atau kekayaan lagi, tetapi lebih kepada
“tantangan” untuk menjajal sistem: “Apakah saya akan ketahuan atau tidak?”. Dengan
kata lain, para koruptor ini dapat dikatakan sedang “bermain-main dengan
kekuasaan”.
Mengantisipasi Sistem sebagai Sebuah “Permainan”
Istilah “sistem” berasal dari
bahasa Yunani, Sustema dan bahasa
Latin, Systema yang berarti
keseluruhan atau kesatuan dari elemen-elemen yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan
keseluruhan atau kesatuan itu sendiri. Dan agaknya kita sepakat jika tak ada
satu pun sistem yang sempurna: dimana ada sistem, di situ selalu ada celah untuk
mengatasinya—kekurangan. Ilmuwan sosial asal Jerman, Max Weber menyatakan
diperlukannya “rasionalisasi” untuk mereduksi kecacatan sistem, terutama sistem
birokrasi. Upaya rasionalisasi sistem salah satunya ditunjukkan lewat upaya
“impersonalisasi” sistem.
Sistem haruslah bersifat tak
personal dan tak emosional, berada di luar individu dan berjarak darinya. Hal
ini mengingat, jika sistem tak berjarak dari individu, bahkan melekat pada
individu, berbagai penyalahgunaan wewenang dapat terjadi. Ini dikarenakan,
kecenderungan individu yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai sistem
itu sendiri—aku adalah sistem—sehingga apa yang diperbuatnya seolah
merepresentasi dari sistem itu. Semisal pernyataan Louis IV yang terkenal: “L’etat c’est moi!” (“Negara adalah
aku!”), atau bagaimana setiap pidato Soekarno ditempatkan sebagai GBHN (Garis
Besar Halauan Negara) yang saat itu bernama Manipol/USDEK (Manifesto Politik,
Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin;
Kepribadian Bangsa Indonesia)—seolah dapat direduksi: kepribadian Soekarno
adalah kepribadian seluruh bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, menjadi harga
mati bagi setiap institusi negara untuk bekerja berdasarkan undang-undang.
Segala bentuk tindakan atau aktivitas di luar undang-undang, SOP (Standar
Operasional Prosedur), dan lain sejenisnya; dapat dinyatakan sebagai
“malpraktek” atau “mal-Administrasi” yang bisa diasumsikan mengarah pada
kecenderungan perilaku koruptif. Tegas dan jelasnya, sistem (undang-undang)
harus bisa mengatasi individu, ia tak boleh ditempatkan di bawah individu, juga
tak boleh ditempatkan setara dengannya. Ini sebagaimana ide J.J Rousseau dalam Du Contract Social.
Modal Sosial sebagai Tantangan
Sistem
Mengutip George Junus Aditjondro:
“Korupsi tak mungkin dilakukan seorang diri”. Tindakan korupsi menunjukkan
secara jelas bagaimana “modal sosial” bekerja. Terdapat tiga prinsip utama
dalam modal sosial, yaitu trust
‘kepercayaan’, networking ‘jaringan
kerja’, serta reciprocity
‘timbal-balik’ (saling menguntungkan). Dalam hal ini, dapat ditilik bagaimana
relasi sosial yang dibangun dari aktivitas korupsi menggunakan ketiga prinsip
modal sosial tersebut. Seorang aktor korupsi mempercayai aktor-aktor korupsi lainnya,
hubungan antara mereka pun menemui wujudnya sebagai jaringan kerja; dan yang
tak kalah penting adalah hubungan timbal-balik dalam aktivitas ini, yakni
keuntungan yang didapatkan masing-masing.
Lebih jauh, hal di atas menunjukkan
sisi negatif modal sosial sebagaimana diutarakan Pierre Bourdieu dan Robert
Putnam, yakni jaringan sosial yang bersifat “menutup” dan “eksklusif”. Tidak
semua orang dapat memasuki jaringan ini, apa yang dilakukan jaringan ini
sekadar menguntungkan mereka dan merugikan pihak-pihak di luarnya. Mereka
membuat sistem dalam sistem yang bersifat ilegal, sebentuk “pemufakatan jahat”.
Lebih jauh, “keberhasilan” terbentuknya jaringan ini dapat dijelaskan melalui
pemikiran habitus Pierre Bourdieu melalui rumus sebagai berikut,
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktek
“Habitus” adalah struktur
kognitif pelaku korupsi, terlebih pelaku utama. “Modal” dalam hal ini mengambil
empat bentuk; modal sosial, modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolik. Modal
sosial dapat ditempatkan sebagai jaringan pelaku korupsi, semisal aktor-aktor
lain yang sepakat untuk terlibat dalam aktivitas korupsi. Modal ekonomi adalah
kemampuan finansial pelaku korupsi untuk menyuap pihak lain guna melancarkan
aksinya. Modal kultural adalah basis budaya yang menganggap tindakan korupsi
sebagai hal yang lumrah, sedangkan modal simbolik adalah status sosial pelaku
korupsi yang dimanfaatkan untuk melegitimasi tindakannya. Lebih jauh, “ranah”
adalah tempat dimana “permainan” (modal-modal) berlangsung, sedangkan “praktek”
adalah keberhasilan atau ketidakberhasilan dilakukannya tindakan korupsi.
Satu-satunya upaya guna mengatasi persoalan ini (habitus korupsi) adalah dengan
menciptakan habitus baru.
Konstruksi Sosial “Budaya Korupsi”
Peter L. Berger dalam karyanya
yang berjudul The Social Construction of
Reality berusaha menelisik bagaimana suatu konstruksi sosial dapat
tercipta. Baginya, hal tersebut tak terlepas dari proses eksternalisasi,
internalisasi, dan obyektivasi. Sebagai misal, suatu pengetahuan yang dimiliki
masyarakat lokal pada awalnya merupakan pengetahuan yang diproduksi para primus interpares (orang-orang berpengaruh
dalam masyarakat)—eksternalisasi,
kemudian pengetahuan tersebut diamini
atau diterima oleh masyarakat—internalisasi,
pada akhirnya pengetahuan itu pun menjadi milik bersama dan diwariskan secara
turun-temurun tanpa dipertanyakan—obyektivasi.
Dalam ranah korupsi di tanah air,
Soeharto dan para kroninya di era Orde Baru dapat ditempatkan sebagai primus interpares dalam konteks ini,
kemudian para bawahannya, yakni pejabat pemerintahan baik di tingkat pusat
hingga daerah mengadopsi atau meniru perilaku koruptif tersebut; ini sekaligus
memberikan contoh pada masyarakat luas. Pada akhirnya, perilaku korupsi pun dianggap
sebagai hal yang lumrah dan wajar, berikut membudaya. Lebih jauh, dikarenakan
budaya korupsi ini pada awalnya muncul dari sosok primus interpares koruptif yang kuat, maka guna melawannya
diperlukan sosok primus interpares
antikorupsi yang kuat pula dalam rangka menciptakan budaya baru, yakni budaya
antikorupsi.
Penciptaan Subyek Antikorupsi
Kerapkali kita menempatkan
moralitas di luar diri kita, dan bergantung padanya. Moralitas yang dimaksud di
sini termasuk undang-undang, aturan, norma, dan lain sejenisnya yang mengatur cara
manusia berperilaku. Dari sini kita dapat bertanya, semisal: “Apakah seseorang yang tidak mencuri ... itu
dikarenakan tahu bahwa mencuri adalah tindakan tercela, atau karena ia takut
dipenjara?”. Dengan kata lain, jika tak ada sanksi dari tindakan mencuri,
maka ia sudah pasti akan mencuri (bisa juga membunuh, dan lain sebagainya). Apabila
memang demikian, maka dapat dinyatakan bahwa orang tersebut menempatkan
moralitas di luar dirinya, sementara dirinya sendiri tak menjadi “subyek
moral”.
Persoalan serupa ditemui pula
dalam fenomena korupsi, mengidolakan dan menggantungkan diri pada tokoh-tokoh
antikorupsi memang baik, namun alangkah lebih baiknya jika kita menjadi “subyek
antikorupsi” itu sendiri. Jika kita telah mampu menjadi subyek antikorupsi,
maka kita tidak melakukan tindakan korupsi hanya karena kita dilarang melakukannya,
atau karena memahami bakal menuai sanksi dari tindakan tersebut; melainkan
karena kita benar-benar memahami jika tindakan korupsi adalah perilaku tercela lagi tak terpuji. Namun tak dapat
dipungkiri, cara termudah untuk menjadi subyek antikorupsi dapat dimulai lewat
mengimitasi diri pada subyek-subyek antikorupsi lain hingga melahirkan “identifikasi
diri” sebagai subyek antikorupsi otonom.
*****
Bacaan lanjutan;
Aditjondro,
George Junus. 2010. Membongkar Gurita
Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century. Yogyakarta: Galang Press.
_____________________________,
2011. Cikeas kian Menggurita.
Yogyakarta: Galang Press.
Berger,
Peter L. & Thomas Luckmann. 2011. Tafsir
Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:
LP3ES.
Field, John. 2014. Modal Sosial.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Gombrich, E.H. 1973. Huizinga’s
Homo Ludens. Cambridge: Historical Review.
Harker,
Richard [et.al]. 2005. (Habitus x Modal)
+ Ranah = Praktek. Yogyakarta: Jalasutra.
Intan,
Nurjannah, Sigit Suryanto & Yuni Dasusiwi. 2010. Salahkah George Berantas Korupsi?. Yogyakarta: JB Publisher.
Weber, Max. 2009. Sosiologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment