Kearifan Lokal
Menantang Mimbar Ilmu Pengetahuan Modern
Wahyu Budi Nugroho
Pegiat Sanglah
Institute
Disampaikan dalam Workshop Aktivis Nalar USC (Udayana Science Club)
di Gedung Agrokompleks, Univ. Udayana, Denpasar pada 15 Oktober 2017
Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Kiranya, kita perlu terlebih
dahulu mendefinisikan apa itu pengertian “pengetahuan” dan “ilmu pengetahuan”.
Secara sederhana, pengetahuan dapat didefinisikan sebagai “segala wawasan yang
kita peroleh dari kehidupan sehari-hari”. Sebagai misal, Newton yang mengetahui
bahwa benda (baca: apel) jatuh dari atas ke bawah; itu adalah pengetahuan.
Bahkan, apabila kita mengetahui jika Raisa menikah dengan Hamish Daud dan
menyebabkan “hari patah hati nasional”; itu pun adalah pengetahuan. Lantas, apa
perbedaannya dengan ilmu pengetahuan? Dalam hal ini, ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan yang telah melalui serangkaian proses pengilmiahan tertentu
sehingga ia dapat disebut sebagai “ilmu pengetahuan”.
Dalam upaya menjadi sebuah ilmu
pengetahuan, pengetahuan harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain; logis-rasional,
obyektif, sistematis, serta prediktif. Logis-rasional artinya dapat dijelaskan
dengan akal sehat, obyektif berarti kebenaran yang tak terletak pada subyek
tertentu, melainkan dapat diuji dan dibuktikan oleh banyak pihak. Sistematis
berarti ilmu pengetahuan disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam hal ini kesesuaian antara “segitiga
emas” berupa teori, metode, dan obyek penelitian yang dikaji. Terakhir, prediktif,
artinya ilmu pengetahuan harus memiliki daya ramal terhadap suatu fenomena—bisa
terjadi, bisa tidak—berdasarkan data-data yang diperoleh dari kenyataan.
Mengilmiahkan Kearifan Lokal
Apabila kita menilik serangkaian
karakter ilmu pengetahuan di atas, agaknya menjadi sulit bagi kearifan lokal
untuk memenuhinya. Umumnya, indigenous
‘kearifan lokal’ dicirikan dengan karakternya yang irasional (tak logis),
subyektif, nonsistematis, serta minim prediktif. Kearifan lokal yang sejatinya
memang berasal dari pengetahuan masyarakat itu sendiri, lahir secara oral dari
ucapan para leluhur, kemudian diwariskan secara turun-temurun pula secara oral,
meski sebagian masyarakat juga menuliskannya, namun jikapun berbagai manuskrip
tersebut masih bisa ditemui sampai sekarang, sifatnya sangat terbatas dan umumnya
tercecer. Kenyataan ini turut menunjukkan tak terpenuhinya dimensi “sistematis”
dalam ilmu pengetahuan.
Begitu pula, seringkali kearifan
lokal yang mewujud dalam ucapan-ucapan bijak leluhur sangat sulit dibuktikan
secara ilmiah, pun diterima akal sehat. Ucapan-ucapan tersebut tak ubahnya
seperti “doktirn” yang harus diterima begitu saja tanpa perlu dipertanyakan.
Dengan demikian, di samping tak logis, kearifan lokal juga dinilai subyektif
karena lahir dari para primus interpares,
yakni orang-orang berpengaruh atau tokoh-tokoh kharismatik di masanya.
Terakhir, dimensi prediktif dalam ilmu pengetahuan. Sarat diakui, bebeberapa
kearifan lokal memiliki dimensi prediktif, hanya saja masih sangat minim.
Semisal pengetahuan lokal masyarakat kaki gunung berapi yang menyatakan bila
hewan-hewan bermigrasi turun gunung, maka letusan akan segera terjadi. Berpijak
pada berbagai karakter kearifan lokal ini, pertanyaannya kemudian adalah,
masihkah kearifan lokal mampu menunjukkan taringnya di tengah mimbar ilmu
pengetahuan modern.
Kearifan Lokal Menantang Ilmu Pengetahuan Modern
Kenyataannya, ilmu pengetahuan
modern yang lahir melalui renaissance
‘Pencerahan Eropa’ menuai berbagai kritik di berbagai tempat. Bahkan tak
sedikit pihak yang menganggap “janji-janji Pencerahan” hanyalah mitos belaka. Pengutamaan
rasio (akal budi) yang dipercaya bakal menuntaskan beragam persoalan hidup
manusia, pun membawa manusia pada kebaikan hidup; justru berlaku sebaliknya. Ilmuwan
sosial seperti Ulrich Beck misalnya, menggunakan istilah “masyarakat beresiko”
guna menggambarkan kondisi masyarakat dunia saat ini; yakni bagaimana segala
aktivitas manusia di era sekarang selalu menyimpan resiko tersendiri, baik
dalam kegiatan produksi maupun konsumsi. Anthonny Giddens menggunakan istilah high risk atau “resiko tinggi” untuk
merepresentasikan konstelasi sosial serupa seperti yang dimaksudkan Beck.[1]
Lebih jauh, Giddens mengungkap
“resiko tinggi” dalam tiga hal; Pertama,
kemungkinan gagal panen yang dapat menyebabkan bencana kelaparan skala masif di
seluruh dunia akibat penggunaan senyawa kimia dalam pertanian—menyebabkan hama
dan virus yang muncul kemudian kian tangguh. Kedua, kian menipisnya lapisan ozon akibat efek rumah kaca; serta Ketiga, kemungkinan terjadinya perang
nuklir (totally nuclear war) akibat
perkembangan pesat teknologi persenjataan yang tak terkontrol. Ketiga hal
tersebut sebagaimana diungkapkan Giddens, dapat berekses pada punahnya umat
manusia, dan kesemua ini tak lain adalah buah dari pengutamaan rasio yang
dibawa ilmu pengetahuan modern.[2]
Faktual, berbagai ekses negatif
dari ilmu pengetahuan modern menyebabkan digalinya kembali nilai-nilai kearifan
lokal dalam rangka mewujudkan kembali kehidupan yang berkesinambungan.
Jargon-jargon seperti back to nature ‘kembali
ke alam’ pun menjadi populer, kini dunia pengetahuan modern mulai melirik ide-ide
indigenous yang telah terbukti dan
teruji mengawal kehidupan yang harmonis antara manusia, alam, dan hewan sebelum
kemunculan ilmu pengetahuan modern. Marak bermunculannya pertanian dan
peternakan organik dewasa ini dapat menjadi contoh nyata bagaimana cara-cara
tradisional kembali dihidupkan dan diterapkan—meskipun kritik masih juga bisa
kita layangkan terhadapnya.
Sintesis Kearifan Lokal dengan Ilmu Pengetahuan Modern:
Posmodernitas sebagai Jalan
Lantas, dimanakah kearifan lokal
dapat mengambil posisi di tengah mimbar ilmu pengetahuan modern. Sebelum
menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami arus pemikiran posmodern yang
dapat memberikan tempat bagi pengetahuan-pengetahuan “di luar modern”, dan
memang, arus pemikiran posmodern sendiri menjadi salah satu yang terdepan
mengkritik pemikiran-pemikiran modern. Posmodern(itas) memberikan ruang bagi
irasionalitas, lokalitas, serta temporalitas; singkatnya berbagai dimensi yang berseberangan
dari modernitas. Pada gilirannya, dengan memanfaatkan logika posmodern, kearifan
lokal pun dapat memperoleh ruang.
Namun demikian, terlalu musykil
mengharapkan kearifan lokal membangun basis epistemologi ilmu pengetahuannya
sendiri. Layaknya posmodernitas yang juga menyimpan celah di sana-sini, ia
hanya bisa ditempatkan sebagai salah satu alternatif pemikiran tanpa bisa
menjadi arus utama. Dengan demikian, menjadi tidak tepat apabila kita sama
sekali berpikir untuk menggantikan ilmu pengetahuan modern dengan kearifan
lokal mengingat terdapat satu warisan renaissance
yang tak terbantahkan hingga kini, yaitu “rasionalisasi”.
Hal terbijak sekaligus teroptimal
yang bisa dilakukan adalah “mengawinkan” antara kearifan lokal dengan ilmu
pengetahuan modern. Manifestasi perkawinan
ini mewujud lewat upaya penafsiran kearifan lokal secara rasional meskipun tak
semua ide-ide indigenous dapat dirasionalkan.
Setidaknya, ini dapat menghindarkan kita dari kooptasi total ilmu pengetahuan
modern yang “garing” dan tak berperasaan.
Dengan demikian, layaknya arus pemikiran posmodern, kearifan lokal dapat kita
tempatkan sebagai pengawal ilmu pengetahuan modern guna mengisi berbagai celah
dan kekosongan yang terdapat di dalamnya, pun mengingat manusia sebagai makhluk
yang selalu mempertanyakan identitas dan kediriannya[!].
*****
Bacaan lanjutan;
Agger, Ben. 2006. Teori Sosial
Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Beck,
Ulrich. 2015. Masyarakat Resiko: Menuju
Modernitas Baru. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Giddens,
Anthony. 2005. Konsekuensi-konsekuensi
Modernitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Robinson, Dave. 2002. Nietzsche
dan Posmodernisme. Yogyakarta: Jendela.
Schumacher, E.F. 1979. Kecil itu
Indah. Jakarta: LP3ES.
Suriasumantri,
Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
[1]
Para pemikir lain yang juga terkenal melancarkan kritik terhadap ilmu
pengetahuan modern, antara lain; Martin Heidegger, Max Horkheimer, Theodor W.
Adorno, Herbert Marcuse, Michel Foucault, serta E.F Schumacher.
[2]
Hal ini dapat dijelaskan pula lewat narasi ilmu pengetahuan eksakta (ilmu
pasti) yang memisahkan diri dari filsafat. Keterpisahan tersebut menyebabkan
ilmu-ilmu pasti berjalan sendiri tanpa sentuhan kemanusiaan sehingga pada
akhirnya berdampak pada dehumanisasi serta kering dan kerontangnya disiplin-disiplin
eksakta—tanpa perasaan.
Tags:
Wahyu Budi Nugroho
...Adalah Sebuah Lingkar Studi; Adalah Sebuah Institut Untuk Pengkajian Dan Pengembangan Kajian-Kajian Bernuansa Mikrososial. Sanglah Institute (SI) Meyakini Potensi Kreatif Aktor Untuk Melakukan Perubahan Atau “Perbedaan” Sosial, Bahkan SI Meyakini Perubahan Sosial Selalu Berada Di Tataran Individual. Apa Yang Ditawarkan SI Adalah Pemberdayaan Individual, Sedangkan Produk Yang Dihasilkan SI Adalah Gerakan Individual. SI Adalah Suatu Aliran, Mazhab, Lebih Jauh: SI Adalah Cara Berpikir.
0 Comments:
Post a Comment