Sagitarius

 

Suplai narsistik adalah “bahan bakar” emosional maupun material yang mutlak diperlukan untuk menopang kehidupan batin dan ilusi diri seorang narsisis. Tanpa suplai, konstruksi grandiositas* yang mereka bangun akan runtuh. Fungsinya ada dua: pertama, sebagai regulasi emosi—untuk meredam rasa malu, rendah diri, dan kegelisahan batin; kedua, sebagai validasi eksternal—karena harga diri mereka sepenuhnya bergantung pada respons dan pengakuan dari luar (contingent self-esteem).

 

Bentuk suplai ini berlapis. Ada suplai positif berupa pujian, status, penghormatan, kepatuhan, pengakuan profesional, serta relasi romantis atau seksual. Namun suplai negatif pun tetap bernilai: konflik, kemarahan, bahkan rasa kasihan tetap menempatkan narsisis di pusat perhatian, sehingga dianggap berharga. Jika tidak memiliki kekayaan, narsisis akan mengeksploitasi aset non-finansial seperti citra sosial, moralitas palsu, daya tarik fisik, atau narasi emosional.

 

Karena kebutuhan ini, orang dengan NPD cenderung memandang manusia lain secara objektifikasi—bukan sebagai individu utuh, melainkan alat atau fungsi yang bisa dieksploitasi. Empati kognitif maupun afektif mereka minim. Untuk mempertahankan ego, mereka mengandalkan mekanisme pertahanan seperti proyeksi (melempar kesalahan ke orang lain) dan splitting (membagi realitas dalam ekstrim hitam-putih: idealisasi vs devaluasi). Hasilnya, relasi dengan narsisis bergelombang, tidak linear, dan sulit diprediksi.

 

Pola relasi mereka biasanya mengikuti siklus khas pelecehan psikologis: IdealizeMaintainDevalueDiscard/ReplaceHoover. Siklus ini bisa berbeda tergantung tipe narsisis (overt, covert, communal, atau malignant), dan sering dipicu oleh hal sederhana seperti kritik kecil.

 

Untuk mengamankan suplai, narsisis mengembangkan berbagai strategi manipulasi:

 

Love-Bombing & Grooming: memberikan kasih sayang dan pujian intens di awal, yang berujung trauma bonding.

 

Triangulasi: melibatkan pihak ketiga untuk menciptakan persaingan.

 

Gaslighting: memelintir realitas korban hingga meragukan persepsi dirinya sendiri.

 

Intermittent Reinforcement: perhatian yang tidak konsisten, menjerat korban dalam kecanduan validasi.

 

Hoovering: usaha menarik kembali mantan korban untuk mengisi suplai yang kosong.

 

Public Performance: menjaga citra sosial agar tetap mendapat pengakuan publik.

 

Monkey Branching (MB): menyiapkan suplai cadangan sebelum membuang suplai lama.

 

Playing Victim: strategi yang semakin menonjol, di mana narsisis menampilkan diri sebagai korban yang terzalimi, penuh penderitaan, atau disalahpahami. Dengan peran ini, mereka memancing simpati, membalikkan narasi, dan menekan lawan agar terlihat sebagai pelaku. Playing victim juga berfungsi memperluas jaringan flying monkeys karena orang lain lebih mudah bersimpati pada “korban” ketimbang “pelaku”.

 

Namun sistem suplai ini tidak pernah stabil. Collapse terjadi ketika suplai gagal menopang ilusi grandiositas, menyebabkan ego runtuh. Pemicu collapse bisa berupa panic jumps (tergesa mencari suplai baru), kebohongan yang terbongkar, suplai baru yang tidak memenuhi ekspektasi, atau absennya monkey branching saat suplai lama menghilang. Saat collapse, narsisis menghadapi kehampaan, depresi, amarah destruktif, atau panik eksistensial.

 

Untuk mencegah collapse, narsisis sering mengaktifkan jaringan flying monkeys (FM)—orang-orang yang menjadi perpanjangan tangan mereka. FM terbagi atas akolit narsistik (pendukung aktif), FM naif (korban sekunder yang tidak sadar diperalat), FM publik (penyebar gosip dan narasi sosial), serta FM oportunis (ikut-serta demi keuntungan pribadi). Peran FM memperkuat ilusi narsisis, tetapi kadang justru berbalik arah dan mempercepat collapse.

 

Di sinilah kontrol narasi menjadi senjata utama. Narsisis akan menggabungkan gaslighting, proyeksi, public performance, dan playing victim untuk mengaburkan realitas korban serta menguatkan versi cerita mereka. Playing victim menjadi elemen penting karena memungkinkan narsisis menutupi perilaku agresifnya dengan topeng penderitaan. Misalnya, setelah melakukan devaluasi atau pengkhianatan, mereka bisa berganti posisi menjadi “yang tersakiti”, membuat korban ragu atas perannya, dan publik lebih mudah memihak mereka.

 

Meski demikian, dinamika hubungan dengan narsisis tidak selalu sepihak. Peran “pelaku” dan “korban” dapat berganti. Kadang pasangan narsisis juga manipulatif, memiliki ciri narsistik sendiri, atau bahkan memainkan peran playing victim secara tandingan. Hal ini melahirkan “duel narsistik”—dua pihak saling discard, selingkuh, membangun flying monkeys, dan bersaing dalam memainkan narasi siapa yang lebih layak dipandang sebagai korban.

 

Pada titik ini, hubungan berubah menjadi arena perang narasi. Bukan hanya perebutan suplai emosional, tetapi juga pertarungan legitimasi sosial. Setiap pihak berusaha merebut simpati, pengaruh, dan citra publik. Dengan demikian, narsisme tidak sekadar fenomena internal, melainkan sebuah lanskap sosial yang penuh strategi manipulatif, di mana suplai menjadi bahan bakar, playing victim menjadi senjata, dan collapse menjadi ancaman eksistensial yang terus menghantui.

 

******

 

* Grandiositas adalah perasaan superioritas dan kebesaran diri yang berlebihan dan tidak realistis, di mana seseorang menganggap dirinya lebih penting dan istimewa dibandingkan orang lain.

[pic: psychologytoday.com]

Briant Nor Pradhuka

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Udayana

 

Heartbreak atau “patah hati” adalah masalah universal yang pernah dialami oleh hampir setiap manusia yang dikecewakan sebab rasa cinta. Beberapa karya bertema patah hati menjadi populer dan disukai banyak orang, sebab pesan dari karya-karya tersebut sangat kuat, penuh emosi, begitu dalam, jujur, dan relate bagi orang-orang dalam keadaan serta pengalaman yang sama. Album Red—Taylor Swift—yang rilis pada tahun 2012, menggambarkan dinamika perjalanan hubungan cintanya. Rasa sayang, marah, dan sedih digambarkan secara apik oleh Taylor Swift dalam album ini. Tahun 2021, Taylor Swift meluncurkan ulang single All Too Well dengan versi sepuluh menit. Dalam versi baru ini, rasa patah hati lagu All Too Well sangat kuat dan epik. Didukung dari lirik-liriknya yang tersampaikan seperti diary. Bercerita tentang kenangan, kerinduan, dan rasa sakit yang bertahan lama.

 

Selain single All Too Well, realitas patah hati global juga tersampaikan secara kuat dalam film 500 Days of Summer yang disutradarai oleh Marc Webb dan ditulis oleh Scott Neustadter tahun 2009 silam. Film ini merefleksikan rasa sakit hati Tom Hansen (tokoh utama) yang berharap hubungan kasihnya terlalu banyak (ekspektasi) dari Summer Finn yang sejak awal sudah menyatakan tidak mencari hubungan serius (realita). Film ini menampilkan Tom yang jatuh cinta pada Summer, sosok gadis di kantornya yang memiliki pesona dan daya tarik kuat. Meskipun Summer sudah memberikan sinyal bahwa hubungan mereka adalah hubungan santai (tidak ada label pacaran), Tom salah menafsirkan setiap interaksi dan berharap Summer akan berubah pikiran. Banyak masyarakat merasa terhubung dengan film ini, karena mereka pernah menjadi Tom Hensen (si paling romantis yang over-Thinking) dalam kehidupan nyata mereka.

 

Bicara soal patah hati, secara ilmiah, rasa patah hati dapat dijelaskan secara runut. Seperti yang disampaikan Naomi Eisenberger dari University of California; manusia ketika mengalami rasa patah hati, otak mereka tidak dapat mengatasi permasalahan ini secara sendiri. Otak manusia mengirimkan sinyal kepada anggota tubuh lain dengan cara memberitahukan bahwa yang dialami saat itu adalah rasa sakit. Dari sinyal ini, efeknya seolah-olah ada rasa tertekan dan sakit pada bagian dada. Lebih lanjut, Eisenberger menjelaskan bahwa otak manusia memiliki beberapa jenis hormon yang memengaruhi keadaan emosi dan perasaan, antara lain hormon cortisol (pemicu stress), hormon dopamine (menstimulasi perasaan senang), hormon neropinephirene (menimbulkan efek rasa super ceria), dan hormon serotonin (mood stabilizer) merupakan hormon-hormon yang bertanggung jawab pada keadaan psikologis manusia.

 

Dalam kondisi heartbreak, kinerja hormon dopamine akan terhambat apabila korban tersebut merasa risau, sedih, marah, dan kecewa. Hormon-hormon sumber kebahagiaan secara perlahan akan berkurang produksinya, sehingga konsekuensinya tubuh korban heartbreak akan beradaptasi dengan hormon pemicu stress (hormon cortisol) yang akan diproduksi secara berlebihan. Hormon cortisol biasanya muncul ketika seseorang dalam keadaan stress, tertekan, dan terancam. Cortisol memberikan reaksi perlawanan pada diri seseorang. Sebagai contoh ketika seseorang dihadapkan dalam kondisi genting dan terancam, hormon cortisol akan memicu gerakan otot untuk menghindarinya. Dalam kondisi tubuh korban heartbreak, cortisol akan bereaksi pada tubuh, misalnya ke dada yang dapat menyebabkan rasa sakit tertekan dan terganggunya sirkulasi darah. Tak hanya itu, cortisol juga berpengaruh terhadap kondisi fisik terutama sistem imun korban heartbreak. Apabila tanpa ada tindakan penanganan dan pertolongan, korban rasa patah hati juga akan beresiko mengalami penyakit-penyakit yang lain.

 

Salah satu efek heartbreak serius adalah Takotsubo Syndrome (TTS), yang juga dikenal sebagai stress-induced cardiomyopathy atau broken heart syndrome. Dalam Circulation—American Heart Association Journal (www.ahajournals.org), Trisha Singh et al. (2022) menjelaskan TTS sebagai gangguan akut fungsi jantung kiri yang meniru serangan jantung, tetapi tanpa adanya sumbatan pada arteri koroner. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan oleh Sato dan rekan-rekanya pada tahun 1990 di Jepang. Dinamai takotsubo karena bentuk ventrikel kiri (bagian jantung) seseorang menyerupai perangkap gurita di Jepang (takotsubo). Dalam artikelnya, Trisha Singh menyampaikan, awalnya kondisi takotsubo syndrome dianggap sebagai kondisi penyakit ringan, akan tetapi dalam waktu belakangan diketahui takotsubo syndrome sebagai salah satu penyebab kematian dan sebagai kompilasi jangka panjang signifikan, setara dengan acute coronary syndrome (ACS). Takotsubo syndrome digambarkan dengan kondisi stress emosional manusia yang berlebihan, sehingga membuat hormon cortisol diproduksi secara masal. Akibatnya kondisi ini menyebabkan melemahnya otot jantung, di mana menciptakan gejala yang mirip dengan serangan jantung.

 

Selain takotsubo syndrome, efek rasa patah hati juga mendatangkan risiko-risiko lainnya. Tiffany Field dalam artikel berjudul Romantic Breakups, Heartbreak and Bereavement (2011) menyebutkan perpisahaan romantis pada seseorang dapat menyebabkan gejala kedukaan (bereavement) termasuk “pikiran mengganggu” (intrusive thoughts), insomnia, dan faktor morbiditas seperti disfungsi imun dan broken heart syndrome. Hal ini disebabkan karena hilangnya pasangan sebagai pengatur stimulasi dan modulasi gairah. Artikel doktersehat.com yang diunggah pada 2019 menyampaikan beberapa efek patah hati bagi korban dan pengaruhnya pada permasalahan fisik serta mental. Korban patah hati umumnya mengalami permasalahan kejiwaan, seperti kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, dan kebencian pada diri sendiri. Selain itu, korban juga mengalami beberapa permasalahan fisik, seperti kerontokan rambut, gangguan hormon, mengalami masalah pencernaan, susah tidur, rentan penyakit jantung, berat badan menurun, susah fokus, sakit kepala, dan nyeri dada.

 

Dalam upaya mengurangi serta mencegah korban patah hati dalam kondisi lebih parah, permasalahan heartbreak dapat dilakukan dengan memberikan pertolongan pertama melalui jalur komunikasi (first aid communication). First aid communication dapat diajukan sebagai metode pengalihan, pemulihan, dukungan, dan validasi para korban patah hati. Penelitian Dr. Elisabeth Kubler-Ross (novel—On Death and Dying, 1969) yang dibahas laman forbes.com (2024), berjudul A Psychologist Explains The 5 Stages of ‘Post-Breakup Grief’, menunjukkan terdapat lima fase patah hati yang dialami oleh seseorang. Fase-fase ini tidak selalu terjadi secara berurutan, tetapi juga bisa berbolak-balik antarfase. Proses ini adalah bagian normal dari jalannya penyembuhan. Lima fase heartbreak seseorang di antaranya; fase penyangkalan (denial), fase kemarahan (anger), fase tawar-menawar (bargaining), fase depresi (depression), dan fase penerimaan (acceptance).

 

Dari fase-fase patah hati tersebut, sebelum korban sembuh dan tumbuh kembali sepenuhnya, first aid communication dalam lini intrapersonal dan interpersonal menjadi tools sederhana yang bisa memberikan penanganan. First aid communication intrapersonal merupakan pertolongan pertama yang dilakukan melaui proses komunikasi dengan diri sendiri (komunikasi mandiri korban patah hati). Langkah-langkahnya bisa memulai dengan self-talk atau dialog dengan batin. Pada fase penyangkalan (denial), cara ini bisa dimulai dengan mengizinkan diri untuk merasakan rasa terkejut akan perpisahan, bukan secara langsung memaksakan untuk menerimanya. Pada fase kemarahan (anger), self-talk yang bisa dilakukan adalah mengakui dan memvalidasi rasa kemarahan. Dengan mengekspresikan kemarahan seperti berteriak, lari, taekwondo, renang, dan kegiatan lain yang dinilai bisa meredam rasa sakit patah hati.

 

Di fase tawar-menawar (bargaining), self talk dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pola berpikir yang berulang. Langkah-langkahnya adalah dengan mendebat pikiran “seandainya” secara logis. Mengubah fokus dari “mengubah masa lalu” menjadi “merencanakan satu langkah kecil ke depan”, seperti “Saya akan melakukan satu hal baik untuk diri sendiri hari ini”. Pada fase depresi (depression), self talk yang bisa dilakukan adalah memvalidasi rasa kesedihan yang mendalam. Dengan mengizinkan diri untuk beristirahat dan berduka, seperti memberikan tubuh untuk menangis dan mendengarkan musik sedih tanpa terjebak alur di dalamnya, akan membantu melatih diri untuk terbiasa dan selesai dengan keadaan tersebut. Di fase penerimaan (acceptance), self talk dalam tahap ini adalah menciptakan kembali identitas. Dengan menetapkan tujuan baru yang realistis dan mengubah perspektif dari “menyalahkan” menjadi afirmasi positif dan syukur (melihat pelajaran dari pengalaman) membuat diri bisa usai dan terlepas dari permasalahan heartbreak.

 

Langkah berikutnya adalah first aid communication interpersonal. Langkah ini merupakan metode pertolongan pertama yang dilakukan melalui proses komunikasi antara korban patah hati dengan dua orang atau lebih (orang terdekat). Pertolongan pertama ini dapat dilakukan dengan cara verbal maupun nonverbal. Pada fase penyangkalan (denial), komunikasi interpersonal bisa dilakukan dengan cara orang terdekat korban mendengarkan korban secara aktif dan memberikan validasi kepada mereka. Bentuk validasi orang terdekat terkait kondisi yang dialami saat itu akan membantu korban menyadari dan mulai memahami keadaannya. Dalam proses ini, komunikasi dengan korban, hindari upaya “memperbaiki” atau memaksa menerima fakta secara langsung. Orang terdekat bisa memberikan soft support seperti membuatkan makanan (bentuk komunikasi nonverbal). Di fase kemarahan (anger), komunikasi interpersonal yang dapat dilakukan adalah; orang terdekat korban menyediakan ruang aman tanpa menghakimi keadaan korban. Mendampingi korban melampiaskan emosi ke arah positif sepeti kegiatan fisik olahraga atau kegiatan yang disukai korban (selama tidak merugikan diri sendiri atau orang lain).

 

Selanjutnya di fase tawar-menawar (bargaining), komunikasi interpersonal bisa dilakukan dengan cara orang terdekat secara lembut memandu korban untuk “kembali ke realitas”, dengan menyadarkan mereka untuk menghentikan fantasi tentang “rekonsialisasi” dan mengingatkan tentang “nilai diri”. Di fase depresi (depression), orang terdekat bisa menawarkan kehadiran yang tenang, lalu memberikan dukungan praktis tanpa paksaan. Para korban patah hati bisa diajak melakukan aktivitas sederhana seperti jalan-jalan sebentar, lalu makan, atau membeli es krim, di samping itu, orang terdekat perlu memantau tanda-tanda klinis korban. Jika memang dirasa perlu, orang terdekat korban bisa memberikan saran untuk datang ke profesional (seperti terapis atau konselor). Di fase penerimaan (acceptance), orang terdekat bisa membantu membuat perayaan pencapaian kecil atas keberhasilan penerimaan korban terkait kondisinya. Serangkaian cara ini setidaknya bisa meredamkan dan membantu mengolah jiwa berikut raga korban patah hati menjadi lebih baik.

 

 

*****

 



Bagus Ardiyansyah

Dosen Sosiologi, Universitas Udayana

Pegiat Sanglah Institute

 

 

Dunia saat ini dalam kondisi segalanya serba cepat, efisien, dan efektif, sehingga mengerahkan kemampuan dan kerja keras saja tidak selalu cukup. Terlebih lagi, jika individu hanya mengoptimalkan dirinya sendiri untuk berjuang dalam meraih sesuatu, termasuk bekerja,  bisa dikatakan fenomena ini akan berakhir pada wacana “sudah berjuang sekuat tenaga, namun tetap tertinggal”. Hal ini dikarenakan, ada satu faktor yang luput dari perhatian, yakni perlunya memperluas jaringan atau koneksi sosial, di mana secara sosiologis disebut sebagai modal sosial. Di tengah perkembangan revolusi saat ini—revolusi industri 4.0 menuju 5.0—dunia kini kian terkoneksi sehingga diperlukan kesadaran pentingnya koneksi atau relasi sosial yang bisa memengaruhi keberhasilan seseorang.

 

Ketika jaringan sosial masih terbatas, maka akses terhadap peluang seringkali tertutup, sebaliknya ketika jaringan sosial luas, maka akses terhadap peluang seringkali datang dari siapa yang kita kenal, bukan hanya dari apa yang kita tahu. Bukan dalam konteks karena nepotisme atau hal negatif lainya, tetapi karena ada yang membukakan pintu, memberi arahan serta mengenalkan pada peluang. Dengan kata lain, dalam memahami dinamika dunia dan masyarakat saat ini, modal sosial bisa menjadi konsep penting yang menjelaskan bagaimana hubungan sosial bisa dimanfaatkan sebagai sumberdaya, sehingga kita tidak lagi hanya berpusat pada kemampuan dan kerja keras saja, tetapi mengonversikannya menjadi kemampuan, kerja keras, dan kerja cerdas.

 

Lebih lanjut, modal sosial merupakan kekayaan yang tidak selalu terlihat, tapi menentukan dalam hidup. Hal ini karena modal sosial adalah kumpulan sumberdaya yang berasal dari hubungan sosial antara individu, kelompok, atau institusi yang dapat dimanfaatkan guna mencapai tujuan bersama maupun pribadi. Sebagaimana dikatakan Pierre Bourdieu bahwa modal sosial sebagai kekuatan tak kasat mata yang memengaruhi posisi seseorang di dalam masyarakat. Dalam hal ini, bukan saja sekadar punya banyak teman, namun relasi sosial adalah alat strategis untuk mengakses kekuasaan, peluang ekonomi, bahkan prestise sosial. Dalam kerangka pemikiran Bourdieu, modal sosial terbentuk dari hubungan timbal-balik yang dibangun dalam jangka waktu lama, bisa bersifat informal maupun formal. Oleh sebab itu, modal sosial tidak bisa langsung diperoleh—menuntut investasi waktu serta energi dalam hal untuk membangun kepercayaan, solidaritas, dan pengakuan sosial. Bisa dikatakan, elemen kunci modal sosial adalah jaringan (networks), kepercayaan (trust), norma dan nilai bersama, serta timbal-balik. Lebih dalam, Bourdieu membagi modal sosial menjadi empat tipe:

 

1. Modal ekonomi: sesuai definisinya, persoalannya mencakup jumlah pendapatan, aset, pengeluaran, hingga tingkat konsumsi

2. Modal budaya: diartikan sebagai keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga; lebih menekankan pada tingkat keakraban dan kemampuan memanfaatkan bentuk-bentuk budaya yang diakui oleh masyarakat.

3. Modal sosial: termanifestasikan melalui hubungan-hubungan dan jaringan yang terbentuk melalui ranah dan merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial—kekuatan individu dalam jaringan sosial.

4. Modal simbolik: hal ini bisa dikatakan sebagai akumulasi elemen-elemen seperti kehormatan, gengsi, prestise, kekuasaan, legitimasi, dan penghargaan yang dimiliki oleh pelaku sosial; menyorot dimensi simbolik yang melandasi pengaruh dan keberhasilan dalam masyarakat.

 

Apabila modal sosial bisa muncul dalam bentuk hubungan kekerabatan, kelompok agama atau gotong royong desa, kini bentuknya sudah beragam. Seperti dalam konteks jejaring profesional, bisa kita jumpai di LinkedIn, dan media sosial lainnya, hingga solidaritas dalam bentuk digital seperti penggalangan dana online, petisi daring atau dukungan publik melalui media sosial. Di era yang serba cepat saat ini, tantangan kita adalah menjaga kedalaman relasi di tengah derasnya arus koneksi yang instan. Sebab, seperti yang Bourdieu tekankan, modal sosial adalah investasi jangka panjang—ia tumbuh ketika kita memberi, bukan hanya mengambil.

 

*****

 

[pic: smassingculture.gr]

Bella Herdiansyah

Mahasiswi Prodi Sosiologi

Universitas Udayana

 

 

Di media sosial, kita tidak hanya menyaksikan bagaimana individu berbagi kebahagiaan atau pencapaian, tetapi juga menyaksikan kisah-kisah yang lebih personal dan sering kali penuh kontroversi. Salah satu hal tersebut dapat dilihat lewat kanal YouTube berformat podcast. Kanal-kanal podcast YouTube kerapkali  tidak hanya mengundang narasumber untuk berbagi cerita, tetapi juga menghadirkan sebuah dinamika baru yang mengaburkan batas antara diskusi yang emosional, hiburan, dan kapitalisme digital. Dengan demikian, ia tidak hanya berfungsi sebagai wadah berbagi kisah, tetapi juga sebagai media yang menghasilkan nilai ekonomi melalui perhatian audiens.

 

Fenomena di atas kiranya membuka diskusi tentang bagaimana emosi yang disajikan di dunia digital tidak hanya menjadi media diskusi atau klarifikasi, tetapi juga produk komoditas. Di balik niat untuk memberi ruang bagi individu yang ingin berbagi kisah hidup mereka, kanal tersebut juga berfungsi untuk menarik perhatian publik dan menghasilkan uang melalui monetisasi yang didapatkan dari jumlah viewers, klik, dan interaksi. Dalam dunia kapitalisme digital, kapitalisasi afeksi menjadi sangat relevan karena emosi yang disampaikan dalam kanal ini bukan hanya untuk meraih atensi saja, tetapi juga sebagai alat untuk meraih keuntungan finansial.

 

Ketika kita melihat berbagai podcast semacam ini, kita bisa mengaitkannya dengan teori industri budaya yang dikemukakan oleh Adorno dan Horkheimer. Mereka berbicara tentang bagaimana budaya, termasuk hiburan, diproduksi sebagai komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam hal ini, berbagai podcast YouTube seringkali mengemas isu kontroversial, kisah-kisah pribadi, bahkan yang melibatkan trauma dan luka emosional menjadi bagian dari produk hiburan yang siap untuk dikonsumsi oleh audiens. Setiap video yang diunggah adalah produk yang tidak hanya untuk menyentuh hati audiens, tetapi juga untuk menciptakan nilai ekonomi.

 

Teori industri budaya yang dikembangkan Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment menegaskan bahwa dalam masyarakat kapitalis modern, budaya diproduksi secara massal untuk menciptakan konsumsi pasif. Budaya tidak lagi menjadi ekspresi autentik atau sarana pencerahan, melainkan komoditas yang diproduksi demi keuntungan ekonomi. Mereka menyatakan, budaya massa tidak mencerahkan masyarakat, tetapi mengubah mereka menjadi konsumen yang pasif (Adorno & Horkheimer, 1997). Dalam industri budaya, seni dan emosi diproduksi, distandarisasi, dan dikomodifikasi agar mudah dijual dan dikonsumsi publik.

 

Adorno dan Horkheimer menyoroti bahwa industri budaya memanipulasi massa, mengubah masyarakat menjadi subjek pasif dan keberadaannya tersubordinasi (Anugrah, 2024). Mereka menegaskan bahwa “nilai guna” (use value) dalam budaya telah digantikan oleh “nilai tukar” (exchange value), di mana tujuan utama produksi budaya adalah profit, bukan pencerahan atau pembebasan manusia.

 

Terkait hal di atas, berbagai podcast YouTube pun menciptakan sebuah ruang di mana emosi menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam dunia kapitalisme digital. Di satu sisi, kanal tersebut turut menyediakan platform untuk klarifikasi, tetapi di sisi lain, ia juga menggambarkan bagaimana kapitalisasi afeksi dapat beroperasi di dunia yang serba digital ini. Seperti yang ditegaskan oleh Adorno dan Horkheimer, prinsip industri budaya adalah “tujuan yang dinyatakan oleh pasar” (Prasisko, 2024). Meskipun memberi kesempatan bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar, kanal podcast YouTube juga menunjukkan bagaimana industri budaya digital memperdagangkan emosi sebagai bagian dari produk hiburan yang lebih besar.

 

Di dunia yang semakin terhubung oleh media sosial, emosi dan perasaan menjadi lebih dari sekadar pengalaman pribadi. Dalam pandangan Eva Illouz, kapitalisme emosional didefinisikan sebagai proses ganda yang dengannya hubungan emosional dan ekonomi saling mendefinisikan dan membentuk satu sama lain (Illouz, 2007). Melalui perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, maupun trauma telah bertransformasi menjadi sebuah komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan sosial.

 

Kapitalisme telah mengubah kehidupan emosional secara mendasar, menciptakan sebuah sistem di mana pengalaman emosional merupakan komoditas dan bagian integral dari interaksi ekonomi dan sosial  (Illouz, 2017b). Di dunia media sosial, setiap ekspresi emosional yang disampaikan, terutama yang terkait dengan trauma atau luka, tidak hanya menjadi bahan diskusi, tetapi juga diperlakukan sebagai produk yang bisa diperdagangkan. Dalam konteks ini, emosi tidak hanya dirasakan, tetapi juga dibeli, dijual, dan dipertukarkan, yang memengaruhi segala hal mulai dari budaya konsumen hingga hubungan pribadi.

 

Kisah-kisah emosional yang dibagikan melalui kanal YouTube bukan hanya bertujuan untuk menyentuh hati audiens, tetapi juga untuk mendapatkan perhatian dalam bentuk views yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Narasi tersebut sangat bervariasi, mulai dari cerita-cerita inspiratif hingga pengalaman traumatis yang dialami oleh narasumber. Setiap cerita, meskipun memiliki nilai emosional yang tinggi, juga memiliki nilai komersial karena kanal ini berfungsi sebagai produk konsumsi. Dalam hal ini, emosi bukan hanya untuk disaksikan dan dipahami, tetapi juga untuk dikonsumsi, dibicarakan, dan pada akhirnya menghasilkan keuntungan bagi pembuat konten.

 

Hal ini memperkuat pandangan (Illouz, 2017a), bahwa kapitalisme tidak hanya merasionalisasi dan mengomodifikasikan barang dan jasa, tetapi juga telah menyusup dan membentuk kembali kehidupan emosional, menciptakan bentuk subjektivitas baru di mana emosi diproduksi dan dikonsumsi. Pada gilirannya, kapitalisme emosional membawa dampak besar pada cara kita memandang emosi dalam konteks media sosial. Emosi yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang sangat pribadi dan internal kini menjadi komoditas yang bisa dikonsumsi publik. Meskipun ada niat untuk membantu dan memberikan pemahaman tentang trauma dan luka, kanal ini juga mengubah luka emosional menjadi bagian dari industri hiburan digital yang berorientasi pada keuntungan. Dalam dunia digital, emosi tidak lagi hanya tentang berbagi atau menyembuhkan, tetapi juga tentang mengubah pengalaman pribadi menjadi produk yang dapat dijual!

 

Referensi;

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1997). Dialectic of Enlightenment. Verso.

Anugrah, D. W. (2024). Adorno & Horkheimer: Sebuah Analisis Kritis Industri Kebudayaan. LSF Discourse. https://lsfdiscourse.org/adorno-horkheimer-sebuah-analisis-kritis-industri-kebudayaan/

Illouz, E. (2007). Cold Intimacies: The Making of Emotional Capitalism. Polity Press.

Illouz, E. (2017a). Emotions as Commodities: Capitalism, Consumption and Authenticity (1st ed.). Routledge.

Illouz, E. (Ed.). (2017b). Emotions as Commodities. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315210742

Prasisko, Y. G. (2024). Apa itu Industri Budaya? Istilah dari Theodore Adorno dan Max Horkheimer. Brikolase ( Pusat Kajian Seni Dan Budaya Kontemporer). https://www.brikolase.com/apa-itu-industri-budaya-istilah-dari-theodore-adorno-dan-max-horkheimer/

 

 

[pic: people.com]

Nadjwa Aulia

Mahasiswi Prodi Sosiologi

Universitas Udayana

 

Kepercayaan terhadap astrologi dan zodiak menjadi bagian dari arus budaya populer yang signifikan di masa kini. Di era digital, astrologi menjadi lebih dari sekadar ramalan, melainkan sebuah sarana pencarian identitas yang menawarkan pengakuan personal dan komunitas (Oktavia, 2021). Fenomena validasi kepribadian melalui zodiak semakin populer dalam kehidupan masyarakat kontemporer, terutama di kalangan generasi muda. Zodiak berfungsi sebagai narasi alternatif yang memberi ruang bagi individu untuk membangun identitas mereka dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan plural (Andriyani, 2022).

 

Fenomena tersebut dapat dianalisis menggunakan pendekatan teori posmodern Jean-François Lyotard tentang ketidakpercayaan terhadap metanarasi (incredulity toward metanarratives). Dengan membandingkan narasi besar seperti ilmu pengetahuan dan agama dengan narasi kecil seperti astrologi, hal ini menunjukkan bahwa zodiak bukan sekadar kepercayaan populer, melainkan cerminan dari krisis epistemologis masyarakat posmodern yang semakin mengutamakan subjektivitas, emosi, dan identitas personal daripada kebenaran objektif.

 

Lyotard mengemukakan bahwa pengetahuan dalam masyarakat posmodern bersifat terfragmentasi, yang mengarah pada pencarian makna melalui narasi kecil seperti astrologi (Sumatri, 2021). Dalam kerangka Lyotard, astrologi adalah narasi kecil yang menyediakan makna simbolik dalam realitas yang telah terfragmentasi. Fenomena penggunaan zodiak menunjukkan bagaimana masyarakat posmodern mencari makna dalam kehidupan yang semakin terfragmentasi, mengandalkan narasi pribadi untuk membentuk pemahaman mereka (Wulandari, 2021)

 

Banyak orang menggunakan zodiak sebagai kerangka untuk memahami diri, merasionalisasi emosi, hingga memaknai relasi interpersonal. Fenomena ini terlihat jelas di media sosial, di mana konten seputar kepribadian zodiak dan kecocokan asmara berdasarkan tanda bintang mendapatkan jutaan penayangan. Astrologi berfungsi sebagai narasi subjektif yang memungkinkan individu membangun realitas pribadi mereka dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan pluralitas (Ningsih, 2021). Meskipun astrologi tidak diakui sebagai pengetahuan ilmiah, popularitasnya terus meningkat. Pertanyaan yang muncul: Mengapa masyarakat kontemporer tetap mencari validasi diri melalui narasi yang tidak ilmiah?

 

Berlandaskan pemikiran Jean-François Lyotard mengenai ketidakpercayaan terhadap metanarasi, dan dengan menempatkan zodiak sebagai representasi narasi kecil (petit récit), kita dapat melihat bagaimana masyarakat posmodern mencari makna dan identitas di luar sistem epistemologis yang dominan.

 

Lyotard tentang Ketidakpercayaan terhadap Metanarasi

Dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), Jean-François Lyotard menyatakan bahwa era posmodern ditandai oleh incredulity toward metanarratives atau penolakan terhadap narasi-narasi besar yang mengklaim mampu menjelaskan dunia secara total. Narasi besar (metanarasi) mencakup ideologi besar seperti sains, agama, rasionalitas, dan kemajuan. Dalam modernitas, narasi-narasi ini dianggap sebagai sumber otoritatif kebenaran. Posmodernisme menandai berakhirnya dominasi narasi besar, dan sebagai gantinya muncul banyak narasi kecil yang lebih relevan dengan pengalaman pribadi. (Rofiq, 2020).

 

Lyotard mengamati bahwa hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap narasi-narasi tersebut mulai menggejala pasca-Perang Dunia II. Hal ini disebabkan oleh kekecewaan atas kegagalan proyek modernitas”, trauma sejarah, dan kebangkitan teknologi informasi. Pengetahuan tidak lagi dipandang tunggal dan objektif, tetapi menjadi fragmentaris, kontekstual, dan multi-perspektif. Ketidakpercayaan terhadap metanarasi di kalangan masyarakat posmodern memungkinkan munculnya fenomena seperti astrologi yang tidak bertujuan untuk mengklaim kebenaran universal (Putra, 2019). Sebagai gantinya, muncul narasi-narasi kecil (petit récits), yakni cerita-cerita lokal, subjektif, dan spesifik yang tidak mengklaim universalitas, namun memberi makna bagi kelompok atau individu tertentu. Dalam masyarakat posmodern, narasi kecil menjadi dominan karena menawarkan fleksibilitas dan kedekatan personal.

 

Zodiak sebagai Narasi Kecil: Pengetahuan Alternatif di Era Posmodern

Dalam kerangka Lyotard, astrologi dan zodiak dapat dibaca sebagai narasi kecil. Zodiak tidak mengklaim kebenaran universal, tetapi memberikan makna pada individu berdasarkan tanda bintang, elemen alam, dan posisi planet. Validasi kepribadian berdasarkan zodiak bersifat emosional dan intuitif, bukan ilmiah, namun tetap memiliki fungsi eksistensial. Dalam konteks globalisasi, astrologi menawarkan identitas yang bisa diakses oleh semua kalangan, mengabaikan batasan budaya dan geografi (Sari, 2022).

 

Penggunaan zodiak sebagai alat validasi diri berkembang seiring ketidakpuasan terhadap metode ilmiah yang dianggap terlalu kaku dan impersonal. Di sini, masyarakat mencari alternatif yang lebih reflektif terhadap pengalaman subjektif. Dalam hal ini, astrologi menawarkan narasi yang terasa personal, inklusif, dan tidak menghakimi. Masyarakat posmodern cenderung lebih percaya pada pengalaman langsung, perasaan pribadi, dan cerita individual ketimbang pada institusi atau otoritas formal. Zodiak, sebagai sistem simbolik, memberikan ruang bagi individu untuk memahami dirinya melalui kategori yang lentur dan familiar—tanpa tuntutan akademik atau pembuktian rasional. Inilah yang membuatnya relevan dalam konteks posmodernisme.

 

Media Sosial dan Produksi Makna dalam Budaya Posmodern

Media sosial berperan penting dalam menyebarkan dan memperkuat validasi kepribadian berdasarkan zodiak. Platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan munculnya diskursus yang mengangkat astrologi sebagai bagian dari gaya hidup. Ini menguatkan argumen Lyotard bahwa dalam masyarakat posmodern, pengetahuan dan kebenaran diproduksi melalui narasi-narasi populer, bukan institusi formal. Media sosial telah menjadi platform yang memperkuat pengaruh astrologi dalam pembentukan identitas individu, dengan menawarkan penafsiran personal yang mudah diakses (Hidayati, 2021)

 

Zodiak juga menjadi bagian dari identitas kultural dan simbolik. Ia tidak lagi hanya berfungsi sebagai ramalan, tetapi sebagai cara membentuk dan menampilkan diri (self-representation). Simbol-simbol seperti zodiak berperan penting dalam budaya posmodern karena memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri secara simbolik tanpa perlu berpegang pada kebenaran ilmiah atau objektif (Hasanah, 2020). Ketika seseorang menyebut dirinya sebagai "capricorn tulen" atau “aquarius yang overthinking”, itu adalah bentuk penciptaan identitas melalui simbol, bukan melalui kategori ilmiah. Ini menggambarkan bagaimana masyarakat posmodern lebih tertarik pada identitas yang diperformakan dan dinarasikan, bukan yang diwariskan secara esensial.


Refleksi

Fenomena validasi kepribadian berdasarkan zodiak merupakan gejala dari ketidakpercayaan terhadap metanarasi dalam masyarakat posmodern sebagaimana dijelaskan oleh Jean-François Lyotard. Di tengah krisis otoritas epistemologis dan kebenaran universal, masyarakat memilih narasi-narasi kecil yang lebih kontekstual, personal, dan emosional. Zodiak, dalam hal ini, bukan sekadar kepercayaan semu, tetapi menjadi bagian dari strategi penciptaan makna diri di dunia yang semakin plural dan terfragmentasi. Dengan demikian, pemikiran Lyotard menawarkan kerangka kritis untuk memahami pergeseran orientasi masyarakat terhadap sumber pengetahuan, serta mengakui bahwa “kebenaran” hari ini lebih banyak bersandar pada makna subjektif dan representasi simbolik, dibandingkan pada fondasi universal yang mutlak.


Referensi;

Andriyani, D. (2022). Zodiak sebagai narasi alternatif dalam masyarakat postmodern. Jurnal Sosioteknologi, 21(3), 211–225.

Hidayati, I. (2021). Astrologi dan pengaruhnya terhadap pembentukan identitas individu di media sosial.

Jurnal Psikologi dan Sosial, 14(3), 77–89.

Hasanah, D. (2020). Postmodernisme dan peran simbol dalam masyarakat digital. Jurnal Kajian Postmodern, 11(2), 45–59.

Ningsih, T. (2021). Astrologi sebagai narasi subjektif dalam era global. Jurnal Kebudayaan, 13(2), 150– 164.

Oktavia, R. (2021). Astrologi dan pencarian identitas di era digital. Jurnal Komunikasi dan Budaya, 13(2), 112–126.

Putra, A. (2019). Kritik terhadap metanarasi dalam era postmodern. Jurnal Teori dan Budaya, 15(2), 200– 215.

Rofiq, A. (2020). Postmodernisme dan fragmentasi kebenaran dalam budaya populer. Jurnal Filsafat, 30(1), 33–48.

Sari, L. (2022). Astrologi dan identitas dalam konteks globalisasi. Jurnal Sosial dan Budaya, 18(1), 34– 49.

Sumantri, R. (2021). Fragmentasi pengetahuan dalam masyarakat postmodern: Analisis konsep Lyotard.

Jurnal Filsafat Kontemporer, 10(4), 88–102.

Wulandari, Y. (2021). Pencarian makna dalam zodiak: Perspektif postmodern. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 22(1), 114–128.