 |
| [pic: psychologytoday.com] |
Briant Nor Pradhuka
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Udayana
Heartbreak
atau “patah hati” adalah masalah universal yang pernah dialami oleh hampir setiap
manusia yang dikecewakan sebab rasa cinta. Beberapa karya bertema patah hati
menjadi populer dan disukai banyak orang, sebab pesan dari karya-karya tersebut
sangat kuat, penuh emosi, begitu dalam, jujur, dan relate bagi
orang-orang dalam keadaan serta pengalaman yang sama. Album Red—Taylor Swift—yang rilis pada tahun 2012, menggambarkan
dinamika perjalanan hubungan cintanya. Rasa sayang, marah, dan sedih
digambarkan secara apik oleh Taylor Swift dalam album ini. Tahun 2021, Taylor
Swift meluncurkan ulang single All Too Well dengan versi sepuluh menit.
Dalam versi baru ini, rasa patah hati lagu All Too Well sangat kuat dan
epik. Didukung dari lirik-liriknya yang tersampaikan seperti diary.
Bercerita tentang kenangan, kerinduan, dan rasa sakit yang bertahan lama.
Selain single All Too Well,
realitas patah hati global juga tersampaikan secara kuat dalam film 500 Days
of Summer yang disutradarai oleh Marc Webb dan ditulis oleh Scott
Neustadter tahun 2009 silam. Film ini merefleksikan rasa sakit hati Tom Hansen
(tokoh utama) yang berharap hubungan kasihnya terlalu banyak (ekspektasi) dari
Summer Finn yang sejak awal sudah menyatakan tidak mencari hubungan serius
(realita). Film ini menampilkan Tom yang jatuh cinta pada Summer, sosok gadis
di kantornya yang memiliki pesona dan daya tarik kuat. Meskipun Summer sudah
memberikan sinyal bahwa hubungan mereka adalah hubungan santai (tidak ada label
pacaran), Tom salah menafsirkan setiap interaksi dan berharap Summer akan
berubah pikiran. Banyak masyarakat merasa terhubung dengan film ini, karena
mereka pernah menjadi Tom Hensen (si paling romantis yang over-Thinking)
dalam kehidupan nyata mereka.
Bicara soal patah hati, secara ilmiah,
rasa patah hati dapat dijelaskan secara runut. Seperti yang disampaikan Naomi
Eisenberger dari University of California; manusia ketika mengalami rasa patah
hati, otak mereka tidak dapat mengatasi permasalahan ini secara sendiri. Otak
manusia mengirimkan sinyal kepada anggota tubuh lain dengan cara memberitahukan
bahwa yang dialami saat itu adalah rasa sakit. Dari sinyal ini, efeknya
seolah-olah ada rasa tertekan dan sakit pada bagian dada. Lebih lanjut, Eisenberger
menjelaskan bahwa otak manusia memiliki beberapa jenis hormon yang memengaruhi
keadaan emosi dan perasaan, antara lain hormon cortisol (pemicu stress),
hormon dopamine (menstimulasi perasaan senang), hormon
neropinephirene (menimbulkan efek rasa super ceria), dan hormon
serotonin (mood stabilizer) merupakan hormon-hormon yang bertanggung
jawab pada keadaan psikologis manusia.
Dalam kondisi heartbreak, kinerja
hormon dopamine akan terhambat apabila korban tersebut merasa risau,
sedih, marah, dan kecewa. Hormon-hormon sumber kebahagiaan secara perlahan akan
berkurang produksinya, sehingga konsekuensinya tubuh korban heartbreak akan
beradaptasi dengan hormon pemicu stress (hormon cortisol) yang
akan diproduksi secara berlebihan. Hormon cortisol biasanya muncul
ketika seseorang dalam keadaan stress, tertekan, dan terancam. Cortisol
memberikan reaksi perlawanan pada diri seseorang. Sebagai contoh ketika
seseorang dihadapkan dalam kondisi genting dan terancam, hormon cortisol akan
memicu gerakan otot untuk menghindarinya. Dalam kondisi tubuh korban heartbreak,
cortisol akan bereaksi pada tubuh, misalnya ke dada yang dapat
menyebabkan rasa sakit tertekan dan terganggunya sirkulasi darah. Tak hanya
itu, cortisol juga berpengaruh terhadap kondisi fisik terutama sistem
imun korban heartbreak. Apabila tanpa ada tindakan penanganan dan
pertolongan, korban rasa patah hati juga akan beresiko mengalami
penyakit-penyakit yang lain.
Salah satu efek heartbreak serius
adalah Takotsubo Syndrome (TTS), yang juga dikenal sebagai stress-induced
cardiomyopathy atau broken heart syndrome. Dalam Circulation—American
Heart Association Journal (www.ahajournals.org), Trisha Singh et
al. (2022) menjelaskan TTS sebagai gangguan akut fungsi jantung kiri yang
meniru serangan jantung, tetapi tanpa adanya sumbatan pada arteri koroner.
Sindrom ini pertama kali dideskripsikan oleh Sato dan rekan-rekanya pada tahun
1990 di Jepang. Dinamai takotsubo karena bentuk ventrikel kiri (bagian
jantung) seseorang menyerupai perangkap gurita di Jepang (takotsubo).
Dalam artikelnya, Trisha Singh menyampaikan, awalnya kondisi takotsubo
syndrome dianggap sebagai kondisi penyakit ringan, akan tetapi dalam waktu belakangan
diketahui takotsubo syndrome sebagai salah satu penyebab kematian dan
sebagai kompilasi jangka panjang signifikan, setara dengan acute coronary
syndrome (ACS). Takotsubo syndrome digambarkan dengan kondisi stress
emosional manusia yang berlebihan, sehingga membuat hormon cortisol
diproduksi secara masal. Akibatnya kondisi ini menyebabkan melemahnya otot
jantung, di mana menciptakan gejala yang mirip dengan serangan jantung.
Selain takotsubo syndrome, efek
rasa patah hati juga mendatangkan risiko-risiko lainnya. Tiffany Field dalam
artikel berjudul Romantic Breakups, Heartbreak and Bereavement (2011)
menyebutkan perpisahaan romantis pada seseorang dapat menyebabkan gejala
kedukaan (bereavement) termasuk “pikiran mengganggu” (intrusive
thoughts), insomnia, dan faktor morbiditas seperti disfungsi imun dan broken
heart syndrome. Hal ini disebabkan karena hilangnya pasangan sebagai
pengatur stimulasi dan modulasi gairah. Artikel doktersehat.com yang diunggah
pada 2019 menyampaikan beberapa efek patah hati bagi korban dan pengaruhnya
pada permasalahan fisik serta mental. Korban patah hati umumnya mengalami
permasalahan kejiwaan, seperti kesedihan, kekecewaan, kekhawatiran, dan
kebencian pada diri sendiri. Selain itu, korban juga mengalami beberapa
permasalahan fisik, seperti kerontokan rambut, gangguan hormon, mengalami
masalah pencernaan, susah tidur, rentan penyakit jantung, berat badan menurun,
susah fokus, sakit kepala, dan nyeri dada.
Dalam upaya mengurangi serta mencegah korban
patah hati dalam kondisi lebih parah, permasalahan heartbreak dapat
dilakukan dengan memberikan pertolongan pertama melalui jalur komunikasi (first
aid communication). First aid communication dapat diajukan sebagai
metode pengalihan, pemulihan, dukungan, dan validasi para korban patah hati.
Penelitian Dr. Elisabeth Kubler-Ross (novel—On Death and Dying, 1969)
yang dibahas laman forbes.com (2024), berjudul A Psychologist Explains The 5
Stages of ‘Post-Breakup Grief’, menunjukkan terdapat lima fase patah hati
yang dialami oleh seseorang. Fase-fase ini tidak selalu terjadi secara
berurutan, tetapi juga bisa berbolak-balik antarfase. Proses ini adalah bagian
normal dari jalannya penyembuhan. Lima fase heartbreak seseorang di antaranya;
fase penyangkalan (denial), fase kemarahan (anger), fase
tawar-menawar (bargaining), fase depresi (depression), dan fase
penerimaan (acceptance).
Dari fase-fase patah hati tersebut,
sebelum korban sembuh dan tumbuh kembali sepenuhnya, first aid communication
dalam lini intrapersonal dan interpersonal menjadi tools sederhana
yang bisa memberikan penanganan. First aid communication intrapersonal
merupakan pertolongan pertama yang dilakukan melaui proses komunikasi dengan
diri sendiri (komunikasi mandiri korban patah hati). Langkah-langkahnya bisa memulai
dengan self-talk atau dialog dengan batin. Pada fase penyangkalan (denial),
cara ini bisa dimulai dengan mengizinkan diri untuk merasakan rasa terkejut
akan perpisahan, bukan secara langsung memaksakan untuk menerimanya. Pada fase
kemarahan (anger), self-talk yang bisa dilakukan adalah mengakui
dan memvalidasi rasa kemarahan. Dengan mengekspresikan kemarahan seperti berteriak,
lari, taekwondo, renang, dan kegiatan lain yang dinilai bisa meredam rasa sakit
patah hati.
Di fase tawar-menawar (bargaining),
self talk dapat dilakukan dengan mengidentifikasi pola berpikir yang
berulang. Langkah-langkahnya adalah dengan mendebat pikiran “seandainya” secara
logis. Mengubah fokus dari “mengubah masa lalu” menjadi “merencanakan satu langkah
kecil ke depan”, seperti “Saya akan melakukan satu hal baik untuk diri
sendiri hari ini”. Pada fase depresi (depression), self talk
yang bisa dilakukan adalah memvalidasi rasa kesedihan yang mendalam. Dengan mengizinkan
diri untuk beristirahat dan berduka, seperti memberikan tubuh untuk menangis
dan mendengarkan musik sedih tanpa terjebak alur di dalamnya, akan membantu
melatih diri untuk terbiasa dan selesai dengan keadaan tersebut. Di fase
penerimaan (acceptance), self talk dalam tahap ini adalah
menciptakan kembali identitas. Dengan menetapkan tujuan baru yang realistis dan
mengubah perspektif dari “menyalahkan” menjadi afirmasi positif dan syukur
(melihat pelajaran dari pengalaman) membuat diri bisa usai dan terlepas dari
permasalahan heartbreak.
Langkah berikutnya adalah first aid
communication interpersonal. Langkah ini merupakan metode pertolongan
pertama yang dilakukan melalui proses komunikasi antara korban patah hati
dengan dua orang atau lebih (orang terdekat). Pertolongan pertama ini dapat
dilakukan dengan cara verbal maupun nonverbal. Pada fase penyangkalan (denial),
komunikasi interpersonal bisa dilakukan dengan cara orang terdekat korban mendengarkan
korban secara aktif dan memberikan validasi kepada mereka. Bentuk validasi orang
terdekat terkait kondisi yang dialami saat itu akan membantu korban menyadari
dan mulai memahami keadaannya. Dalam proses ini, komunikasi dengan korban,
hindari upaya “memperbaiki” atau memaksa menerima fakta secara langsung. Orang
terdekat bisa memberikan soft support seperti membuatkan makanan (bentuk
komunikasi nonverbal). Di fase kemarahan (anger), komunikasi
interpersonal yang dapat dilakukan adalah; orang terdekat korban menyediakan
ruang aman tanpa menghakimi keadaan korban. Mendampingi korban melampiaskan
emosi ke arah positif sepeti kegiatan fisik olahraga atau kegiatan yang disukai
korban (selama tidak merugikan diri sendiri atau orang lain).
Selanjutnya di fase tawar-menawar (bargaining),
komunikasi interpersonal bisa dilakukan dengan cara orang terdekat secara
lembut memandu korban untuk “kembali ke realitas”, dengan menyadarkan mereka
untuk menghentikan fantasi tentang “rekonsialisasi” dan mengingatkan tentang “nilai
diri”. Di fase depresi (depression), orang terdekat bisa menawarkan kehadiran
yang tenang, lalu memberikan dukungan praktis tanpa paksaan. Para korban patah
hati bisa diajak melakukan aktivitas sederhana seperti jalan-jalan sebentar,
lalu makan, atau membeli es krim, di samping itu, orang terdekat perlu memantau
tanda-tanda klinis korban. Jika memang dirasa perlu, orang terdekat korban bisa
memberikan saran untuk datang ke profesional (seperti terapis atau konselor). Di
fase penerimaan (acceptance), orang terdekat bisa membantu membuat perayaan
pencapaian kecil atas keberhasilan penerimaan korban terkait kondisinya. Serangkaian
cara ini setidaknya bisa meredamkan dan membantu mengolah jiwa berikut raga
korban patah hati menjadi lebih baik.
*****