Briant Nor Pradhuka

Dosen Ilmu Komunikasi UNUD


Berangkat dari salah satu konten Instagram @awamprakoso yang diunggah pada 8 Januari 2025, menyampaikan betapa pentingnya sebuah hubungan kedekatan emosional antara orang tua dengan anaknya, yang dibangun melalui “komunikasi obrolan kosong”, ini mendapatkan banyak umpan balik dari masyarakat digital Instagram. Sejauh ini pada Kamis 23 Januari 2025, pukul 07.00 WITA, masyarakat digital Instagram merespon dengan 67,7K menyukai konten, 20,4K akun membagikan konten, dan 581 memberikan respon komentar. Dari pendapat masyarakat digital melalui komentar, mayoritas setuju, memberi dukungan, dan menceritakan pengalaman mereka saat menjadi anak serta peran mereka ketika menjadi orang tua bahwa “komunikasi obrolan kosong” ini sangat berdampak dan memberikan kedekatan emosional hubungan antara orang tua dengan anak.

 

Sama seperti yang dialami oleh penulis, bahwa bisa sangat bersyukur karena diberikan kesempatan memiliki kedua orang tua yang senantiasa mengajak anak-anaknya untuk berkomunikasi dengan “obrolan-obrolan kosong” sedari dini. Bapak dan Ibu penulis selalu memberikan waktu dan kesempatan kepada anak-anaknya untuk menceritakan apa saja yang dialami selama sekolah, sepulang bermain dengan teman-teman, menyampaikan apa saja yang dialami dan dirasakan dari SD sampai kuliah. Dan bahkan sampai saat ini pun secara sukarela anak-anaknya selalu menyampaikan hal-hal kecil dan luar biasa kepada orangtuanya. Meminta saran, pertimbangan, obrolan basa-basi, bercanda menjadi hal-hal keseharian komunikasi dalam keluarga ini. Dari pengalaman ini, penulis merasakan kedekatan emosional yang baik dengan keluarganya.

 

Dalam Instagramnya, @awamprakoso menyampaikan “obrolan kosong” adalah percakapan ringan, tidak produktif, basa-basi tanpa ada tujuan atau topik yang bermakna. Ibaratnya seperti obrolan dengan teman, obrolan ringan tanpa beban. @awamprakoso juga menyampaikan bahwa “obrolan kosong” ketika dipraktikkan sejak dini kepada anak-anak, memiliki manfaat menguatkan bonding (hubungan kuat, intim, dan mendalam) antara orang tua dengan anaknya. Anak-anak tidak khawatir akan dinilai, diceramahi, dinasehati, dan dihakimi. Pengalaman penulis juga sama seperti apa yang disampaikan @awamprakoso, kedekatan penulis dengan orang tuanya begitu asyik dan nyaman. Hubungan mereka begitu dekat dan akrab. Segala hal yang dialami oleh penulis dan saudaranya, bisa disampaikan dengan baik kepada orang tuanya, tanpa rasa takut dihakimi dan diadili. Salah satu keberhasilan orang tua adalah bisa membangun hubungan baik dengan anak-anaknya. Dari hubungan baik inilah, orang tua bisa leluasa memberikan edukasi dan informasi yang bisa diterima baik oleh anak-anaknya untuk kebaikan mereka.

 

Selain bonding orang tua kepada anaknya, “obrolan kosong” memberikan beberapa manfaat, seperti yang penulis alami, yaitu timbulnya rasa hangat, sayang, nyaman, dan percaya kepada orang tua; Meningkatkan rasa mandiri, pencaya diri, tanggung jawab, dan tangguh; Mengurangi perilaku negatif dan meningkatkan prestasi; Menguatkan ketahanan mental. Manfaat-manfaat tersebut muncul dari hubungan hangat melalui proses intensitas komunikasi antara anak dan orang tua penulis. Hubungan hangat ini sangat membantu membangun sikap saling percaya, saling mendukung, dan saling mengkuatkan. Hal ini sebenarnya sangat relate menjadi salah satu langkah penyelesaian permasalahan apabila dikaitkan isu-isu problematika yang dialami oleh generasi remaja “Gen Z”, yang mungkin masih belum terbangun hubungan hangat dan intiim dengan orang tuanya.

 

Dalam beberapa jurnal dan artikel penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang dialami oleh Gen Z, permasalahan tersebut seperti kesehatan mental (over thinking atau kecemasan, kekhawatiran, & ketakutan), kecanduan hal-hal negatif (sosial media, pornografi, judi online, dan obat-obatan), sikap kasar dan temperamental, susah fokus, cyber bullying, tekanan sosial, dan beberapa permasalahan lainnya. Dari problematika-problematika tersebut, peran dan andil orang tua sebagai orang terdekat sangat diperlukan untuk meminimalisir, bahkan meredamkan permasalahan-permasalahan tersebut. Dimulai dengan “obrolan kosong” dengan tujuan menciptakan hubungan hangat. Lantas bagaimana jika orang tua belum menerapkan “obrolan kosong” kepada anaknya? Sesegera mungkin menyampaikan “obrolan kosong” dengan pendekatan melaui langkah-langkah “penetrasi sosial”.

 

Penetrasi sosial merupakan konsep teori yang diajukan oleh 2 ahli psikologi yaitu Irwin Altman dan Dalmas Taylor pada tahun 1973. Teori ini menyampaikan bahwa hubungan interpersonal berkembang melalui pengungkapan diri yang berakhir sebagai teman baik. Melalui tahap-tahap hubungan yang teratur (seperti lapisan bawang), hubungan akan terbanun dan berjalan dari proses hubungan pendekatan, hingga terjalin hubungan hangat yang intim diantara keduanya. Beberapa step atau tahapan dalam teori ini, diawali dengan tahap orientasi, tahap penjajakan, tahap pertukaran afektif, sampai tahap pertukaran stabilitas.

 

1.    Tahap Orientasi

Tahap orientasi adalah tahap komunikasi awal antara anak dengan orang tua. Dalam tahap ini, bisa dimulai dengan orang tua berinisiatif mulai membuka obrolan dengan anaknya, menanyakan tugas sekolah atau kegiatan ekstrakurikuler. Penting juga di awal proses ini menambahkan konteks “obrolan ringan”. Obrolan ringan dengan maksud berkomunikasi dengan lembut, nyaman, tanpa menghakimi dan menilai. Dari Langkah awal ini hubungan antara anak dan orang tua yang sebelumnya dingin bisa akan sedikit mencair dan mulai ada menumbuhkan benih rasa nyaman dan percaya.

 

2.    Tahap Penjajakan

Tahap penjajakan adalah tahap keterbukaan antara anak dengan orang tua. Ketika anak sudah mulai sedikit nyaman, mereka akan mulai membuka sedikit lebih mendalam terkait perasaan mereka. Mereka akan secara otomatis akan menceritakan tentang teman-teman dan kondisi disekolah, meskipun belum menyampaikan hal-hal pribadi anak. Ketika sudah terbangun rasa sedikit nyaman, diperlukan juga peran orang tua untuk men-treatment lebih dalam “komunikasi obrolan kosong”. Misal dengan memulai memberikan kesempatan anak untuk berkomunikasi tanpa menghakimi, memeluk mereka sambil bercanda. Dari Langkah-langkah ini anak akan lebih nyaman dan percaya kepada orang tuanya. Kalau anak sudah remaja dewasa, perlakukan anak seperti sahabat karib.

 

3.    Tahap Pertukaran Afektif

Tahap pertukaran afektif adalah tahap awal kedekatan antara anak dengan orang tua. Seiring berjalannya waktu, anak mulai nyaman berkomunikasi dengan orang tua mereka menyampaikan masalah-masalah emosi mereka. Mereka akan cerita terkait dengan kecemasan, frustrasi, kebingungan, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Dari sini orang tua mulai lebih memahami sisi emosional anak. Sangat penting peran orang tua memberikan dukungan, nasehat, motivasi, dan semangat untuk mereka.

 

4.    Tahap Pertukaran Stabil

Tahap pertukaran stabil adalah tahapan ketika terbangun hubungan hangat intim antara anak dengan orang tua. Dalam hal ini anak lebih sangat terbuka dan sangat nyaman kepada orang tua. Mereka senangtiasa menyampaikan permasalahan-permasalahan dan isu-isu sensitif yang dialaminya. Penting kaitannya peran orang tua untuk selalu dekat, mendukung, memotivasi, merangkulnya, dan selalu hadir untuk menguatkan serta memberikan motivasi dan hal-hal baik untuk anaknya.

 

*****

[pic: cnnindonesia.com]

Briant Nor Pradhuka

Dosen Ilmu Komunikasi UNUD


Tak sedikit keluarga di tanah air yang memiliki kultur memajang foto keluarga di sudut sosial rumah, seperti ruang keluarga, ruang tamu, dan ruang makan. Hal ini sudah dilakukan dan bahkan secara alami menjadi kebiasaan dan warisan bagi anak yang nanti akan memiliki keluarga kecil barunya. Foto keluarga adalah foto yang menampilkan visual anggota keluarga yang pada umumnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak (foto keluarga kecil). Sering juga foto keluarga hadir dengan anggota keluarga yang lebih kompleks dan lebih besar, seperti tambahan hadirnya kakek, nenek, paman, bibi, keponakan, dan cucu. Foto keluarga yang sering mengisi sudut rumah, biasanya di produksi dalam momen-momen spesial seperti pada hari besar perayaan agama, pernikahan, ulang tahun, dan momen special lainnya. Selain itu, beberapa keluarga memajang foto mereka dari hasil liburan, wisuda, dan foto studio.

 

Dalam perspektif ilmu komunikasi, foto keluarga merupakan sebuah media yang memiliki pesan dan makna melalui simbol-simbol visual. Seperti yang diungkapkan oleh Marshall McLuhan seorang filsuf dan teoretikus media yang terkenal dengan gagasan-gagasannya yang revolusioner tentang bagaimana media memengaruhi masyarakat dan budaya, bahwa “The medium is the message”. Menjadi sebuah medium, foto keluarga dalam hal ini memiliki pesan tersendiri dari nilai visualnya, seperti membawa narasi cerita, menghadirkan emosi-emosi yang diabadikan, dan adanya identitas keluarga yang kuat dari visual yang dibuat ini.

 

1.  Narasi cerita foto keluarga: foto keluarga menghadirkan setiap kisah dan narasi unik. Seperti ketika foto itu dibuat atau diproduksi, ada beberapa momen yang terjadi pada waktu itu hadir menjadi sebuah narasi atau cerita dalam foto tersebut. Misalnya, foto keluarga yang dibuat dalam waktu anak pertama lahir, ulang tahun pernikahan kakek & nenek, pernikahan kedua paman atau bibik, dan momen-momen lainnya. Begitupun pasca foto itu dibuat, dalam waktu 10 tahun lebih berlalu, atau 5 tahun waktu sebelum itu foto keluarga dibuat, maka dokumen tersebut menjadi artefak yang sangat bernilai bagi keluarga. Foto keluarga selalu akan membawa kisah dan menghadirkan narasi-narasi bagi sipemilik.

 

2.  Emosi yang hadir dalam foto keluarga: dipajang dalam ruang sosial rumah, foto keluarga menghadirkan sisi sensitif bagi pemiliknya. Foto keluarga memiliki simbol-simbol visual yang kuat menggambarkan tentang ikatan emosional, seperti rasa cinta, kebersamaan, dan solidaritas antar anggota keluarga. Meskipun dirasa bahwa foto keluarga kurang berdampak secara langsung, namun dampak tentang emosi ini akan mulai dirasakan apabila salah satu dari anggota keluarga tersebut sedang pergi dan berpulang kepada-Nya.

 

3. Identitas dalam foto keluarga: foto keluarga menjadi identitas yang menggambarkan hubungan dan relasi disetiap anggotanya. Seperti, sebagai seorang anak, sebagai seorang orang tua, atau sebagai seorang saudara. Foto keluarga kaitannya dengan identitas juga menjadi “penanda generasi” tertentu dalam bagian silsilah, dimana seseorang dapat melihat hubungan keluarga tersebut dengan generasi sebelumnya, dan nantinya keluarga tersebut juga akan warisan visual tersebut untuk generasi berikutnya (artefak silsilah keluarga).

 

Berbicara mengenai foto keluarga, dokumen visual ini memiliki dampak atau impresi bagi pemiliknya. Beberapa impresi diantaranya adalah:

 

1.  Meningkatkan identitas diri: dalam hal ini foto keluarga membantu masing-masing dari anggotanya merasakan saling memiliki dan melengkapi. Seperti layaknya keluarga, mereka memiliki peran dan nilai. Bapak atau Ibu menjadi kepala keluarga (tergantung konteks), anak menjalankan tugas, kewajiban, dan mendapatkan haknya dalam bagian keluarga, serta peran dan kehadiran mereka dalam anggota keluarga yang lebih besar.

 

2. Meredakan stress dan membangkitkan emosi positif: selain menambah estetika dalam sudut rumah, impresi yang dibuat oleh foto keluarga, salah satunya adalah menghadirkan perasaan nyaman, aman, dan nostalgia terhadap momen hangat yang memorable. Seperti foto keluarga membantu meredamkan perselisihan kecil yang terjadi dalam anggota keluarga. Dengan melihat dokumen visual kenangan bersama, dalam momen-momen indah yang terekam, membantu mengurangi tekanan dan emosi dari perselisihan tersebut. Melihat foto anak pertama saat lahir, dapat mengembalikan kenangan hangat dan momen kebahagiaan bagi bapak dan ibunya. Foto anak liburan dan bermain waktu kecil membantu meredakan perselisihan antar saudara.

 

3. Mendorong keintiman dan kebersamaan: foto keluarga bisa menjadi simbol hubungan emosional yang erat, terutama ketika anggota keluarga sedang pergi atau tidak dalam tempat bersama dengan anggota keluarga yang lainnya. Foto keluarga selalu mengingatkan bahwa kehadiran dan memori anggota tersebut selalu ada dalam rumah tersebut. Dari visual ini juga, dapat menunjukkan keterikatan dan rasa saling memiliki, meskipun dari anggotanya tersebut sedang berada jauh dari tempat dia mengumpulkan kenangan.

 

4. Memperkuat koneksi antar generasi: impresi foto keluarga lainnya adalah menjadi sarana berbagi cerita lintas generasi, dari kakek-nenek, anak, cucu hingga buyut (cicit). Sama halnya seperti artefak (bukti peninggalan), peran foto keluarga bagi pemiliknya adalah menjadi medium yang sangat kuat akan pesan dan historisnya. Sebagai medium, dengan simbol-simbol yang dihadirkan melalui visual mampu membawakan setiap narasi yang bisa disampaikan kepada orang yang akan mewarisinya. Seperti menunjukkan betapa hebatnya sosok kakek buyut waktu itu yang pernah ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

 

 

*****

 


Penulis: Wahyu Budi Nugroho

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Cetakan Pertama: Januari, 2025

Tebal: xvi + 144 halaman

ISBN: 978-623-236-440-0

Berat 300 gr

Harga Promo: 30k


Pengantar Penulis

 

Terkejut. Itulah yang saya rasakan saat pertama kali mulai membaca literatur tentang anarkisme secara serius. Sebelumnya, saya hanya membacanya secara sekilas, dan lebih banyak berasal dari Karl Marx saat ia menyinggung soal anarkisme Pierre Joseph Proudhon, termasuk diskursus mereka dengan saling balas buku, Proudhon dengan The Philosophy of Poverty, dan Marx dengan The Poverty of Philosophy. Tak bisa dipungkiri, perkenalan awal saya dengan anarkisme melalui Marx lah yang mulanya membuat saya cenderung “menyepelekan” anarkisme.

 

Bagaimana tidak, Marx tak segan mengatai kaum anarkis sebagai “orang-orang bodoh” dikarenakan pandangan sosialisme utopis-nya; Lebih jauh Marx mengatakan, mereka mengembangkan “imajinasi konyol” akan masyarakat tanpa kelas dengan menganggap seluruh manusia sebagai keluarga besar, dan secara bersama-sama bergandengan tangan bakal menujunya. Meskipun memang, pada akhirnya, sejarah turut membuktikan jika marxisme juga merupakan sosialisme utopis.

 

Adalah film Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011) yang memuat aksi-aksi pengeboman kelompok anarki yang kemudian mengusik saya untuk mulai membaca anarkisme secara serius, sedari awal, pun tanpa melalui perantara Marx. Lalu, ada juga film Libertarias (1996)—yang saya tonton setelah Sherlock Holmes—yang juga menambah gairah saya untuk lebih mendalami hal-ihwal anarkisme ... dan dari sinilah keterkejutan saya berawal. Ternyata, anarkisme memiliki beragam cabang pemikiran yang tak kalah kaya dibandingkan misalnya, marxisme, eksistensialisme, atau berbagai aliran pemikiran lainnya.

 

Begitu juga, ternyata kaum anarkis turut terlibat dalam berbagai momen penting sejarah yang membentuk dunia saat ini. Nyatanya, sekolah modern pertama didirikan oleh seorang anarki, ketentuan jam kerja delapan jam sehari tak lepas dari jasa kaum anarki, serta pelopor layanan kesehatan bagi masyarakat luas untuk pertama kalinya juga dibuat oleh kaum anarki. Sontak, pandangan saya mengenai kaum anarki dan anarkisme berubah 180 derajat. Saya insyaf, bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah kesalahpahaman yang meluas tentang anarki dan anarkisme. Dahulu, dan mungkin seperti orang-orang kebanyakan, saya menganggap anarkisme hanyalah pemikiran yang mendorong aksi-aksi perusakan, vandal, dan hal-hal yang berasosiasi dengan kedestruktifan lainnya. Ternyata, mereka—kaum anarki—sangatlah humanis, kelewat humanis bahkan.

 

Lebih jauh, buku ini disusun untuk mengenalkan pembaca pemula pada anarkisme, oleh karenanya, sebisa mungkin, saya menulis dengan gaya bahasa yang ringan, pun saya harap mudah dimengerti, meskipun memang disadari, cara penulisan seperti ini seringkali berisiko menjebak pada “penyederhanaan berlebih” atau reduksionis. Akan tetapi saya harap, buku ini bisa menjadi pijakan awal bagi pembaca sebelum membaca buku-buku anarkisme lainnya yang lebih serius. Secara ringkas, buku ini berisi tiga bab besar, yaitu sejarah anarkisme, aksi dan pemikiran kaum anarki, serta perkembangan anarkisme hingga pos-Anarkisme dan anarkisme posmodern.

 

Perlu diakui pula, sebenarnya saya lebih tepat diposisikan sebagai “penyusun” mengingat beragam literatur mengenai anarkisme telah begitu banyak bertebaran di dunia maya, pun bisa diunduh secara bebas. Apa yang saya lakukan sebetulnya lebih pada menyusun dan menuliskan ulang dengan cara yang mudah dimengerti—semoga. Terlebih, secara pribadi, menjadi sangat disayangkan bagi saya jika literatur mengenai anarkisme yang selama ini telah dikonsumsi menguap begitu saja mengingat faktor “U” (usia). Dengan demikian, penulisan ulang berbagai materi tentang anarkime ini juga tak terlepas dari kepentingan pribadi.

 

Pun, untuk itu pula, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai situs yang menyediakan beragam literatur mengenai anarkisme secara gratis seperti theanarchistlibrary.org, libcom.org, anarkismo.net, pustaka.anarkis.org, pustakacatut.noblogs.org, sekaligus penerbit Daun Malam dan Pustaka Catut.

 

Tak lupa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang berjasa dalam penulisan dan publikasi buku ini, baik secara langsung maupun tak langsung. Kepada penerbit Pustaka Pelajar, terima kasih atas kepercayaan dan kesediannya menerbitkan naskah yang sederhana ini sehingga sampai pada sidang pembaca sekalian. Terima kasih pula untuk Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati yang telah bersedia memberikan sepercik provokasi untuk para (calon) pembaca buku ini.

 

Ucapan terima kasih juga diberikan untuk Enky Permatasari, Swara Revolusi; kawan-kawan semasa kecil; Lukman Aji Prayafie, Ardhita Sukma Wardhana, Kharisma Ainu (Tantra), Azhar Aditya Rahman, dan Andi Prasetyo—nyatanya paling memungkinkan menjadi anarki saat kita masih kecil! Terima kasih pula untuk kawan-kawan Sanglah Institute; Gede Kamajaya, M. Zaenal Arifin, Bagus Ardiyansyah, Oka Sudarsana, Coyot, Brenda, Ames, Gek Chin, Fidi, Darma, Tanti, Tiwi, Jones, dan lain-lain; kawan-kawan SMA yang terus menemani; Sony Amartha, Rio Yunarwanto, Adnan Buyung, Umar Mustofa, serta Devana Widhiastika.

 

Tak ketinggalan, terima kasih juga untuk para tetangga Perumahan Grahalia yang baik hati; Sensei Ngurah Bagus (Mbah Ajus) dan keluarga, Bli @gilangpropag sang aktivis semesta—every punk happens to everything, termasuk pada buku ini, Bli—serta Pak Dokter Erdwin yang ramah. Akhir kata, saya hanya bisa menghaturkan selamat bertualang dalam anarkisme bagi pembaca sekalian.

 

 

Tukad Irawadi, Denpasar, Bali

06 November 2024,

Wahyu BN.

Pemesanan;

 

Pic: kalarota.com

K. Nastya Anggaraini

Dosen Sosiologi UNUD


Howe menyatakan bahwa aspek-aspek yang saling terkait dalam kosmologi dan etnopsikologi Bali terdiri dari gagasan tentang keseimbangan, keteraturan, dan ekuilibrium. Gagasan tentang perlunya harmoni terkait dengan kepercayaan penyakit yang menghubungkan gangguan dan ekspresi emosional dengan penyakit fisik dan mental. Konsep kunci dalam konsep keseimbangan dan makna budaya kesehatan dan penyakit adalah “bayu” (konsep kekuatan hidup). Untuk pasien dengan Gangguan Obsesif-Kompulsif (OCD) pengobat tradisional bali menggunakan bayu (kekuatan), sabda (kata-kata suci), Buana Agung, Buana Alit dan Tri Sakti (tiga peran Tuhan) untuk menyembuhkan. Konsep keseimbangan dan keselarasan, keteraturan dan ketidakteraturan terkait dengan gagasan konfigurasi spasial yang tepat untuk pemujaan Buana Agung dan Buana Alit.

 

Dari sini muncul konsep kemurnian/kekotoran, yang kemudian mengarah pada gagasan tentang orientasi bangunan dan organisasi tubuh. Lebih jauh, orientasi hubungan sosial dan hierarki yang tepat juga disebut sebagai prinsip pengorganisasian di Bali. Konsep kalender Bali juga diresapi dengan budaya Bali mengenai kesehatan, penyakit dan karakter. Contoh kasus penderita OCD yang diangkat oleh Lemelson,  pengobat tradisional Bali berpesan agar pasien OCD yang mengalami masalah pada hari ulang tahunnya melakukan sesaji yang disebut Banten Meluasang. Pura keluarga (Merajan/Sanggah) dipersiapkan untuk roh para dewa dan leluhur. Pura ini memiliki altar simbolis (Linggih) tempat persembahan dan doa dipanjatkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

 

Metode semacam itu merupakan pengobatan budaya yang umum untuk penyakit. Dipercayai bahwa reorganisasi penataan ruang sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara skala leluhur dan niskala. Ayah seorang pasien sindrom Tourette memindahkan rumah lamanya ke Utara dan tidak memberikan perhatian yang cukup kepada roh-roh, sehingga taman di rumahnya kehilangan roh suci yang melindunginya. Oleh karena itu, pengobat tradisional Bali menyarankan bahwa persembahan diperlukan untuk mengatasi hal tersebut.

 

Lebih jauh, Lemelson, dengan mengacu pada Rudelman, berpendapat bahwa salah satu contoh yang mengungkap hubungan timbal-balik mekanisme penjelasan dalam teori etnografi Bali adalah perbedaan panas/dingin dalam teori imunitas humoral. Teori imunitas humoral dianggap sebagai teori struktural fundamental dan merupakan konsep fundamental dalam kesehatan dan penyakit. Penyakit dikenali sebagai gangguan komponen humoral. Mereka terkait dengan konsep keteraturan dan ketidakteraturan, keseimbangan dan ketidakseimbangan, pengendalian dan kurangnya pengendalian.


Misalnya, ketika merawat pasien dengan sindrom Tourette, pengobat tradisional menyatakan: cuaca mengganggu keseimbangan antara tubuh dan lingkungan, sehingga menyebabkan penyakit. Misalnya, selama musim hujan, bumi dan udara dingin, sehingga kepala dan kaki anda dingin tetapi perut anda panas. Dikatakannya, jika saat itu makanan dingin dimakan, maka terjadi reaksi antara lambung yang panas dengan makanan yang dingin tersebut, sehingga menimbulkan penyakit. Lemelson, merujuk pada Horan dan Welkem, terdapat tiga jenis penyakit dalam masyarakat Toraja. Penyakit-penyakit tersebut ada yang merupakan penyakit biasa (Sakit Biasa), ada yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap ajaran atau larangan ritual (Sakit Deata), dan ada pula yang merupakan penyakit yang disebabkan oleh racun yang dimasukkan ke dalam makanan, minuman, atau saluran pencernaan melalui ilmu hitam (Sakit Tolino).

 

Laderman menjelaskan adanya penyakit biasa dan penyakit luar biasa di Malaysia, konsepnya serupa dengan penyakit yang ada di Bali. Selain penyakit yang memang disebabkan oleh kelemahan atau masalah pada fisik manusia, pada umumnya di seluruh Asia Tenggara penyakit kerap kali dilihat sebagai suatu kondisi yang dihukum sebagai kejahatan terhadap banyak roh yang mendiami desa-desa dan pinggiran pedesaan. Bila persembahan tidak pantas diberikan, bangunan tidak diletakkan dengan tepat, atau ritual dilakukan dengan tidak benar, roh-roh ini dapat menjadi penyebab penyakit, masalah interpersonal, dan sebagainya.

 

*****


Pic: breathetogetheryoga.com

 

K. Nastya Anggaraini

Dosen Sosiologi UNUD

 

Pada tahun 2004, R. B. Lemelson melakukan penelitian tentang kemanjuran pengobat tradisional untuk gangguan neuropsikiatri di Bali. Gangguan Obsesif-Kompulsif (OCD) merupakan jenis penyakit mental yang menyebabkan seseorang berulang kali terlibat dalam perilaku tidak rasional atau pikiran yang bertentangan dengan keinginannya. Perawatan tradisional untuk kondisi ini dianggap setidaknya sama efektifnya dengan pengobatan modern, sering digunakan, dan pengalaman pasien yang dirawat secara tradisional direkonstruksi oleh sistem simbol dan makna yang berakar pada budaya.

 

Dengan kata lain, ia merekonstruksi tindakan yang dianggap sebagai penyebab penyakit, orang-orang yang menyebabkannya, dan metode pengobatan dan perlindungan yang digunakan untuk mengatasinya. Terdapat empat perspektif berbeda untuk memahami dan menafsirkan gangguan ini. Pertama, adalah sindrom makna dan struktur dari sudut pandang korban. Kedua, model budaya dominan yang digunakan untuk memahami dan memberi makna pada gejala. Ketiga, pakar lokal, tidak terbatas pada mereka yang termasuk dalam kategori seperti pengobat tradisional atau pakar agama atau ritual. Keempat, membingkai gejala berdasarkan teori tentang hakikat budaya Bali dan hubungannya dengan pengalaman individu. Mereka dipandang sebagai cara lain untuk menafsirkan gangguan neuropsikiatri secara lintas budaya. Pemahaman terhadap model-model penjelasan yang digunakan untuk membangun pengalaman dan makna penyakit tidaklah isomorfik di seluruh perspektif yang berbeda ini.

 

Di Bali, penyakit endemik dan teorinya rumit dan digunakan secara luas. Di seluruh Indonesia, praktisi pengobatan tradisional atau etnomedisin sering kali diajak berkonsultasi sebagai pelengkap pengobatan alopatik. Di bali, pengobatan tradisional dan pengobatan alopatik saling berkaitan erat. Lemmelson mengacu pada data dari Thong (1993) yang menyatakan bahwa 70 persen pasien mengunjungi fasilitas medis modern sebelum mengunjungi dukun, dan pengobatan tradisional di Bali efektif dalam mengobati beberapa penyakit. Ia menyatakan bahwa pengobatan tradisional masih efektif. Sistemnya beragam dan pluralistik, dengan banyak kategori varian yang beroperasi dalam teori penyakit yang berbeda. Pengaruh Hindu, Islam, dan pra-Hindu juga memainkan peran penting dalam membentuk perawatan kesehatan Bali.

 

Selain itu, pengobatan alopatik Eropa juga memberikan pengaruh. Bali adalah salah satu daerah terakhir di kepulauan Indonesia yang ditaklukkan di bawah penjajahan Belanda. Biomedis Barat datang kemudian, tetapi pada awalnya dampaknya kurang terasa dibandingkan dengan banyak pulau lain di kepulauan tersebut. Namun, dengan munculnya pengobatan internasional Barat dengan cepat pada abad ke-20, sistem kesehatan publik pertama yang dipimpin pemerintah didasarkan pada pengobatan tersebut. Sistem ini digunakan bersama dengan banyak model pengobatan tradisional.

 

Terdapat klasifikasi untuk memahami model penjelasan penyembuhan tradisional di Bali. Lemelson merujuk pada Foster dan Anderson, berpendapat bahwa seperti dalam banyak sistem etnomedis, penjelasan personalistik memainkan peran penting. Lebih jauh lagi, dikatakan bahwa di Bali terdapat perbedaan antara dua kategori utama suatu penyakit yaitu penyakit yang disebabkan oleh fisik (naturalisti atau di Bali disebut sekala), dan penyakit yang secara langsung dan sengaja disebabkan oleh manusia, leak, atau bahkan Tuhan (personalistik atau di Bali disebut niskala).

 

Bersambung...

 


K. Nastya Anggaraini

Dosen Sosiologi UNUD

 

David Harvey membahas globalisasi dari perspektif neoliberalisme. Baginya, perkembangan industri telekomunikasi akan berdampak pada kemajuan kapitalisme dan juga memperluas pergerakan barang dan manusia di seluruh dunia. Di sanalah kapitalisme mulai menjelma menjadi neoliberalisme. Dengan karakteristik sistem kerangka kerja neoliberalisme, yaitu hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan juga perdagangan bebas; neoliberalisme memberikan kebebasan berusaha dan memberikan kebebasan untuk setiap ketrampilan sehingga diharapkan dapat mendorong pada kesejahteraan.

 

Akan tetapi, terdapat berbagai masalah dalam neoliberalisme. Meskipun mengatur sistem keuangan adalah hal yang sangat penting, namun dengan tumbuh suburnya individualisme para pelaku bisnis yang tidak bertanggung jawab menciptakan volatilitas spekulatif, masalah keuangan, maupun ketidakstabilan yang intens. Oleh karena itu, menurut Harvey model globalisasi neoliberal meningkatkan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Harvey meyakini bahwa sangat penting untuk membaca keseluruhan situasi dan polemik, yang dalam istilahnya disebut sebagai “drama ekonomi-politik”, di mana ini pula yang melatarbekangi mengapa gagasan dan ide neoliberalisme cukup berkembang pesat.

 

Di sisi lain, Malcolm Waters menyatakan bahwa globalisasi menyangkut eksistensi individu maupun negara dalam menghadapi pengaruh secara umum maupun ultranationalistik. Oleh karena itu, globalisasi melibatkan dimensi kebudayaan, dimensi sosial, dan juga fenomena yang terdiri dari empat unsur, yaitu diri pribadi seseorang, masyarakat nasional, sistem maupun lembaga-lembaga internasional, dan juga kemanusiaan. Waters berpendapat bahwa globalisasi merupakan proses sosial yang mengakibatkan pembatasan geografis pada sosial budaya menjadi kurang penting.

 

Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena adanya pertukaran pandangan dunia, pemikiran, produk, maupun aspek-aspek kebudayaan lainnya. Globalisasi dipandang sebagai suatu proses sosial (atau proses sejarah, atau proses alamiah) yang nantinya dapat membawa seluruh negara di dunia semakin terikat satu sama lain, mewujudkan suatu tatanan kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi maupun budaya.

 

*****

 

[pic: sase.org]

Bagus Ardiyansyah

Pegiat Sanglah Institute

Dosen Sosiologi UNUD


Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial di mana ayah menguasai seluruh anggota keluarganya, harta miliknya, sumber-sumber ekonomi, dan membuat semua keputusan penting, sedangkan secara harfiah, patriarki adalah kekuasaan ayah atau patriarch. Patriarki muncul sebagai bentuk ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan perempuan, perempuan harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta kepunyaan laki-laki. Menurut Sylvia Walby, patriarki merupakan sebuah struktur sosial dan praktik, di mana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan.


Dengan kata lain, Patriarki adalah sistem sosial dan budaya di mana kekuasaan, kontrol, dan otoritas terutama dimiliki oleh laki-laki, sementara perempuan sering kali ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keluarga, pekerjaan, pendidikan, dan politik. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, "patriarchēs," yang berarti "kepala keluarga" atau "penguasa tertinggi." Dalam sistem patriarki, peran dan hak laki-laki dianggap lebih penting dan dominan dibandingkan dengan perempuan.

 

Lebih lanjut, dalam pandangan Sylvia Walby patriarki mempunyai dua bentuk, yakni patriarki domestik dan patriarki publik. Patriarki domestik didasarkan dengan seorang laki-laki mengontrol perempuan secara individu dan langsung, yakni di dalam rumah tangga. Kerja dalam rumah tangga dianggap sebagai kodrat perempuan yang harus dikerjakan dan sifatnya tidak bisa di tawar, dan perampasan pekerjaan perempuan terjadi dalam keluarga, seperti pekerjaan merawat anak. Dalam patriarki domestik, laki-lakilah yang berada pada posisi sebagai suami atau ayah yang merupakan penindas dan pengontrol terhadap anggota keluarga, juga penerima manfaat langsung dari subordinasi perempuan.

 

Patriarki publik merupakan bentuk di mana perempuan mempunyai akses, baik pada arena publik maupun domestik. Perempuan tidak dilarang dalam arena-arena publik, tetapi tetap tersubordinasi di dalamnya. Bentuk eksploitasi perempuan terjadi pada semua level, tetapi perempuan tidak secara formal disingkirkan. Misal dalam pekerjaan, perempuan berpenghasilan lebih sedikit daripada laki-laki, perempuan dikonsentrasikan pada pekerjaan yang lebih rendah (segregasi vertikal), juga pada area kerja yang berbeda (segregasi horizontal). Selain dalam pekerjaan, arena patriarki publik yang lain adalah negara.


Walby—mengutip beberapa kajian sebelumnya—bahwa patriarki publik dalam negara menyebabkan beberapa dampak, di antaranya: pembatasan akses perempuan pada pekerjaan dengan upah; membentuk aturan tentang pernikahan dan perceraian; kriminalisasi bentuk-bentuk kontrol kesuburan, misalnya, aborsi dan kontrasepsi; seksualitas, dengan lahirnya aturan pengadilan tentang penyangkalan hak asuh anak bagi ibu-ibu lesbian; kriminalisasi homoseksual; dan kekerasan laki-laki, dengan tindakan pengadilan terutama yang berkaitan dengan pemerkosaan, pencabulan, dan kekerasan seksual.

 

Dewasa ini, meskipun ada perubahan besar dalam berbagai aspek di dalam kehidupan sosial, sistem patriarki kiranya masih sering terlihat, baik secara implisit atau eksplisit. Misal, dalam media, seperti iklan, film, dan novel. Iklan yang muncul dalam televisi biasanya akan menampilkan perempuan kalau tidak sebagai figur yang glamor secara seksual maka sebagai ibu rumah tangga, sementara laki-laki menduduki posisi kekuasaan. Kemudian dalam film, seperti dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, close, sherni, Kartini, On the Basis of Sex, Suffragete, dan lain sebagainya. Dalam novel, seperti Kim Ji-Yeong, karya Cho Nam-Jo, Emma,” yang ditulis oleh Jane Austen, novel Sekuntum Ruh dalam Merah karya Naning Pranoto (Munthe, 2014), novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadaawi, dan lain sebagainya.

 

Patriarki adalah sistem yang telah mengakar dalam banyak budaya dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Meskipun telah ada banyak kemajuan menuju kesetaraan gender, patriarki masih menjadi tantangan besar dalam menciptakan masyarakat yang adil dan setara, apalagi praktiknya baik secara implisit atau eksplisit terlihat melalui beragam media.

 

*****


 

[pic: bbva foundation]

Bagus Ardiyansyah

Pegiat Sanglah Institute

Dosen Sosiologi UNUD


Tindakan ekonomi tidak hanya sebatas aksi ekonomi, tetapi melampaui hal tersebut, yakni sebagai suatu tindakan sosial yang memperhatikan tingkah laku pihak lain. Misal, berbicara dengan mereka (pembeli-penjual), berpikir tentang mereka, dan memberi salam pada mereka. Pemahaman tersebut dijadikan Mark Granovetter sebagai pondasi dalam memperkenalkan konsep "keterlekatan" untuk melihat tindakan ekonomi. Sebagaimana diutarakannya, keterlekatan ialah tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial serta melekat (embedded) dalam ikatan jaringan sosial personal yang sedang terjadi. Artinya, aktivitas ekonomi antarindividu tidak dilihat dalam konteks yang ekonomis (untung-rugi), tapi lebih kompleks lagi, yakni secara sosiologis, yang dasarnya terbentuk lewat interaksi yang berlangsung dalam hubungan sosial-ekonomi.

 

Bagi Granovetter, tindakan ekonomi atau keputusan individu tidak dapat dipahami secara terpisah dari hubungan sosial yang ada di sekitarnya. Dalam pandangan ini, tindakan atau keputusan yang diambil oleh individu atau kelompok tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi atau logika pasar, tetapi juga oleh hubungan sosial yang lebih luas, termasuk kepercayaan, norma, dan struktur yang mengatur interaksi antara individu. Dengan kata lain, keterlekatan merujuk pada cara hubungan sosial individu atau kelompok terkait erat dengan struktur sosial yang lebih besar, baik itu dalam konteks komunitas, budaya, atau organisasi. Keputusan individu sering kali dipengaruhi oleh keadaan sosial mereka dan oleh hubungan mereka dengan orang lain.

 

Sederhananya, pemikiran Granovetter berpusat pada bagaimana meletakkan keterlekatan sosial dalam konteks memahami siklus tindakan ekonomi. Proses relasi sosial ini, dalam pandangan Granovetter, dipengaruhi sebelumnya oleh infrastruktur kultural dari masyarakat terkait, oleh karena, dalam setiap masyarakat mempunyai corak ekonomi yang berbeda. Misal, trust (kepercayaan) didasarkan pada kebudayaan masing-masing yang terlekat, bukan pada trust yang bicara untung-rugi. Granovetter membedakan dua bentuk keterlekatan, yakni;

 

1.    Keterlekatan relasional

Konsep ini didasarkan dengan “disituasikan secara sosial” yang artinya, tindakan ekonomi yang berhubungan dengan pihak lain, di mana pihak-pihak terkait mengelola impresi atau kesan dihadapan pihak lainnya. Misal, dalam hubungan pelanggan, terjadi hubungan interpersonal antara penjual-pembeli yang meliputi beragam aspek sosial, budaya, agama, dan lain sebagainya dalam kehidupan mereka. Sebagaimana yang dikatakan Granovetter, bahwa pendekatan pilihan rasional merupakan bentuk ekstrem dari individualisme, karena pendekatan pilihan rasional tidak memperhatikan secara serius pentingnya struktur jaringan sosial dan bagaimana struktur ini mempengaruhi hasil secara keseluruhan. Sederhananya, semua hubungan bisnis dan transaksi melibatkan proses interaksi dan hubungan sosial yang menghasilkan kepercayaan dan saling percaya meskipun sifatnya lemah. Kepercayaan yang timbul antardua belah pihak atau lebih, mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial. Rasional dalam hal ini berarti melakukan pertimbangan dari pemanfaatan pemilihan suatu tindakan, menghitung biaya bagi setiap jalur, dan berusaha memaksimalkan manfaat untuk mencapai pilihan tertentu.

 

2.    Keterlekatan struktural

Dalam keterlekatan struktural ada suatu struktur sosial di mana terdapat pola interaksi antara pengusaha, karyawan, pemasok, dan pembeli yang terjalin karena hubungan kepercayaan. Dengan asumsi ini, bisa diasumsikan, bahwa terdapat kepercayaan (trust) antar pihak sebagai kapital sosial dalam tindakan ekonomi, sehingga tindakan ekonomi bisa terjalin dan terjalan antar keduanya. Oleh karena, tadisi resiprositas tersebut merupakan bentuk keterlekatan struktural dari suatu aktivitas ekonomi. Mengingat, bahwa keterlekatan ini merupakan keterlekatan yang melibatkan jaringan lebih luas (misal, keterlekatan struktural dalam mengupas fenomena ekonomi dari pasar swalayan), bisa institusi sosial atau struktur sosial.

 

*****

 


Bagus Ardiyansyah

Pegiat Sanglah Institute

Dosen Sosiologi UNUD


Isu fatherless di Indonesia merujuk pada situasi di mana anak tumbuh tanpa figur ayah dalam kehidupan mereka, baik karena perceraian, perpisahan, meninggal dunia, atau bahkan ketidakhadiran fisik atau emosional dari seorang ayah. Fenomena ini berpengaruh besar pada perkembangan sosial, emosional, dan psikologis anak. Konsekuensi dari kekurangan figur ayah dalam kehidupan anak sangat beragam, mulai dari masalah dalam membentuk identitas diri, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, hingga perasaan kurangnya perlindungan dan dukungan emosional. Anak yang tumbuh tanpa ayah juga berisiko lebih tinggi terlibat dalam perilaku negatif seperti kecanduan, kekerasan, dan masalah mental. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan pentingnya kehadiran emosional ayah dalam kehidupan anak, serta mengajarkan pentingnya peran ayah dalam membentuk karakter anak-anak mereka.

 

Lebih dalam, pada tulisan beberapa waktu silam, telah disinggung perihal maskulinitas, di mana beresensi jamak dan terpetakan ke dalam beberapa bagian, dan salah satunya adalah maskulin tahun 1980-an dengan cirinya new man as nurture and new man as narcissist. Kali ini akan membahas secara sekilas tentang new man as nurture yang menunjukkan bahwa laki-laki juga punya sifat alamiah—kasih sayang dan perhatian—tindakannya melibatkan emosional. Pada dasarnya, rumah juga sebagai tempat bagi laki-laki, sehingga absennya laki-laki dalam hal ini kurang tepat. Laki-laki dan rumah bukan sebatas pada melakukan sesuatu yang hanya menggunakan kekuatan otot, tetapi termasuk kekuatan perasaan yakni tentang pengasuhan dan perawatan anak-anak, pekerjaan rumah tangga serta aktivitas-aktivitas lainnya yang secara tradisional masuk dalam paradigma sebagai pekerjaan. Hal ini memunculkan  istilah krusialnya fatherhood atau “kebapakan”, yakni bentuk maskulinitas yang melibatkan ayah untuk lebih bertanggung jawab pada hal-hal yang berkaitan dengan mengasuh anak. Fatherhood merupakan instrumen menuju suatu keintiman yang seringkali absen antara laki-laki (ayah) dan anak, juga sebagai navigasi untuk menumbangkan citra maskulin hegemonik yang menganggap fatherhood sebagai ketergantungan serta kerapuhan sehingga tidak layak masuk dalam barisan maskulinitas. Meningkatnya perhatian laki-laki terhadap isu  fatherhood salah sekiannya terjadi pada awal tahun 1987,  di mana mahasiswa Oxford yang bernama Robert Carver meminta Pengadilan Tinggi mengeluarkan surat perintah untuk mencegah pasangannya melakukan aborsi.

 

Lebih jauh, ihwal new man as nurture—fatherhood kiranya bisa lebih terpahami lewat teori yang dicetuskan oleh Michael E. Lamb. Lamb, mencetuskan teori fatherhood involvement atau father involvement (keterlibatan ayah dalam pengasuhan)—ihwal yang dekat secara sosiologis—yang merupakan terjunnya laki-laki atau ayah dalam dunia domestik berupa interaksi dengan anak, memberikan kehangatan, pemantauan, serta bertanggungjawab pada keperluan dan kebutuhan anak. Konsep di dalam teori tersebut, antara lain sebagai berikut;

 

  1.  Interactional dan intimacy (Paternal Engagment) (kedekatan emosional dengan anak), merupakan dimensi berupa interaksi atau ikatan, baik langsung atau tidak langsung, antara ayah dan anak, mulai dari aktivitas serta kehangatan yang diberikan ayah pada anaknya, dan memiliki sifat dua arah antara ayah dan anak.

b.  Accessibility atau provision (Paternal Accessibility), berupa kebutuhan anak akan kehadiran atau ketersediaan ayah. Dimensi ini merupakan bentuk pengasuhan atau keterlibatan yang memungkinkan seorang pasangan mengasuh anak; menentukan standar materi bagi kehidupan keluarga. Dengan kata lain, konsep ini menggambarkan di mana ayah secara fisik atau nonfisik hadir di rumah tapi tidak berhubungan langsung dengan sang anak.

c. Responsibility dan protection (Paternal responsibility) adalah bentuk keterlibatan yang meliputi tanggung jawab seorang ayah dalam mengurus serta memenuhi kebutuhan sang anak. Di sisi lain, dimensi ini mencakup bagaimana seorang ayah terlibat dalam mengontrol, perencanaan, dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan anak. Dengan demikian, menunjukkan sejauh mana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk dari bahaya fisik maupun pengaruh negatif, juga  endowment (memberikan waktu, uang, dan tenaga untuk masa depan anak atau keluarga). Sederhananya, merupakan pelibatan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan mengorganisasi.

 

Dalam konteks ini, fatherhood bukan hanya tentang menjadi penyedia materi, tetapi juga tentang hadir secara emosional dan mendidik anak-anak dengan nilai-nilai positif. Maskulinitas ini mendorong pria untuk lebih terlibat dalam kehidupan keluarga, tidak hanya dalam aspek ekonomi, tetapi juga dalam pengasuhan anak dan hubungan yang penuh kasih. Menumbuhkan figur ayah yang tidak hanya berbicara tentang kekuatan fisik, tetapi juga kesadaran emosional, pengertian, dan kepercayaan diri, dapat memberi dampak besar terhadap perkembangan anak. Oleh karena itu, pendidikan tentang fatherhood dapat memberikan wawasan kepada para pria di Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam keluarga mereka dan membantu mengatasi kesenjangan yang timbul dari ketidakhadiran ayah.

 

Representasi fatherhood ini telah dilakukan dalam media, misal dalam novel, film, dan sebagainya. Beberapa film yang merepresentasikan fatherhood diantaranya, Kramer vs Kramer, Gifted, The Family Man, The Good Father, dan lain sebagainya. Dalam film The Good Father, yang diperankan oleh Anthony Hopkins, mengisahkan ihwal peran ayah yang terlibat dalam usaha memenangkan hak asuh anaknya, juga menyingkapi misogini serta konflik kekuasaan yang mengintai dari balik fatherhood. Lebih lanjut, praksis fatherhood yang terjadi dalam karya sastra, misal di Indonesia, seperti dalam novel Ayah Mengapa Aku Berbeda karya Agnes Davonar (2011), Ayah Pemilik Cinta yang Terlupakan karya Eidelweis Almira, Ayahku (bukan) Pembohong karya Tere Liye, dan novel-novel lainnya. Dengan memperkuat maskulinitas yang penuh empati dan bertanggung jawab (Fatherhood), kita bisa berharap dapat mengurangi dampak negatif dari isu fatherless dan meningkatkan kesejahteraan anak-anak di Indonesia.

 

*****