[pic: smassingculture.gr]

Bella Herdiansyah

Mahasiswi Prodi Sosiologi

Universitas Udayana

 

 

Di media sosial, kita tidak hanya menyaksikan bagaimana individu berbagi kebahagiaan atau pencapaian, tetapi juga menyaksikan kisah-kisah yang lebih personal dan sering kali penuh kontroversi. Salah satu hal tersebut dapat dilihat lewat kanal YouTube berformat podcast. Kanal-kanal podcast YouTube kerapkali  tidak hanya mengundang narasumber untuk berbagi cerita, tetapi juga menghadirkan sebuah dinamika baru yang mengaburkan batas antara diskusi yang emosional, hiburan, dan kapitalisme digital. Dengan demikian, ia tidak hanya berfungsi sebagai wadah berbagi kisah, tetapi juga sebagai media yang menghasilkan nilai ekonomi melalui perhatian audiens.

 

Fenomena di atas kiranya membuka diskusi tentang bagaimana emosi yang disajikan di dunia digital tidak hanya menjadi media diskusi atau klarifikasi, tetapi juga produk komoditas. Di balik niat untuk memberi ruang bagi individu yang ingin berbagi kisah hidup mereka, kanal tersebut juga berfungsi untuk menarik perhatian publik dan menghasilkan uang melalui monetisasi yang didapatkan dari jumlah viewers, klik, dan interaksi. Dalam dunia kapitalisme digital, kapitalisasi afeksi menjadi sangat relevan karena emosi yang disampaikan dalam kanal ini bukan hanya untuk meraih atensi saja, tetapi juga sebagai alat untuk meraih keuntungan finansial.

 

Ketika kita melihat berbagai podcast semacam ini, kita bisa mengaitkannya dengan teori industri budaya yang dikemukakan oleh Adorno dan Horkheimer. Mereka berbicara tentang bagaimana budaya, termasuk hiburan, diproduksi sebagai komoditas yang dikonsumsi oleh masyarakat. Dalam hal ini, berbagai podcast YouTube seringkali mengemas isu kontroversial, kisah-kisah pribadi, bahkan yang melibatkan trauma dan luka emosional menjadi bagian dari produk hiburan yang siap untuk dikonsumsi oleh audiens. Setiap video yang diunggah adalah produk yang tidak hanya untuk menyentuh hati audiens, tetapi juga untuk menciptakan nilai ekonomi.

 

Teori industri budaya yang dikembangkan Adorno dan Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment menegaskan bahwa dalam masyarakat kapitalis modern, budaya diproduksi secara massal untuk menciptakan konsumsi pasif. Budaya tidak lagi menjadi ekspresi autentik atau sarana pencerahan, melainkan komoditas yang diproduksi demi keuntungan ekonomi. Mereka menyatakan, budaya massa tidak mencerahkan masyarakat, tetapi mengubah mereka menjadi konsumen yang pasif (Adorno & Horkheimer, 1997). Dalam industri budaya, seni dan emosi diproduksi, distandarisasi, dan dikomodifikasi agar mudah dijual dan dikonsumsi publik.

 

Adorno dan Horkheimer menyoroti bahwa industri budaya memanipulasi massa, mengubah masyarakat menjadi subjek pasif dan keberadaannya tersubordinasi (Anugrah, 2024). Mereka menegaskan bahwa “nilai guna” (use value) dalam budaya telah digantikan oleh “nilai tukar” (exchange value), di mana tujuan utama produksi budaya adalah profit, bukan pencerahan atau pembebasan manusia.

 

Terkait hal di atas, berbagai podcast YouTube pun menciptakan sebuah ruang di mana emosi menjadi komoditas yang diperdagangkan dalam dunia kapitalisme digital. Di satu sisi, kanal tersebut turut menyediakan platform untuk klarifikasi, tetapi di sisi lain, ia juga menggambarkan bagaimana kapitalisasi afeksi dapat beroperasi di dunia yang serba digital ini. Seperti yang ditegaskan oleh Adorno dan Horkheimer, prinsip industri budaya adalah “tujuan yang dinyatakan oleh pasar” (Prasisko, 2024). Meskipun memberi kesempatan bagi suara-suara yang terpinggirkan untuk didengar, kanal podcast YouTube juga menunjukkan bagaimana industri budaya digital memperdagangkan emosi sebagai bagian dari produk hiburan yang lebih besar.

 

Di dunia yang semakin terhubung oleh media sosial, emosi dan perasaan menjadi lebih dari sekadar pengalaman pribadi. Dalam pandangan Eva Illouz, kapitalisme emosional didefinisikan sebagai proses ganda yang dengannya hubungan emosional dan ekonomi saling mendefinisikan dan membentuk satu sama lain (Illouz, 2007). Melalui perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana emosi seperti kebahagiaan, kesedihan, maupun trauma telah bertransformasi menjadi sebuah komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan sosial.

 

Kapitalisme telah mengubah kehidupan emosional secara mendasar, menciptakan sebuah sistem di mana pengalaman emosional merupakan komoditas dan bagian integral dari interaksi ekonomi dan sosial  (Illouz, 2017b). Di dunia media sosial, setiap ekspresi emosional yang disampaikan, terutama yang terkait dengan trauma atau luka, tidak hanya menjadi bahan diskusi, tetapi juga diperlakukan sebagai produk yang bisa diperdagangkan. Dalam konteks ini, emosi tidak hanya dirasakan, tetapi juga dibeli, dijual, dan dipertukarkan, yang memengaruhi segala hal mulai dari budaya konsumen hingga hubungan pribadi.

 

Kisah-kisah emosional yang dibagikan melalui kanal YouTube bukan hanya bertujuan untuk menyentuh hati audiens, tetapi juga untuk mendapatkan perhatian dalam bentuk views yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan. Narasi tersebut sangat bervariasi, mulai dari cerita-cerita inspiratif hingga pengalaman traumatis yang dialami oleh narasumber. Setiap cerita, meskipun memiliki nilai emosional yang tinggi, juga memiliki nilai komersial karena kanal ini berfungsi sebagai produk konsumsi. Dalam hal ini, emosi bukan hanya untuk disaksikan dan dipahami, tetapi juga untuk dikonsumsi, dibicarakan, dan pada akhirnya menghasilkan keuntungan bagi pembuat konten.

 

Hal ini memperkuat pandangan (Illouz, 2017a), bahwa kapitalisme tidak hanya merasionalisasi dan mengomodifikasikan barang dan jasa, tetapi juga telah menyusup dan membentuk kembali kehidupan emosional, menciptakan bentuk subjektivitas baru di mana emosi diproduksi dan dikonsumsi. Pada gilirannya, kapitalisme emosional membawa dampak besar pada cara kita memandang emosi dalam konteks media sosial. Emosi yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang sangat pribadi dan internal kini menjadi komoditas yang bisa dikonsumsi publik. Meskipun ada niat untuk membantu dan memberikan pemahaman tentang trauma dan luka, kanal ini juga mengubah luka emosional menjadi bagian dari industri hiburan digital yang berorientasi pada keuntungan. Dalam dunia digital, emosi tidak lagi hanya tentang berbagi atau menyembuhkan, tetapi juga tentang mengubah pengalaman pribadi menjadi produk yang dapat dijual!

 

Referensi;

Adorno, T. W., & Horkheimer, M. (1997). Dialectic of Enlightenment. Verso.

Anugrah, D. W. (2024). Adorno & Horkheimer: Sebuah Analisis Kritis Industri Kebudayaan. LSF Discourse. https://lsfdiscourse.org/adorno-horkheimer-sebuah-analisis-kritis-industri-kebudayaan/

Illouz, E. (2007). Cold Intimacies: The Making of Emotional Capitalism. Polity Press.

Illouz, E. (2017a). Emotions as Commodities: Capitalism, Consumption and Authenticity (1st ed.). Routledge.

Illouz, E. (Ed.). (2017b). Emotions as Commodities. Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315210742

Prasisko, Y. G. (2024). Apa itu Industri Budaya? Istilah dari Theodore Adorno dan Max Horkheimer. Brikolase ( Pusat Kajian Seni Dan Budaya Kontemporer). https://www.brikolase.com/apa-itu-industri-budaya-istilah-dari-theodore-adorno-dan-max-horkheimer/

 

 

[pic: people.com]

Nadjwa Aulia

Mahasiswi Prodi Sosiologi

Universitas Udayana

 

Kepercayaan terhadap astrologi dan zodiak menjadi bagian dari arus budaya populer yang signifikan di masa kini. Di era digital, astrologi menjadi lebih dari sekadar ramalan, melainkan sebuah sarana pencarian identitas yang menawarkan pengakuan personal dan komunitas (Oktavia, 2021). Fenomena validasi kepribadian melalui zodiak semakin populer dalam kehidupan masyarakat kontemporer, terutama di kalangan generasi muda. Zodiak berfungsi sebagai narasi alternatif yang memberi ruang bagi individu untuk membangun identitas mereka dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan plural (Andriyani, 2022).

 

Fenomena tersebut dapat dianalisis menggunakan pendekatan teori posmodern Jean-François Lyotard tentang ketidakpercayaan terhadap metanarasi (incredulity toward metanarratives). Dengan membandingkan narasi besar seperti ilmu pengetahuan dan agama dengan narasi kecil seperti astrologi, hal ini menunjukkan bahwa zodiak bukan sekadar kepercayaan populer, melainkan cerminan dari krisis epistemologis masyarakat posmodern yang semakin mengutamakan subjektivitas, emosi, dan identitas personal daripada kebenaran objektif.

 

Lyotard mengemukakan bahwa pengetahuan dalam masyarakat posmodern bersifat terfragmentasi, yang mengarah pada pencarian makna melalui narasi kecil seperti astrologi (Sumatri, 2021). Dalam kerangka Lyotard, astrologi adalah narasi kecil yang menyediakan makna simbolik dalam realitas yang telah terfragmentasi. Fenomena penggunaan zodiak menunjukkan bagaimana masyarakat posmodern mencari makna dalam kehidupan yang semakin terfragmentasi, mengandalkan narasi pribadi untuk membentuk pemahaman mereka (Wulandari, 2021)

 

Banyak orang menggunakan zodiak sebagai kerangka untuk memahami diri, merasionalisasi emosi, hingga memaknai relasi interpersonal. Fenomena ini terlihat jelas di media sosial, di mana konten seputar kepribadian zodiak dan kecocokan asmara berdasarkan tanda bintang mendapatkan jutaan penayangan. Astrologi berfungsi sebagai narasi subjektif yang memungkinkan individu membangun realitas pribadi mereka dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan pluralitas (Ningsih, 2021). Meskipun astrologi tidak diakui sebagai pengetahuan ilmiah, popularitasnya terus meningkat. Pertanyaan yang muncul: Mengapa masyarakat kontemporer tetap mencari validasi diri melalui narasi yang tidak ilmiah?

 

Berlandaskan pemikiran Jean-François Lyotard mengenai ketidakpercayaan terhadap metanarasi, dan dengan menempatkan zodiak sebagai representasi narasi kecil (petit récit), kita dapat melihat bagaimana masyarakat posmodern mencari makna dan identitas di luar sistem epistemologis yang dominan.

 

Lyotard tentang Ketidakpercayaan terhadap Metanarasi

Dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), Jean-François Lyotard menyatakan bahwa era posmodern ditandai oleh incredulity toward metanarratives atau penolakan terhadap narasi-narasi besar yang mengklaim mampu menjelaskan dunia secara total. Narasi besar (metanarasi) mencakup ideologi besar seperti sains, agama, rasionalitas, dan kemajuan. Dalam modernitas, narasi-narasi ini dianggap sebagai sumber otoritatif kebenaran. Posmodernisme menandai berakhirnya dominasi narasi besar, dan sebagai gantinya muncul banyak narasi kecil yang lebih relevan dengan pengalaman pribadi. (Rofiq, 2020).

 

Lyotard mengamati bahwa hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap narasi-narasi tersebut mulai menggejala pasca-Perang Dunia II. Hal ini disebabkan oleh kekecewaan atas kegagalan proyek modernitas”, trauma sejarah, dan kebangkitan teknologi informasi. Pengetahuan tidak lagi dipandang tunggal dan objektif, tetapi menjadi fragmentaris, kontekstual, dan multi-perspektif. Ketidakpercayaan terhadap metanarasi di kalangan masyarakat posmodern memungkinkan munculnya fenomena seperti astrologi yang tidak bertujuan untuk mengklaim kebenaran universal (Putra, 2019). Sebagai gantinya, muncul narasi-narasi kecil (petit récits), yakni cerita-cerita lokal, subjektif, dan spesifik yang tidak mengklaim universalitas, namun memberi makna bagi kelompok atau individu tertentu. Dalam masyarakat posmodern, narasi kecil menjadi dominan karena menawarkan fleksibilitas dan kedekatan personal.

 

Zodiak sebagai Narasi Kecil: Pengetahuan Alternatif di Era Posmodern

Dalam kerangka Lyotard, astrologi dan zodiak dapat dibaca sebagai narasi kecil. Zodiak tidak mengklaim kebenaran universal, tetapi memberikan makna pada individu berdasarkan tanda bintang, elemen alam, dan posisi planet. Validasi kepribadian berdasarkan zodiak bersifat emosional dan intuitif, bukan ilmiah, namun tetap memiliki fungsi eksistensial. Dalam konteks globalisasi, astrologi menawarkan identitas yang bisa diakses oleh semua kalangan, mengabaikan batasan budaya dan geografi (Sari, 2022).

 

Penggunaan zodiak sebagai alat validasi diri berkembang seiring ketidakpuasan terhadap metode ilmiah yang dianggap terlalu kaku dan impersonal. Di sini, masyarakat mencari alternatif yang lebih reflektif terhadap pengalaman subjektif. Dalam hal ini, astrologi menawarkan narasi yang terasa personal, inklusif, dan tidak menghakimi. Masyarakat posmodern cenderung lebih percaya pada pengalaman langsung, perasaan pribadi, dan cerita individual ketimbang pada institusi atau otoritas formal. Zodiak, sebagai sistem simbolik, memberikan ruang bagi individu untuk memahami dirinya melalui kategori yang lentur dan familiar—tanpa tuntutan akademik atau pembuktian rasional. Inilah yang membuatnya relevan dalam konteks posmodernisme.

 

Media Sosial dan Produksi Makna dalam Budaya Posmodern

Media sosial berperan penting dalam menyebarkan dan memperkuat validasi kepribadian berdasarkan zodiak. Platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan munculnya diskursus yang mengangkat astrologi sebagai bagian dari gaya hidup. Ini menguatkan argumen Lyotard bahwa dalam masyarakat posmodern, pengetahuan dan kebenaran diproduksi melalui narasi-narasi populer, bukan institusi formal. Media sosial telah menjadi platform yang memperkuat pengaruh astrologi dalam pembentukan identitas individu, dengan menawarkan penafsiran personal yang mudah diakses (Hidayati, 2021)

 

Zodiak juga menjadi bagian dari identitas kultural dan simbolik. Ia tidak lagi hanya berfungsi sebagai ramalan, tetapi sebagai cara membentuk dan menampilkan diri (self-representation). Simbol-simbol seperti zodiak berperan penting dalam budaya posmodern karena memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri secara simbolik tanpa perlu berpegang pada kebenaran ilmiah atau objektif (Hasanah, 2020). Ketika seseorang menyebut dirinya sebagai "capricorn tulen" atau “aquarius yang overthinking”, itu adalah bentuk penciptaan identitas melalui simbol, bukan melalui kategori ilmiah. Ini menggambarkan bagaimana masyarakat posmodern lebih tertarik pada identitas yang diperformakan dan dinarasikan, bukan yang diwariskan secara esensial.


Refleksi

Fenomena validasi kepribadian berdasarkan zodiak merupakan gejala dari ketidakpercayaan terhadap metanarasi dalam masyarakat posmodern sebagaimana dijelaskan oleh Jean-François Lyotard. Di tengah krisis otoritas epistemologis dan kebenaran universal, masyarakat memilih narasi-narasi kecil yang lebih kontekstual, personal, dan emosional. Zodiak, dalam hal ini, bukan sekadar kepercayaan semu, tetapi menjadi bagian dari strategi penciptaan makna diri di dunia yang semakin plural dan terfragmentasi. Dengan demikian, pemikiran Lyotard menawarkan kerangka kritis untuk memahami pergeseran orientasi masyarakat terhadap sumber pengetahuan, serta mengakui bahwa “kebenaran” hari ini lebih banyak bersandar pada makna subjektif dan representasi simbolik, dibandingkan pada fondasi universal yang mutlak.


Referensi;

Andriyani, D. (2022). Zodiak sebagai narasi alternatif dalam masyarakat postmodern. Jurnal Sosioteknologi, 21(3), 211–225.

Hidayati, I. (2021). Astrologi dan pengaruhnya terhadap pembentukan identitas individu di media sosial.

Jurnal Psikologi dan Sosial, 14(3), 77–89.

Hasanah, D. (2020). Postmodernisme dan peran simbol dalam masyarakat digital. Jurnal Kajian Postmodern, 11(2), 45–59.

Ningsih, T. (2021). Astrologi sebagai narasi subjektif dalam era global. Jurnal Kebudayaan, 13(2), 150– 164.

Oktavia, R. (2021). Astrologi dan pencarian identitas di era digital. Jurnal Komunikasi dan Budaya, 13(2), 112–126.

Putra, A. (2019). Kritik terhadap metanarasi dalam era postmodern. Jurnal Teori dan Budaya, 15(2), 200– 215.

Rofiq, A. (2020). Postmodernisme dan fragmentasi kebenaran dalam budaya populer. Jurnal Filsafat, 30(1), 33–48.

Sari, L. (2022). Astrologi dan identitas dalam konteks globalisasi. Jurnal Sosial dan Budaya, 18(1), 34– 49.

Sumantri, R. (2021). Fragmentasi pengetahuan dalam masyarakat postmodern: Analisis konsep Lyotard.

Jurnal Filsafat Kontemporer, 10(4), 88–102.

Wulandari, Y. (2021). Pencarian makna dalam zodiak: Perspektif postmodern. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 22(1), 114–128.


Briant Nor Pradhuka

Dosen Ilmu Komunikasi UNUD


Berangkat dari salah satu konten Instagram @awamprakoso yang diunggah pada 8 Januari 2025, menyampaikan betapa pentingnya sebuah hubungan kedekatan emosional antara orang tua dengan anaknya, yang dibangun melalui “komunikasi obrolan kosong”, ini mendapatkan banyak umpan balik dari masyarakat digital Instagram. Sejauh ini pada Kamis 23 Januari 2025, pukul 07.00 WITA, masyarakat digital Instagram merespon dengan 67,7K menyukai konten, 20,4K akun membagikan konten, dan 581 memberikan respon komentar. Dari pendapat masyarakat digital melalui komentar, mayoritas setuju, memberi dukungan, dan menceritakan pengalaman mereka saat menjadi anak serta peran mereka ketika menjadi orang tua bahwa “komunikasi obrolan kosong” ini sangat berdampak dan memberikan kedekatan emosional hubungan antara orang tua dengan anak.

 

Sama seperti yang dialami oleh penulis, bahwa bisa sangat bersyukur karena diberikan kesempatan memiliki kedua orang tua yang senantiasa mengajak anak-anaknya untuk berkomunikasi dengan “obrolan-obrolan kosong” sedari dini. Bapak dan Ibu penulis selalu memberikan waktu dan kesempatan kepada anak-anaknya untuk menceritakan apa saja yang dialami selama sekolah, sepulang bermain dengan teman-teman, menyampaikan apa saja yang dialami dan dirasakan dari SD sampai kuliah. Dan bahkan sampai saat ini pun secara sukarela anak-anaknya selalu menyampaikan hal-hal kecil dan luar biasa kepada orangtuanya. Meminta saran, pertimbangan, obrolan basa-basi, bercanda menjadi hal-hal keseharian komunikasi dalam keluarga ini. Dari pengalaman ini, penulis merasakan kedekatan emosional yang baik dengan keluarganya.

 

Dalam Instagramnya, @awamprakoso menyampaikan “obrolan kosong” adalah percakapan ringan, tidak produktif, basa-basi tanpa ada tujuan atau topik yang bermakna. Ibaratnya seperti obrolan dengan teman, obrolan ringan tanpa beban. @awamprakoso juga menyampaikan bahwa “obrolan kosong” ketika dipraktikkan sejak dini kepada anak-anak, memiliki manfaat menguatkan bonding (hubungan kuat, intim, dan mendalam) antara orang tua dengan anaknya. Anak-anak tidak khawatir akan dinilai, diceramahi, dinasehati, dan dihakimi. Pengalaman penulis juga sama seperti apa yang disampaikan @awamprakoso, kedekatan penulis dengan orang tuanya begitu asyik dan nyaman. Hubungan mereka begitu dekat dan akrab. Segala hal yang dialami oleh penulis dan saudaranya, bisa disampaikan dengan baik kepada orang tuanya, tanpa rasa takut dihakimi dan diadili. Salah satu keberhasilan orang tua adalah bisa membangun hubungan baik dengan anak-anaknya. Dari hubungan baik inilah, orang tua bisa leluasa memberikan edukasi dan informasi yang bisa diterima baik oleh anak-anaknya untuk kebaikan mereka.

 

Selain bonding orang tua kepada anaknya, “obrolan kosong” memberikan beberapa manfaat, seperti yang penulis alami, yaitu timbulnya rasa hangat, sayang, nyaman, dan percaya kepada orang tua; Meningkatkan rasa mandiri, pencaya diri, tanggung jawab, dan tangguh; Mengurangi perilaku negatif dan meningkatkan prestasi; Menguatkan ketahanan mental. Manfaat-manfaat tersebut muncul dari hubungan hangat melalui proses intensitas komunikasi antara anak dan orang tua penulis. Hubungan hangat ini sangat membantu membangun sikap saling percaya, saling mendukung, dan saling mengkuatkan. Hal ini sebenarnya sangat relate menjadi salah satu langkah penyelesaian permasalahan apabila dikaitkan isu-isu problematika yang dialami oleh generasi remaja “Gen Z”, yang mungkin masih belum terbangun hubungan hangat dan intiim dengan orang tuanya.

 

Dalam beberapa jurnal dan artikel penelitian menyebutkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang dialami oleh Gen Z, permasalahan tersebut seperti kesehatan mental (over thinking atau kecemasan, kekhawatiran, & ketakutan), kecanduan hal-hal negatif (sosial media, pornografi, judi online, dan obat-obatan), sikap kasar dan temperamental, susah fokus, cyber bullying, tekanan sosial, dan beberapa permasalahan lainnya. Dari problematika-problematika tersebut, peran dan andil orang tua sebagai orang terdekat sangat diperlukan untuk meminimalisir, bahkan meredamkan permasalahan-permasalahan tersebut. Dimulai dengan “obrolan kosong” dengan tujuan menciptakan hubungan hangat. Lantas bagaimana jika orang tua belum menerapkan “obrolan kosong” kepada anaknya? Sesegera mungkin menyampaikan “obrolan kosong” dengan pendekatan melaui langkah-langkah “penetrasi sosial”.

 

Penetrasi sosial merupakan konsep teori yang diajukan oleh 2 ahli psikologi yaitu Irwin Altman dan Dalmas Taylor pada tahun 1973. Teori ini menyampaikan bahwa hubungan interpersonal berkembang melalui pengungkapan diri yang berakhir sebagai teman baik. Melalui tahap-tahap hubungan yang teratur (seperti lapisan bawang), hubungan akan terbanun dan berjalan dari proses hubungan pendekatan, hingga terjalin hubungan hangat yang intim diantara keduanya. Beberapa step atau tahapan dalam teori ini, diawali dengan tahap orientasi, tahap penjajakan, tahap pertukaran afektif, sampai tahap pertukaran stabilitas.

 

1.    Tahap Orientasi

Tahap orientasi adalah tahap komunikasi awal antara anak dengan orang tua. Dalam tahap ini, bisa dimulai dengan orang tua berinisiatif mulai membuka obrolan dengan anaknya, menanyakan tugas sekolah atau kegiatan ekstrakurikuler. Penting juga di awal proses ini menambahkan konteks “obrolan ringan”. Obrolan ringan dengan maksud berkomunikasi dengan lembut, nyaman, tanpa menghakimi dan menilai. Dari Langkah awal ini hubungan antara anak dan orang tua yang sebelumnya dingin bisa akan sedikit mencair dan mulai ada menumbuhkan benih rasa nyaman dan percaya.

 

2.    Tahap Penjajakan

Tahap penjajakan adalah tahap keterbukaan antara anak dengan orang tua. Ketika anak sudah mulai sedikit nyaman, mereka akan mulai membuka sedikit lebih mendalam terkait perasaan mereka. Mereka akan secara otomatis akan menceritakan tentang teman-teman dan kondisi disekolah, meskipun belum menyampaikan hal-hal pribadi anak. Ketika sudah terbangun rasa sedikit nyaman, diperlukan juga peran orang tua untuk men-treatment lebih dalam “komunikasi obrolan kosong”. Misal dengan memulai memberikan kesempatan anak untuk berkomunikasi tanpa menghakimi, memeluk mereka sambil bercanda. Dari Langkah-langkah ini anak akan lebih nyaman dan percaya kepada orang tuanya. Kalau anak sudah remaja dewasa, perlakukan anak seperti sahabat karib.

 

3.    Tahap Pertukaran Afektif

Tahap pertukaran afektif adalah tahap awal kedekatan antara anak dengan orang tua. Seiring berjalannya waktu, anak mulai nyaman berkomunikasi dengan orang tua mereka menyampaikan masalah-masalah emosi mereka. Mereka akan cerita terkait dengan kecemasan, frustrasi, kebingungan, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Dari sini orang tua mulai lebih memahami sisi emosional anak. Sangat penting peran orang tua memberikan dukungan, nasehat, motivasi, dan semangat untuk mereka.

 

4.    Tahap Pertukaran Stabil

Tahap pertukaran stabil adalah tahapan ketika terbangun hubungan hangat intim antara anak dengan orang tua. Dalam hal ini anak lebih sangat terbuka dan sangat nyaman kepada orang tua. Mereka senangtiasa menyampaikan permasalahan-permasalahan dan isu-isu sensitif yang dialaminya. Penting kaitannya peran orang tua untuk selalu dekat, mendukung, memotivasi, merangkulnya, dan selalu hadir untuk menguatkan serta memberikan motivasi dan hal-hal baik untuk anaknya.

 

*****

[pic: cnnindonesia.com]

Briant Nor Pradhuka

Dosen Ilmu Komunikasi UNUD


Tak sedikit keluarga di tanah air yang memiliki kultur memajang foto keluarga di sudut sosial rumah, seperti ruang keluarga, ruang tamu, dan ruang makan. Hal ini sudah dilakukan dan bahkan secara alami menjadi kebiasaan dan warisan bagi anak yang nanti akan memiliki keluarga kecil barunya. Foto keluarga adalah foto yang menampilkan visual anggota keluarga yang pada umumnya terdiri dari bapak, ibu, dan anak (foto keluarga kecil). Sering juga foto keluarga hadir dengan anggota keluarga yang lebih kompleks dan lebih besar, seperti tambahan hadirnya kakek, nenek, paman, bibi, keponakan, dan cucu. Foto keluarga yang sering mengisi sudut rumah, biasanya di produksi dalam momen-momen spesial seperti pada hari besar perayaan agama, pernikahan, ulang tahun, dan momen special lainnya. Selain itu, beberapa keluarga memajang foto mereka dari hasil liburan, wisuda, dan foto studio.

 

Dalam perspektif ilmu komunikasi, foto keluarga merupakan sebuah media yang memiliki pesan dan makna melalui simbol-simbol visual. Seperti yang diungkapkan oleh Marshall McLuhan seorang filsuf dan teoretikus media yang terkenal dengan gagasan-gagasannya yang revolusioner tentang bagaimana media memengaruhi masyarakat dan budaya, bahwa “The medium is the message”. Menjadi sebuah medium, foto keluarga dalam hal ini memiliki pesan tersendiri dari nilai visualnya, seperti membawa narasi cerita, menghadirkan emosi-emosi yang diabadikan, dan adanya identitas keluarga yang kuat dari visual yang dibuat ini.

 

1.  Narasi cerita foto keluarga: foto keluarga menghadirkan setiap kisah dan narasi unik. Seperti ketika foto itu dibuat atau diproduksi, ada beberapa momen yang terjadi pada waktu itu hadir menjadi sebuah narasi atau cerita dalam foto tersebut. Misalnya, foto keluarga yang dibuat dalam waktu anak pertama lahir, ulang tahun pernikahan kakek & nenek, pernikahan kedua paman atau bibik, dan momen-momen lainnya. Begitupun pasca foto itu dibuat, dalam waktu 10 tahun lebih berlalu, atau 5 tahun waktu sebelum itu foto keluarga dibuat, maka dokumen tersebut menjadi artefak yang sangat bernilai bagi keluarga. Foto keluarga selalu akan membawa kisah dan menghadirkan narasi-narasi bagi sipemilik.

 

2.  Emosi yang hadir dalam foto keluarga: dipajang dalam ruang sosial rumah, foto keluarga menghadirkan sisi sensitif bagi pemiliknya. Foto keluarga memiliki simbol-simbol visual yang kuat menggambarkan tentang ikatan emosional, seperti rasa cinta, kebersamaan, dan solidaritas antar anggota keluarga. Meskipun dirasa bahwa foto keluarga kurang berdampak secara langsung, namun dampak tentang emosi ini akan mulai dirasakan apabila salah satu dari anggota keluarga tersebut sedang pergi dan berpulang kepada-Nya.

 

3. Identitas dalam foto keluarga: foto keluarga menjadi identitas yang menggambarkan hubungan dan relasi disetiap anggotanya. Seperti, sebagai seorang anak, sebagai seorang orang tua, atau sebagai seorang saudara. Foto keluarga kaitannya dengan identitas juga menjadi “penanda generasi” tertentu dalam bagian silsilah, dimana seseorang dapat melihat hubungan keluarga tersebut dengan generasi sebelumnya, dan nantinya keluarga tersebut juga akan warisan visual tersebut untuk generasi berikutnya (artefak silsilah keluarga).

 

Berbicara mengenai foto keluarga, dokumen visual ini memiliki dampak atau impresi bagi pemiliknya. Beberapa impresi diantaranya adalah:

 

1.  Meningkatkan identitas diri: dalam hal ini foto keluarga membantu masing-masing dari anggotanya merasakan saling memiliki dan melengkapi. Seperti layaknya keluarga, mereka memiliki peran dan nilai. Bapak atau Ibu menjadi kepala keluarga (tergantung konteks), anak menjalankan tugas, kewajiban, dan mendapatkan haknya dalam bagian keluarga, serta peran dan kehadiran mereka dalam anggota keluarga yang lebih besar.

 

2. Meredakan stress dan membangkitkan emosi positif: selain menambah estetika dalam sudut rumah, impresi yang dibuat oleh foto keluarga, salah satunya adalah menghadirkan perasaan nyaman, aman, dan nostalgia terhadap momen hangat yang memorable. Seperti foto keluarga membantu meredamkan perselisihan kecil yang terjadi dalam anggota keluarga. Dengan melihat dokumen visual kenangan bersama, dalam momen-momen indah yang terekam, membantu mengurangi tekanan dan emosi dari perselisihan tersebut. Melihat foto anak pertama saat lahir, dapat mengembalikan kenangan hangat dan momen kebahagiaan bagi bapak dan ibunya. Foto anak liburan dan bermain waktu kecil membantu meredakan perselisihan antar saudara.

 

3. Mendorong keintiman dan kebersamaan: foto keluarga bisa menjadi simbol hubungan emosional yang erat, terutama ketika anggota keluarga sedang pergi atau tidak dalam tempat bersama dengan anggota keluarga yang lainnya. Foto keluarga selalu mengingatkan bahwa kehadiran dan memori anggota tersebut selalu ada dalam rumah tersebut. Dari visual ini juga, dapat menunjukkan keterikatan dan rasa saling memiliki, meskipun dari anggotanya tersebut sedang berada jauh dari tempat dia mengumpulkan kenangan.

 

4. Memperkuat koneksi antar generasi: impresi foto keluarga lainnya adalah menjadi sarana berbagi cerita lintas generasi, dari kakek-nenek, anak, cucu hingga buyut (cicit). Sama halnya seperti artefak (bukti peninggalan), peran foto keluarga bagi pemiliknya adalah menjadi medium yang sangat kuat akan pesan dan historisnya. Sebagai medium, dengan simbol-simbol yang dihadirkan melalui visual mampu membawakan setiap narasi yang bisa disampaikan kepada orang yang akan mewarisinya. Seperti menunjukkan betapa hebatnya sosok kakek buyut waktu itu yang pernah ikut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

 

 

*****

 


Penulis: Wahyu Budi Nugroho

Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Cetakan Pertama: Januari, 2025

Tebal: xvi + 144 halaman

ISBN: 978-623-236-440-0

Berat 300 gr

Harga Promo: 30k


Pengantar Penulis

 

Terkejut. Itulah yang saya rasakan saat pertama kali mulai membaca literatur tentang anarkisme secara serius. Sebelumnya, saya hanya membacanya secara sekilas, dan lebih banyak berasal dari Karl Marx saat ia menyinggung soal anarkisme Pierre Joseph Proudhon, termasuk diskursus mereka dengan saling balas buku, Proudhon dengan The Philosophy of Poverty, dan Marx dengan The Poverty of Philosophy. Tak bisa dipungkiri, perkenalan awal saya dengan anarkisme melalui Marx lah yang mulanya membuat saya cenderung “menyepelekan” anarkisme.

 

Bagaimana tidak, Marx tak segan mengatai kaum anarkis sebagai “orang-orang bodoh” dikarenakan pandangan sosialisme utopis-nya; Lebih jauh Marx mengatakan, mereka mengembangkan “imajinasi konyol” akan masyarakat tanpa kelas dengan menganggap seluruh manusia sebagai keluarga besar, dan secara bersama-sama bergandengan tangan bakal menujunya. Meskipun memang, pada akhirnya, sejarah turut membuktikan jika marxisme juga merupakan sosialisme utopis.

 

Adalah film Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011) yang memuat aksi-aksi pengeboman kelompok anarki yang kemudian mengusik saya untuk mulai membaca anarkisme secara serius, sedari awal, pun tanpa melalui perantara Marx. Lalu, ada juga film Libertarias (1996)—yang saya tonton setelah Sherlock Holmes—yang juga menambah gairah saya untuk lebih mendalami hal-ihwal anarkisme ... dan dari sinilah keterkejutan saya berawal. Ternyata, anarkisme memiliki beragam cabang pemikiran yang tak kalah kaya dibandingkan misalnya, marxisme, eksistensialisme, atau berbagai aliran pemikiran lainnya.

 

Begitu juga, ternyata kaum anarkis turut terlibat dalam berbagai momen penting sejarah yang membentuk dunia saat ini. Nyatanya, sekolah modern pertama didirikan oleh seorang anarki, ketentuan jam kerja delapan jam sehari tak lepas dari jasa kaum anarki, serta pelopor layanan kesehatan bagi masyarakat luas untuk pertama kalinya juga dibuat oleh kaum anarki. Sontak, pandangan saya mengenai kaum anarki dan anarkisme berubah 180 derajat. Saya insyaf, bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah kesalahpahaman yang meluas tentang anarki dan anarkisme. Dahulu, dan mungkin seperti orang-orang kebanyakan, saya menganggap anarkisme hanyalah pemikiran yang mendorong aksi-aksi perusakan, vandal, dan hal-hal yang berasosiasi dengan kedestruktifan lainnya. Ternyata, mereka—kaum anarki—sangatlah humanis, kelewat humanis bahkan.

 

Lebih jauh, buku ini disusun untuk mengenalkan pembaca pemula pada anarkisme, oleh karenanya, sebisa mungkin, saya menulis dengan gaya bahasa yang ringan, pun saya harap mudah dimengerti, meskipun memang disadari, cara penulisan seperti ini seringkali berisiko menjebak pada “penyederhanaan berlebih” atau reduksionis. Akan tetapi saya harap, buku ini bisa menjadi pijakan awal bagi pembaca sebelum membaca buku-buku anarkisme lainnya yang lebih serius. Secara ringkas, buku ini berisi tiga bab besar, yaitu sejarah anarkisme, aksi dan pemikiran kaum anarki, serta perkembangan anarkisme hingga pos-Anarkisme dan anarkisme posmodern.

 

Perlu diakui pula, sebenarnya saya lebih tepat diposisikan sebagai “penyusun” mengingat beragam literatur mengenai anarkisme telah begitu banyak bertebaran di dunia maya, pun bisa diunduh secara bebas. Apa yang saya lakukan sebetulnya lebih pada menyusun dan menuliskan ulang dengan cara yang mudah dimengerti—semoga. Terlebih, secara pribadi, menjadi sangat disayangkan bagi saya jika literatur mengenai anarkisme yang selama ini telah dikonsumsi menguap begitu saja mengingat faktor “U” (usia). Dengan demikian, penulisan ulang berbagai materi tentang anarkime ini juga tak terlepas dari kepentingan pribadi.

 

Pun, untuk itu pula, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai situs yang menyediakan beragam literatur mengenai anarkisme secara gratis seperti theanarchistlibrary.org, libcom.org, anarkismo.net, pustaka.anarkis.org, pustakacatut.noblogs.org, sekaligus penerbit Daun Malam dan Pustaka Catut.

 

Tak lupa, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang berjasa dalam penulisan dan publikasi buku ini, baik secara langsung maupun tak langsung. Kepada penerbit Pustaka Pelajar, terima kasih atas kepercayaan dan kesediannya menerbitkan naskah yang sederhana ini sehingga sampai pada sidang pembaca sekalian. Terima kasih pula untuk Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati yang telah bersedia memberikan sepercik provokasi untuk para (calon) pembaca buku ini.

 

Ucapan terima kasih juga diberikan untuk Enky Permatasari, Swara Revolusi; kawan-kawan semasa kecil; Lukman Aji Prayafie, Ardhita Sukma Wardhana, Kharisma Ainu (Tantra), Azhar Aditya Rahman, dan Andi Prasetyo—nyatanya paling memungkinkan menjadi anarki saat kita masih kecil! Terima kasih pula untuk kawan-kawan Sanglah Institute; Gede Kamajaya, M. Zaenal Arifin, Bagus Ardiyansyah, Oka Sudarsana, Coyot, Brenda, Ames, Gek Chin, Fidi, Darma, Tanti, Tiwi, Jones, dan lain-lain; kawan-kawan SMA yang terus menemani; Sony Amartha, Rio Yunarwanto, Adnan Buyung, Umar Mustofa, serta Devana Widhiastika.

 

Tak ketinggalan, terima kasih juga untuk para tetangga Perumahan Grahalia yang baik hati; Sensei Ngurah Bagus (Mbah Ajus) dan keluarga, Bli @gilangpropag sang aktivis semesta—every punk happens to everything, termasuk pada buku ini, Bli—serta Pak Dokter Erdwin yang ramah. Akhir kata, saya hanya bisa menghaturkan selamat bertualang dalam anarkisme bagi pembaca sekalian.

 

 

Tukad Irawadi, Denpasar, Bali

06 November 2024,

Wahyu BN.

Pemesanan;